webnovel

Bab 2 - Luka Yang Terpendam

Setelah pulang dari kelab, Eduardo langsung pergi ke kantor tanpa pulang ke rumah. Sebagai seorang CEO dari perusahaan besar, dia memiliki tanggung jawab yang luar bisa dan selalu dituntut sempurna menjadi teladan bagi para karyawannya. Jika dia terlambat, sama saja mencoreng keteladanannya.

Tetapi, alasan utama Eduardo enggan pulang, dia takut mamanya akan syok parah dan mengoceh tanpa henti jika mendapatinya babak belur akibat berkelahi dengan seorang gadis menjengkelkan ketika tengah mabuk.

Eduardo memasuki gedung perusahaannya dengan penampilan acak-acakan. Rambutnya tadi tersisir rapi ke belakang, sekarang berantakan. Kemejanya penuh bercak darah. Ia sengaja memakai masker, menutupi luka lebam di wajah tampannya.

Semua karyawan menyapa Eduardo begitu ramah ketika berpapasan, tetapi kemudian mereka berbisik-bisik dengan wajah penuh keheranan.

Eduardo melirik sinis para karyawannya yang tengah membicarakannya dari belakang.

[Kurang ajar! Semua ini gara-gara gadis itu! Awas saja kalau sampai bertemu lagi!] maki Eduardo dalam hati.

Meskipun telah sadar dari mabuk, Eduardo tetap tidak bisa mengingat sosok gadis itu dengan jelas. Wajahnya, suaranya, bahkan rupanya. Tetapi, Eduardo tidak akan melupakan peristiwa memalukan saat dia terjerembap ke lantai akibat dahsyatnya tonjokan dan tendangan gadis tersebut.

Sampai sekarang pun, Eduardo masih terheran-heran. Bagaimana bisa seorang gadis memiliki kekuatan begitu dahsyat dan tangguh hingga sanggup menumbangkan dia hanya dalam satu kali pukulan?

Eduardo ragu jika gadis itu adalah wanita tulen.

[Jangan-jangan dia tranganders?]batin Eduardo bergidik ngeri.

Setelah sampai di lantai atas, Eduardo segera masuk ke ruang kerjanya.

"Sayang? Akhirnya kamu datang juga."

Eduardo tersentak kaget. "Sara?"

Sara mengernyit heran, berjalan menghampiri Eduardo. "Tumben sekali kamu datang ke kantor mengenakan pakaian bebas? Bukankah itu baju yang sama saat kita bertemu di club?"

Eduardo tersenyum kikuk. "Ya,"

"Ya ampun! Kenapa ada noda darah di bajumu?!" seru Sara panik. "Cepat katakan! Apa yang sebenarnya telah terjadi?!"

"Sudahlah. Aku tidak mau membahasnya." Eduardo berjalan mendekati sofa dan duduk sembari menghela napas berat. Kejadian tadi kembali terlintas di benaknya. Amarahnya mendadak meluap-luap.

[Bisa-bisanya aku kalah telak dari seorang gadis lemah seperti itu?!] batin Eduardo jengkel. Harga dirinya serasa diinjak-injak oleh perbuatan gadis menjijikkan kemarin. Dia sangat dipermalukan di hadapan orang banyak. Bagaimana jika saat itu ada orang merekamnya diam-diam, kemudian menjualnya ke akun gosip?

Harga dirinya sebagai CEO tampan akan tercoreng.

"Eduardo?" Sara mengernyit heran.

Eduardo tersentak kaget. Ia segera

tersenyum. "I-iya, kenapa?"

"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi?" gerutu Sara kesal, khawatir.

"By the way ... kenapa kamu sampai menungguku di sini? Apa ada sesuatu hal penting yang harus kamu sampaikan?"

Eduardo tersenyum manis, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Sara menghela napas berat. Eduardo malah menghindari pertanyaannya. "Benar. Ada sesuatu yang harus kukatakan."

Eduardo menatap Sara penuh minat, penasaran. "Apa?"

"Sebenarnya aku ingin minta tolong padamu, Sayang. Apa kamu bisa?" pinta Sara penuh harap.

