webnovel

MY WIFE

Zein adalah pria yang aku kenal dengan kepribadian yang memang dingin dihadapan banyak orang. Namun aku mengenal Zein dengan hati, ternyata lambat laun Zein bukanlah sedingin itu. Namun Zein justru sebaliknya sangat ramah dan penuh kasih sayang. Kehidupan yang gersang semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan Ayah dan Ibuku itu terlipur dengan besarnya cinta Zein. Namun badai tiba-tiba menghempas harapanku, yang membuat aku dan Zein harus berpisah sementara waktu bahkan kami akan saling menjauh karena restu yang tidak kami dapat. "Zein, kasihlah aku kesempatan untuk kembali mencintaimu ...."

sholiaayumathluby · Urban
Not enough ratings
4 Chs

Ternyata Hampirlah Sama

Aku tersenyum sejenak. Sementara Zein mulai menempati posisi di samping kiriku yang tengah berdiri. Apakah Zein juga akan bilang sesuatu? Tetapi mau bilang apa?

"Itu buah, paman. Tadi kami mampir ke pasar untuk membeli itu."

Sudah aku duga kalau Zein akan menjawab itu, tapi tidak kenapa. Aku tidak keberatan juga untuk jawaban Zein.

"Oh, iya ... terima kasih. Akan aku berikan ke Ibu Hesti."

"Paman ...."

Zein kenapa manggil Paman Aldan?

Aku memperhatikan Zein terus, ke dua matanya memberi kode untuk aku yang bertanya. Aku harus tanya apa ya? Sebentar, aku ini bagaimana? Aku tujuannya ke sini mau menjenguk keadaan Ibu Hesti bagaimana, mengapa aku lupa?

Kebiasaan. Terkadang aku juga suka lupa mendadak. Kalau melihat wajah tampannya Zein. Jangan sampai si Pegawai CEO itu jadi milik orang, dia harus jadi milikku.

"Halo ... Nai ...."

Tangan kanan Zein melambai naik turun di depan wajahku. Kenapa aku harus melamun juga?

"Iya Zein. Hmm Paman, keadaan Ibu Hesti bagaimana? Apakah baik?"

"Ibu Hesti sedang di dalam kamar, mari saya antar ...."

Paman Aldan mendahului langkah kami, sementara aku dan Zein berada tepat di belakangnya.

Ini rumah apa istana? Lihat, kemegahan interiornya yang membuat dekorasi ruangannya begitu hidup.

Lampu hias dengan cahaya remang membuat rumah ini seperti hotel. Apa aku ini salah masuk rumah?

Ayolah Finai. Jangan bandingkan rumah yang kamu tempati sekarang dengan rumah ini. Itu berbeda jauh. Kamu juga harus bersyukur kalau kamu masih punya dari pada tinggal di jalan. Ya, meski itu rumahnya Paman dan Bibimu.

"Kamu mau rumah yang seperti ini, Finai?"

Zein mengajakku berbicara, dengan kode tanganya yang mendadak menggamit lenganku.

Aku hampir melototkan mata, tapi senyum Zein seperti mengubah. Tadi aku hanya mengangguk dengan tatapan malu.

"Iya apa tidak, kamu mengangguk?"

Zein ini, sudah mengenal aku lama masih tanya saja. Kalau mengangguk yang jelas aku mau. Apa Zein ini mengerjaiku? Tidak, wajahnya tidak merautkan kebohongan.

"Iya-"

"Itu Ibu Hesti, silahkan masuk ke sana."

Tanpa aba-aba setelah melewati anak tangga sekitar dua puluh lima buah, Paman Aldan mendadak berhenti di depan sebuah kamar yang cukup luas.

Warnanya kuning muda dengan lampu terang yang sinar putihnya membias di lantai keramik yang ada di depannya.

Aku baru mengerti kalau itu adalah kamar Ibu Hesti.

"Hmm, iya Paman. Terima kasih ...."

"Sama-sama kalau nanti membutuhkan sesuatu silahkan panggil saya."

Aku mengangguk dan Paman Aldan tanpa aku suruh sudah pergi berlalu.

"Assalamualaikum Ibu Hesti ...."

Aku mengecup punggung tangan beliau. Setelah aku tanpa izin memasuki kamarnya.

Sebenarnya aku sudah izin cuman lewat paman Aldan. Tetapi kalau lewat Ibu Hesti. Aku belum sama sekali.

"Waalaikum salam ...."

Wajah pucat itu mulai bersuara.

Zein juga sempat mengecup punggung tangan Ibu Hesti dan itu setelahku.

"Kabar Ibu, bagaimana? Sudah membaik bukan?"

Aku bertanya lirih, sementara Zein hanya menatap kami.

Sabar ya sayang, kamu aslinya capek butuh kursi buat duduk masih belum menemukan. Tapi bagaimana lagi, Ibu Hesti memang lagi sakit. Jadi, kamu belum terpikirkan.

