webnovel

Bab 1 - Mimpi Buruk

["Kenapa? Kenapa kamu tega meninggalkanku? KENAPA!?"

Samar-samar seorang gadis kecil bermata bulat, rambut bergelombang, menangis terisak-isak. Dia berdiri dalam kabut kegelapan di depan seorang pria tampan, yang duduk gemetar ketakutan di sudut ruang kosong dan gelap.

"Siapa kamu!? Aku sama sekali tidak kenal kamu!? PERGI!" teriak pria itu.

"Kenapa? Kenapa kamu tega meninggalkanku? KENAPA!?"

"Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak mengenal kamu! Kenapa kamu selalu menggangguku!? TOLONG PERGILAH!"

"TETAPI APA SALAHKU!? PADAHAL AKU SANGAT MENYAYANGIMU! TETAPI SEKARANG AKU SANGAT MEMBENCIMU! LIHAT SAJA! SUATU SAAT NANTI AKU PASTI AKAN DATANG UNTUK MEMBALASKAN DENDAMKU!"]

"TIDAK!" Sontak Eduardo terduduk dari tidur dengan napas terengah-engah. Keringat membanjiri tubuh dan wajah pria bule itu.

Dengan panik Eduardo segera memeriksa sekelilingnya. Tidak ada gadis kecil misterius itu di mana pun. Dia masih berada di kamarnya, bukan terkurung di ruangan gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk dari celah-celah jendela.

"Argh!" Eduardo mengacak-acak rambut frustrasi. "Kenapa aku selalu bermimpi tentang gadis kecil itu!? Sebenarnya siapa dia!? Kenapa dia selalu menerorku!?" gumam Eduardo geram.

Eduardo melirik was-was jam walker di nakas. Jam menunjukkan pukul 00.00.

[Sudah kuduga, selalu saja terjadi saat tengah malam!] batin Eduardo memprotes.

Eduardo mengacak-acak rambut kesal. [KALAU AKU TERUS-MENERUS DITEROR DALAM MIMPI SEPERTI INI! LAMA-LAMA AKU BISA GILA!]

Mungkin dengan pergi ke club aku akan sedikit tenang. Eduardo beranjak menuruni kasur dan memutuskan ke luar.

***

Eduardo berusaha menyelinap di antara kerumunan orang yang tengah asyik berjoget di dance floor. Kilatan lampu blitz bergoyang tak karuan. Dentuman musik DJ yang keras, cukup memekakkan telinga Eduardo. Teriakan kegirangan dari para pengunjung menggema di segala penjuru ruangan itu.

Eduardo menghampiri seorang gadis yang tengah bercengkerama dengan pria di sofa paling pojok.

"Hei, Bro!" Alex bangkit berdiri dan bersalaman akrab dengan rekan bisnis sekaligus sahabatnya itu, yaitu Eduardo.

"Hallo, Babe," Eduardo mencium kening Sara, sang pacar, yang telah menunggunya bersama Alex. Lalu Eduardo duduk di samping wanita cantik bergaun biru itu.

Mereka bertiga duduk berkumpul di salah satu sofa merah.

"Sorry, Bro. Gue harus cabut, Mama gue sudah menelepon gue dan marah-marah karena gue masih nongkrong di kelab." Alex memandang Eduardo menyesal.

Eduardo terkekeh lebar. "Santai saja, Bro. Saya mengerti."

"Bye," Pria berambut cokelat itu segera pergi meninggalkan keduanya.

"Sepertinya aku juga, Sayang. Maaf …." Sara menatap manik cokelat itu menyesal, tak enak.

"Kenapa?" sergah Eduardo. "Kita baru saja bertemu," sungutnya kecewa.

Sara menghela napas berat. "Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Karena tiba-tiba sahabatku ingin mengajakku bertemu," Wanita dengan tatapan teduh dan wajah anggun itu tersenyum tak enak.

Eduardo mendengus kesal. Lagi-lagi tentang dia. Eduardo membuang muka dari Sara. "Selalu saja soal sahabatmu. Kenapa kamu lebih memedulikan dia daripada aku?" protesnya. "Sebenarnya pacar kamu siapa? Aku atau dia?"

Sara terkekeh, terlihat anggun. "Tentu saja kamu, Sayang." Wanita itu membelai rahang tegas Eduardo. "Dia 'kan perempuan."

"Bukan itu maksud aku. Tetapi kenapa kamu selalu dan lebih memperhatikan sahabatmu daripada aku! Padahal aku pacarmu," protes Eduardo jengkel.

"Aku sudah mengatakannya berkali-kali, kan? Orang terdekat yang peduli dengan dia hanya aku dan sahabat prianya."

Eduardo menghela napas berat, meredam kekesalannya. Sejujurnya, dia agak kasihan dengan nasib gadis itu. Selama Eduardo mengenal Sara hampir empat tahun, dia belum pernah sekali pun bertemu dengan sahabat pacarnya, walaupun hanya sepintas lalu. Hingga kini pun, Sara masih enggan memperkenalkan mereka.

Eduardo pun juga tidak tahu alasannya.

"Baiklah, terserah kamu saja," jawab Eduardo pasrah, mengalah. "Kamu benar-benar tidak memberikanku pilihan lain."

Sara memeluk lengan Eduardo mesra, erat. "Terima kasih, Sayang! Kamu benar-benar pacarku paling pengertian."