Eduardo terkekeh. "Tentu saja, Babe. Aku pasti akan melakukan hal terbaik untukmu." Ia menyelipkan anak rambut Sara ke belakang telinga.

Sara mengulum senyum malu. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang selalu bisa kuandalkan."

***

Gadis berambut pendek sebahu, mengenakan kemeja putih kusut, rok selutut hitam kucel, mengetok pintu ruang bosnya. Di tangannya, dia membawa sebuah map merah.

"Permisi, Pak! Saya boleh masuk, gak?" seru gadis itu lantang.

Michelle Viona, seorang gadis tomboi dan tidak tahu tata krama, apalagi sopan santun. Ini hari pertamanya dia keluar dari zona nyaman sebagai petinju MMA dan memutuskan bekerja di kantor.

Tanpa menunggu sahutan, Michelle membuka pintunya dan menyelonong masuk.

"Gimana, sih, Pak? Gue panggil-panggil malah kagak dijawab?" protes Michelle jengkel, menghampiri Eduardo di meja tanpa beban.

Eduardo Martino Edward, sang CEO Lion Corp, sontak berpaling ke arah pintu.

Mata Eduardo melongo. Apa yang dikatakan wanita itu barusan?

"Apa maksudmu, Hah?!" Eduardo melotot pada gadis itu tajam. "Begitu sikapmu pada atasanmu!?"

Michelle menyengir tak berdosa, menaruh map merah itu di meja Eduardo. "Sorry, Pak. Btw, nih ... ada berkas yang harus Bapak tandatangani. Agak buruan, ye, karena gue masih ada pekerjaan lain lagi."

[Bisa-bisanya dia bersikap kurang ajar padaku?! Apa dia karyawan baru sampai tidak mengenali posisi saya di kantor?!] batin Eduardo jengkel.

Eduardo berusaha menahan amarah yang ingin meledak. Jangan sampai dia membuat kesalahan hingga membentak-bentak karyawannya. Saat ini, dia juga tidak mempunyai waktu untuk mengomel.

Eduardo mengambil map itu dan membacanya saksama.

"Ini laporan soal apa?" tanya Eduardo sinis.

Michelle mengedikkan bahu. "Nggak tahu juga, tuh," sahutnya enteng.

"APA KATAMU!?" Eduardo langsung membanting map itu ke meja. "Kamu sendiri yang bawa map ini pada saya! Bagaimana bisa kau tidak tahu?!"

Michelle tersentak kaget, badannya seketika gemetar. Tatapan nyalang sang Bos sangat mengerikan. "S-saya, kan, cuma disuruh anterin doang, kok, Pak. Seriusan!"

"Lalu, siapa yang telah buat laporan ini, Hah!?" bentak Eduardo murka.

"S-ara, Pak! Sara!" sergah Michelle cepat.

"Apa?" Amarah Eduardo seketika surut. "Sara?"

Michelle mengangguk cepat. "Iya, Pak! Sara! Dia tadi yang suruh saya buat anterin map ini ke Bapak."

Senyum pria itu merekah sempurna. Eduardo mengambil kembali map itu dan membacanya.

Tanpa menoleh lelaki berparas Amerika itu mengibas-ngibaskan tangan, mengusir. "Keluar."

"Lah! Kok tiba-tiba nggak jadi mar—"

"MAU SAYA PANGGANG KAU DI SINI, HAH?!" teriak Eduardo. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia lebih gampang marah, meskipun hanya perkara sepele. Apakah mungkin ini efek dia terlalu lelah mengurus segala urusan di kantor, atau karena mimpi buruk yang selama ini terus menerornya?

"Kagak, Pak! Kagak!" tolak Michelle panik. "Iya, Pak! Saya keluar!"

Michelle lari terbirit-birit pergi meninggalkan ruangan Bos Iblis itu. Setelah di luar, dia menutup pintu perlahan, lalu bersandar lemas.

Gila! Michelle mengelus-elus dada dramatis. Napasnya menderu tak karuan. Galak amat! Melebihi monster aja!