"Alhamdulilah, sudah agak pulih dari yang sebelumnya."

Aku mengangguk sambil mengambil selimut yang terkapar di dekat lengan Ibu Hesti.

"Ibu mau, aku selimutin?"

Ibu Hesti diam mengangguk.

"Kamu silahkan duduk, maaf ya. Ibu tidak bisa berbuat banyak. Kamu juga ...."

Zein dan aku duduk di atas ranjang tidur yang berada di tepi. Rasanya aneh duduknya di sini. Namun cuma ini pilihannya bukan.

"Kamu habis ke mana saja tadi?"

"Habis kerja ke pasar dulu dan langsung ke rumah ibu ini."

"Kamu Zein kan?"

"Iya."

Zein tersenyum. Apakah Ibu Hesti sudah lupa dengan Zein? Apa hanya memastikan kalau itu Zein?

"Ibu Hesti kenapa tanya hal itu?"

"Saya agak lupa wajah Zein soalnya. Terakhir bukannya sekitar tiga bulan yang lalu kamu ajak ke rumah Ibu, Finai ...."

Aku tersenyum nyengir. Memang Iya, itu karena mau menyampaikan kabar saja kalau pertunangan sekaligus pernikahan kami dibatalkan pada saat itu, dikarenakan kembaranku meninggal.

Entah kenapa dari semenjak tragedi rumahku Ayah Ibu yang meledak itu, hidupku yang tinggal dengan paman dan bibi di rumah bukan malah membuat kebahagian menjalar di kehidupanku. Namun aku malah disuguhkan dengan segala kesengsaraan dan penuh tekanan.

Bibiku memang baik mau memberiku tumpangan di rumahnya. Namun, bibiku sendiri juga yang terkadang suka marah-marah karena kesalahan yang tidak seberapa.

"Finai ...."

"Eh, iya Ibu Hesti ...."

Aku tercekat, kebiasaan ini. Penyakit melamun.

"Kamu melamunkan apa? Habis diajak ngomong kok diam saja mematung dengan tatapan kosong."

"Maaf Ibu, aku hanya kepikiran saja soal tiga bulan yang lalu."

"Sabar ya, janganlah diingat lagi. Jalani saja yang sedang kamu jalani sekarang ... Oh iya, Zein. Kamu jaga Finai jangan kamu buat dianya menangis lho ...."

Aku tersenyum malu.

Memang luka batinku semakin menjalar ketika aku mulai kembali masuk ke rumah bibi dan paman. Namun aku luka itu seperti tidak mempengaruhiku ketika Zein memberikan cintanya padaku. Memberikan perhatian lebih dan mau menerimaku. Aku bahagia dengan Zein.

"Iya, tidak akan pernah Ibu Hesti. Aku akan menjaga Finai dengan baik. Ibu Hesti tidak perlu khawatir."

"Iya, kamu yang amanah ... kalau aku melihat kamu Zein. Aku selalu ingat sama anak laki-lakiku. Dia sama sepertimu dari tinggi sama warna kulitnya namun yang berbeda adalah wajahnya. Sayangnya anak Ibu, tidak sepertimu yang memiliki jiwa perhatian. Anakku itu semakin menjauh dari Ibu, semenjak tragedi kecelakaan itu dan Ibulah yang selalu disalahkan anak Ibu sendiri kalau Ibulah yang membuat Ayahnya kecelakaan."

Aku terkejut dengan cerita Ibu Hesti. Betapa sedihnya dia. Aku yakin, sampai sekarang Ibu Hesti justru semakin sakit hati dengan perbuatan anaknya sendiri.

Kenapa aku tidak bisa bersyukur dengan yang aku alami? Bukankah Ibu Hesti lebih sedih dibanding denganku.

"Yang Ibu katakan benar?"

Ibu Hesti mengangguk pelan, kemudian tatapannya mengarah kepadaku setelah jatuh pada Zein.

"Iya, yang Ibu katakan ini benar Finai. Kamu juga seperti anak perempuan Ibu. Kalian tahu, Ibu punya anak laki-laki dan anak perempuan. Namun mereka tidak sebaik kalian berdua. Semenjak tragedi itu, suasana keluarga seakan memecah belah dan seperti tidak akan pernah lagi bisa bersatu."

"Memang anak Ibu sekarang berada di mana?"

"Ibu tidak tau Nak, dulu sebelum pergi anak Ibu pernah mengatakan kalau akan tinggal di kota london. Namun Ibu juga kurang tahu bagaimana kabarnya sekarang. Mereka berdua seperti hidup semakin jauh tanpa Ibu. Mereka ke duanya tidak pernah memberikan kabar, bahkan pulang saja tidak pernah. Ibu rindu sekali dengan mereka."