Eduardo tersenyum manis, lalu mengecup kening Sara. "Apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia."

Sara tersipu malu. "Kalau begitu aku pamit dulu, ya," Sara mencium pipi Eduardo, lalu beranjak berdiri.

"Biar aku antar—"

"Tidak perlu!"

"Kenapa?" sergah Eduardo sedikit menantang, kesal. "Sepertinya kamu sangat tidak mau aku bertemu dengan sahabatmu itu. Apa jangan-jangan … kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku?" Eduardo mengernyit curiga.

Sara menghela napas panjang. "Aku hanya takut kamu akan membencinya jika bertemu dengannya, Sayang. Apalagi kami tidak suka dengan tipikal orang tidak tahu tata krama, kan? Ditambah lagi, perilaku dia agak kurang sopan. Aku takut kamu tersinggung dengan sikap maupun ucapannya."

Eduardo tertegun sesaat. "Apa dia seaneh itu?" Eduardo bergidik sendiri dalam hati. Dari cerita Sara, dia dapat menduga sepertinya gadis itu sangat menjengkelkan. Dia sungguh membenci siapa pun yang bertingkah laku demikian jika di hadapannya.

"Ya, begitulah," keluh Sara sedih.

"Sekarang aku mengerti, kenapa kamu tidak mau mempertemukan kami."

Sara tersenyum penuh arti. "Syukurlah, sekarang kamu sudah tahu, Sayang. Aku takut kamu tadi salah paham."

Eduardo tersenyum manis. "Maaf, karena aku sudah menuduhmu macam-macam."

"Tidak apa. Kalau begitu aku pamit dulu, ya, takut dia lama menungguku. Bye …."

"Bye …."

***

Tiga jam kemudian.

Eduardo duduk di kursi bar sembari menenggak cocktail. Dia tadi memutuskan pindah ke kursi bar karena tidak ada seorang pun menemaninya.

Pria itu sudah menenggak minuman beralkohol berulang kali. Pandangan Eduardo makin memburam, kepalanya sangat pusing, seolah dunia tengah berputar-putar.

Mimpi itu selalu terngiang-ngiang di pikiran Eduardo hingga membekas sepanjang waktu.

Sebenarnya siapa gadis itu—

BRUK!

"HEI!" Eduardo melotot murka. "DI MANA MATAMU, HAH!?" Baru saja seorang gadis menyenggol dan menumpahkan cocktail ke bajunya. Ia buru-buru mengibas-ngibaskan noda yang basah.

"Maaf. Gue nggak sengaja." Gadis itu menatap Eduardo sekilas, lalu melenggang pergi dengan gontai tanpa dosa.

Eduardo langsung mencekal lengan gadis rambut sebahu itu. "ANDA MAU KE MANA, HAH!? SEENAKNYA SAJA KABUR SETELAH MENODAI BAJU SAYA!"

Gadis itu menepis tangan Eduardo kasar. "NGGAK USAH SENTUH GUE!" Dia melotot murka. "BAJU MURAHAN KAYAK GITU AJA DIPERMASALAHKAN! LO BISA BELI YANG BARU, KAN!? APA LO KAGAK SANGGUP?!"

"JAGA UCAPAN ANDA!" Eduardo menunjuk muka gadis itu kasar. "ASAL ANDA TAHU, SAYA MAMPU MEMBELI SELURUH BAJU DENGAN MEREK TERNAMA DI DUNIA INI, BAHKAN JUGA HARGA DIRI ANDA!"

Sontak gadis itu menonjok rahang Eduardo sekuat tenaga hingga pria itu menubruk keras meja bar.

Suara pecahan kaca diiringi teriakan para gadis menggelegar memenuhi ruangan sangat bising tersebut. Sontak para pengunjung bar berhenti berpesta riang dan menoleh ke sumber keributan.

"KAGAK USAH BELAGU KALAU LO MASIH NUMPANG KERJA DI PERUSAHAAN ORANG TUA LO! BUKAN DARI HASIL KERINGAT LO SENDIRI AJA BANGGA!"

Eduardo menggeram murka, menyeka darah dari sudut bibir. "KURANG AJAR! BERANI-BERANINYA KAU MENGHINA, BAHKAN MENONJOK SAYA!"

"LAH! NGAPAIN HARUS TAKUT!"

"KAU …!" Eduardo hendak menggampar gadis itu, namun tangannya langsung ditangkap lalu dipelintir ke belakang punggung oleh gadis tersebut.

"ARGH!" Eduardo mengerang kesakitan. Tangannya serasa akan patah. "LEPASKAN TANGAN SAYA! DASAR WANITA BIADAB!" umpatnya murka.

Gadis itu tertawa jahat. "DASAR, COWOK LEMAH!" Dia menendang bokong Eduardo hingga pria itu terjerembap ke lantai. Sambil menenggak alkohol langsung dari botol, gadis itu pergi meninggalkan kerumunan tanpa takut.

"OI! JANGAN KABUR!" Eduardo berusaha bangkit berdiri sembari mengerang kesakitan. Seluruh badannya seakan remuk. "AWAS SAJA KALAU KITA BERTEMU LAGI! AKAN SAYA BUNUH KAU TANPA BELAS KASIHAN!" teriaknya di belakang gadis itu.

Gadis itu tetap melenggang pergi tanpa menoleh.