Keringat dingin membasahi wajah dan badan gadis berambut sebahu itu.

Untung karena gue lagi butuh pekerjaan saja! Kalau nggak, sudah gue hajar, tuh, si Setan! batin Michelle kesal.

Michelle pergi dari depan pintu dan kembali ke kubikelnya di lantai bawah.

★★★

Michelle duduk kursi kerjanya. Helaan napas berat langsung keluar dari mulutnya.

"Gimana? Ganteng 'kan orangnya?" Sara tersenyum antusias. Kubikel dia berdampingan dengan Michelle. Wanita berumur 23 tahun, berparas ayu, dan anggun, adalah sahabat perempuan Michelle satu-satunya.

"Ganteng apanya! Galak, iya!" seru Michelle disisa kekesalannya.

"Kwnapa? Apa jangan-jangan lo buat masalah?" tuding Sara khawatir.

Michelle merosot di tempat duduknya. "Kagak tahulah. Padahal gue cuma mengantar map yang lo kasih itu, doang. Eh, dia malah marah-marah kagak jelas."

"Marah-marah kayak mana?" Sara mengernyit bingung, penasaran.

"Yah, begitulah! Memangnya marah-marah ada tipenya?!" kesal Michelle.

Sara terkekeh. "Iya, iya, sorry …."

Michelle geleng-geleng, kesal. "Gue heran banget sama lo, Sar," ejeknya miris. "Kenapa bisa-bisanya lo suka sama cowok begituan?! Udah galak, serem lagi!"

"Siapa yang kaubilang 'seram'?!"

Michelle dan Sara tersentak kaget.

Seketika bulu kuduk Michelle berdiri. Suara mengerikan sekaligus tak asing itu terdengar dari belakangnya.

"Saya sedang bicara! Hadap saya, cepat!" titah Eduardo tajam.

Michelle dan Sara perlahan memutar kursinya menghadap Eduardo.

"Siapa yang kaumaksud 'seram' tadi, Hah?!" Eduardo menatap Michelle tajam.

"Itu ... anu …," Michelle menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan. "Anu, tetangga saya! Dia orangnya seram banget, Pak! Suka bawa linggis kalau mangga di depan rumahnya dicolong orang!" Michelle tersenyum cengengesan.

Eduardo beralih pada Sara. Ia tersenyum lembut. "Ini kamu yang buat, kan?" Cowok itu mengangkat map merah yang dipegangnya.

Sara tersentak lalu mengangguk sopan. "I-iya, Tuan."

Eduardo tersenyum manis. "Bagus sekali."

Pipi Sara seketika merona. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan senyuman.

"T-terima kasih, Tuan, atasan pujiannya."

"Kamu nanti ke ruangan saya. Ada yang harus saya bicara denganmu," pinta Eduardo lembut.

Sara mengangguk sopan. "Baik, Tuan. Saya akan segera ke sana."

Eduardo tersenyum. "Ya sudah, saya tinggal dulu."

Eduardo melangkah menuju lift lalu menghilang di balik pintu besi itu. Seketika semua karyawan menghela napas lega. Kemunculan mendadak CEO tampan itu, membuat mereka sejak tadi menahan napas.

"Cie... Cie …!" goda Michelle terkekeh.

"Apaan, sih?'' Sara memukul pundak Michelle pelan, dia terkekeh malu.

"Ya elah! Pake malu-malu segala!" Michelle tertawa terbahak-bahak.

Sara terkekeh menahan malu. "Nggak usah godain gue sehari, bisa gak, sih?" protesnya berlagak kesal sembari mempersiapkan beberapa map, lalu bangkit berdiri. "Ya udah, gue pamit dulu, Sel."

Michelle tertawa menggoda. "Iya, iya... yang lagi falling in love."

"Apaan, sih? Nggak lucu, tahu." Sara tersipu malu. Pipinya makin merona. "Udah, ah! Gue pamit dulu. Bye ...."

"Bye ...."

Sara melenggang memasuki lift, lalu menghilang dari pandangan Michelle.

Michelle kembali menatap komputernya. Gadis itu terkekeh sambil geleng-geleng kepala.