Aku luluh dengan apa yang dikatakan Ibu Hesti. Seharusnya aku mengerti bahwa tuhanku selama ini tidak masih baik kepadaku. Aku saja yang menyangka kalau diriku sendiri yang mengalami keterpurukan. Namun itu tidak, sedih manakah antara aku dengan Ibu Hesti ini?

Dia memiliki seorang anak yang masih hidup namun seperti melupakan orang tuanya. Melupakan seorang Ibu yang mengandung dan menyusuinya. Bahkan menyalahkan sang Ibu sendiri karena kecelakaan itu. Bukankah itu lebih sedih?

"Ibu yang sabar ... kami mau kok, kalau Ibu menganggap kami berdua adalah anak Ibu asalkan Ibu tidak sedih dan tidak merasa sendirian. Iya kan, Zein?"

Aku berlalu menatap Zein, kemudian menatap Ibu Hesti kembali.

Zein mengangguk iya.

"Kalian benar, mau Ibu anggap anak Ibu sendiri?"

"Iya Ibu, kami sangat menyayangi Ibu. Ibu tahu, dari awal ketemu Ibu. Aku sudah menganggapmu sebagai Ibuku. Karena saat aku kerja dan memiliki kesalahan. Ibu selalu tahu, kalau aku ini banyak tekanan dan banyak pikiran jadi pekerjaanku tidak selesai dengan baik."

"Sini mendekat ...."

Leher belakangku ditarik pelan oleh tangan kanan Ibu Hesti, kemuadian di keningku mendarat sebuah kecupan. Ya tuhan, aku sudah lama tidak merasakan kecupan dari seorang Ibu.

Air mataku tanpa sadar meleleh mengingat Ibu yang dulu selalu mengecup keningku. Bahkan aku juga ingat soal Ayahku juga selalu mengecup keningku ketika aku mulai berangkat sekolah.

Tuhan, cukup. Jangan pernah memisahkan aku dengan seorang Ibu lagi. Aku barusan saja menemukan hati seorang Ibu. Jadi jangan pernah lagi, membiat aku sedih kehilangan seorang Ibu dengan ke dua kalinya.

"Terima kasih Ibu ...."

Ujarku meluncurkan banyak air mata.

Aku tidak mampu menyekanya. Namun Ibu Hesti yang menyeka air mata itu. Lihat, Zein pacarku itu. Dia tidak tega melihatku menangis sampai spontan ingin mendekat padaku dan memelukku. Namun aku tahu, karena kesopanan dan rasa hormat kepada Ibu Hesti. Zein tidak memelukku di depannya. Aku tahu, mungkin itu nanti.

"Sama-sama anakku. Sudah kamu jangan menangis! Ibu nanti juga ikut menangis."

"Aku terharu dengan kecupan kening yang Ibu berikan. Ibu tahu ... Finai ini sudah lama tidak mendapatkan kasih sayang seorang Ibu. Di rumah paman dan bibi, Finai ini berasa bukanlah seorang anak ataupun keponakan. Namun Finai ini seperti pembantu yang bekerja tanpa bayaran. Ibu jangan pernah pergi ya ...."

Aku mengecup punggung tangan Ibu Hesti dengan tiga kali kecupan.

"Jangan menangis ya ... nanti Zein marah ke Ibu loh ...."

Aku sedikit tersenyum.

"Finai, setelah ini tiba waktu sholat. Kamu aku antar pulang ya ... besok lagi ke sini. Aku tidak tega kalau Bibi kamu nanti memarahimu lagi."

Sebagian air mataku, Ibu Hesti yang menyekanya. Sisanya biarlah aku usap sendiri.

"Ibu, aku pulang boleh?"

Tanyaku dengan tatapan sedih.

"Iya, kamu yang sehat-sehat ya. Ibu tidak apa, di sini juga ada paman aldan sama yang lain. Jadi Ibu tidak terlalu kesepian. Iya, Finai?"

Aku mengangguk Faham.

"Aku tunggu di motor, Sayang. Ibu, aku mau mengantar Finai ke rumah ...."

Zein duluan yang mengecup punggung tangan Ibu Hesti untuk pamit pulang. Sementara aku menatapnya dengan kode tatapan, tunggulah sebentar.

"Iya, nanti kalau bonceng Finai. Jangan mengebut loh!"

Zein tersenyum, mengangguk kemudian keluar ruangan kamar.

"Ibu, yang sehat-sehat ya ... kalau Ibu rindu sama Finai, Ibu makan saja buah yang Finai sama Zein bawa tadi. Finai tadi memberikannya ke Paman Aldan untuk Ibu. Jangan lupa dimakan ya ... ibu juga cepat sembuh."

Aku mengecup punggung tangan Ibu Hseti dan sebelum lergi aku tinggalkan senyum dan sebuah salam.