★★★

Bulan menggantung indah di langit ditemani bintang-bintang kecil yang bertebaran di atas cakrawala.

Sara membenahi map-map yang belum selesai dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian bangkit berdiri sambil tersenyum pada sang sahabat.

"Gue pamit duluan, ya. Udah ditunggu sama—"

"Doi!" Michelle tertawa.

Sara mendecak kesal sambil tertawa. "Ih! Sudah, dong. Jangan goda gue mulu."

Michelle tertawa. "Kagak bisa! Habisnya lo lucu kalau digodai kayak begitu! Sudah menjadi keseruan tersendiri bagi gue."

"Dasar," Sara terkekeh. "Sudah, ah. Gue pamit dulu, ya. Nanti lo pulang dijemput Deril, kan? Cie …," balasnya, tak mau kalah.

"Cie! Cie!" protes Michelle kesal. "Dia itu bespren poreva gue! Separuh dompet gue." Ia tertawa terbahak.

"Iya, deh. Iya ...," ejek Sara pasrah, menyampirkan tas ke bahunya. "Gue pamit dulu, ya. Bye ...." Gadis itu melambaikan tangan, lalu pergi.

"Bye …!"

Michelle memasukkan ponsel dan keripik kentang ke dalam tas. Lampu-lampu di lantai itu sebagian sudah dimatikan, hanya tersisa beberapa karyawan yang masih sibuk berkutat di depan komputer dalam bilik.

"Woi! Kalian lembur, ya?" teriak Michelle, memastikan.

"Yoi, Mbak!"

"Iya, Neng!"

"Iya!"

Michelle mengacung kepalan tangannya ke udara, tersenyum semringah. "Semangat kerjanya, yak! Semangat cari duitnya! Jangan lupa nanti traktir gue kalau udah gajian!"

Semuanya kompak mengikuti gaya Michelle. "Semangat!!" sahut mereka serentak.

"Tapi yang nomor dua, kami ogah!" seru Rendy tertawa.

"Harus! Wajib hukumnya!" balas Michelle tertawa. "Ya sudah, ye, gue pamit dulu. Bye, semuanya! Soalnya gue masih ada rapat penting bersama Direktur Sampah. Kek kalian!"

Rendy tertawa keras. "Ya sudah, sana! Buruan! Bisa-bisa lo dirongsokin kalau terlambat!" usirnya.

★★★

Mobil Mercedez hitam melaju membelah jalan raya. Hanya suara sayup-sayup gemuruh mesin mobil yang mengisi keheningan di antara penumpang dan pengemudi.

"Eh! Kulit kentang! Besok ada audisi boxing lagi, lo mau ikut gak?" tanya Deril sambil fokus memandang ke depan, menyetir.

"Pasti, dong!" seru Michelle semangat.

"Tapi lo ingat, jangan sampai KO," ejek Deril terkekeh, agak serius. Terselip rasa cemas di hatinya.

"Kagaklah! Gue, kan, udah jago!" seru Michelle sombong.

"Jago, jago, jago!" sindir Deril tertawa.

"Sekali tonjok di perut lo, auto pingsan berhari-hari!" ejeknya.

Michelle menyengir lebar.

"Bagaimana pertama kali lo bekerja di kantor?" Deril menyeringai. "Ada yang mati di tan—"

"Kagak enak!" sela Michelle cepat, jengkel.

"Lah! Kenapa?" Deril mengernyit heran.

"Bosnya galak bener! Habis gue dimarah-marahi tadi."

"Seriusan!? Dia berani marahi lo?" seru Deril tak percaya. "Memangnya dia nggak tahu lo Ratu Boxing?"

"Dia pasti kagak tahulah! Dia 'kan orang kantoran. Mana tahu soal begitu."

Deril mendengus kecewa. "Kenapa, sih, lo tiba-tiba ingin kerja kantoran? Padahal lo nggak suka kerja begituan. Apa lagi, lo nggak punya bakat di bidang kantoran dan bisanya setiap hari cuma merusuh doang."

Michelle terdiam, berubah sedih. Luka yang selama ini dia berusaha kubur dalam-dalam, kembali menyeruak.

Michelle berpaling memandang keluar jendela, sendu. "Lo sudah tahu sendiri, kan, bagaimana perlakuan nyokap-bokap sama gue, Ril?" Suara gadis itu bergetar menahan tangis. "Mereka selalu meremehkan gue dan menganggap gue lemah."

Deril mendecak kesal. "Memang apa yang salah dari boxing, sih? Sampe mereka sebegitunya minta lo berhenti dari boxing? Heran gue!" protes Deril.

"Karena mereka anggap itu memalukan. Bagi mereka, apa pun yang gue lakukan, selalu salah. Bahkan, gue sudah nggak dianggap anak lagi sama mereka. Cuma kakak dan adik gue yang selalu mereka bangga-banggakan di depan orang-orang. Karena mereka jelas pintar, nggak kayak gue." Michelle menunduk sedih. "Bodoh."

Deril tertegun, merasakan kesedihan Michelle.

"Semenjak gue hidup dengan satu ginjal, mereka selalu marah-marah karena uang mereka habis gara-gara untuk pengobatan gue. Makanya gue memutuskan buat jadi petinju, buat membuktikan kalau gue bukan orang lemah."

"Ngapain juga lo kasih ginjal lo ke dia, HAH?! Sekarang dia enak-enak hidup di atas penderitaan lo!" ketus Deril.

"Dia nggak salah, Bro." Michelle menatap Deril. "Gue sendiri yang mendonorkan ginjal gue ke dia," lirih Michelle.

"Siapa sih orangnya, Hah?! Kalau gue ketemu, gue akan habisi dia!" seru Deril emosi.

Michelle terkekeh. "Itu juga kejadiannya sudah lama banget, waktu gue masih kecil. Gue juga sudah lupa kayak bagaimana muka dia waktu kecil," [bahkan, gue nggak ingat apa pun semua kenangan tentang dia, hingga namanya. Kenapa bisa begitu, sih? Saat gue berusaha mengingat semuanya, rasanya makin susah.]

"Tega banget dia meninggalkan lo saat lo sudah kasih ginjal lo sama dia!" geram Deril.

"Udahlah, Del. Nggak usah dibahas lagi. Itu kejadiannya sudah berlalu. Dan, gue turut bahagia karena sudah bisa menyelamatkan sahabat masa kecil gue, meskipun gue akhirnya dilupakan." Michelle terkekeh. Namun, terdengar memilukan bagi Deril.

Deril meraih tangan Michelle dan menggenggamnya erat. "Lo jangan sedih, ya, Sel. Gue akan selalu ada buat lo."

Michelle menunduk, matanya langsung memanas. Bagaikan ada pedang yang menikam dadanya. Sangat menyesakkan. Mulutnya bisa berbohong, namun hatinya tidak. Meskipun kejadian itu telah lama berlalu, tetapi rasa sakit di dadanya tak kunjung hilang.

"Gue tahu, kok, lo berbohong saat lo tersenyum dan tertawa saat menceritakan hal menyakitkan itu," ujar Deril lembut.

Deril menepikan mobil di pinggir trotoar lalu mematikan mesin mobil.

Tangis Michelle seketika pecah, lantas menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan. Kali ini dia tak sanggup menahan hatinya lagi.

"Apa gue memang nggak pantas untuk dicintai, ya, Del?" Michelle terisak-isak kuat.

Deril terdiam, hatinya ikut teriris. Ia sampai tak mampu berkata apa pun lagi.

Deril merengkuh Michelle masuk dalam pelukannya, lalu mengusap-usap punggung sahabatnya.

"Lo pantas dikasihi, Sel," Deril tersenyum lembut. "Mereka yang rugi karena sudah menyia-nyiakan lo."

Tangis Michelle makin pecah. Ia memeluk Deril lebih kuat, meluapkan kepedihan dalam hati.

"Kalau mereka sudah nggak sayang sama lo lagi, masih ada gue, kok, tenang aja," bisik Deril lembut.