webnovel

Dream girl

Rose kembali ke restoran dengan wajah sembab akibat menangis sepanjang jalan, namun tak ada satupun yang berani menanyakan alasan Ia menangis.

Seperti biasa, malamnya Josh menawarkan Rose untuk pulang bersamanya, namun lagi-lagi Rose menolak, Ia memilih untuk pulang sendiri seperti biasa.

Sepanjang perjalanan pulang, Rose masih memikirkan kejadian hari ini, bahkan Ia menyesal harus bertemu pria bernama Julian Smith yang akhir-akhir ini membuat harinya buruk. Rose membenci pria itu.

Ceklek!

Rose memasuki apartemennya, melepas sepatu dan berniat merebahkan diri di sofanya. Tapi betapa terkejutnya Ia ketika melihat pria yang Ia benci sedang tertidur di sofanya.

"A-apa yang--" Rose yang sejak tadi merasa kesal, menjadi semakin marah karena pria tidak tahu diri itu tanpa malu menampakkan diri setelah melakukan banyak hal memalukan padanya.

"Sudah ku katakan untuk tak menampakan dirimu lagi!" Rose menarik kerah Julian dan berusaha menariknya untuk menyingkirkan pria itu dari sofanya, seketika Rose mencium aroma minuman keras dari tubuh Julian dan menyadari jika pria itu kini tengah mabuk dan tak sadarkan diri.

"Ya Tuhan, mengapa? Mengapa kau datang lagi menemuiku?" Rose melepaskan pria itu dan menjatuhkan dirinya ke lantai, Ia benar-benar tak mengerti mengapa Julian terus saja mengganggunya.

"Rose..?" Julian yang setengah sadar memanggil nama Rose.

"Maaf jika aku datang kemari, aku tak bisa berhenti menyesali perbuatanku hingga kau mau memaafkanku," ujarnya seraya memegangi kepalanya, pria itu merasakan kepalanya yang terasa sakit.

"Sudah ku katakan untuk tak menampakkan dirimu lagi dihadapanku, tapi mengapa kau--" Rose kehabisan kata-kata untuk melanjutkan ucapannya.

"Rose, aku harus meminta maaf padamu. Ku mohon maafkan aku Rose.." Julian bangkit dengan sedikit terhuyung, lalu berlutut dihadapan Rose.

"Pergilah dan temui saja kekasihmu itu! Aku tak membutuhkan permintaan maaf darimu!" Rose kembali menarik tangan Julian, membuat pria itu susah payah untuk bangkit dan menstabilkan dirinya, hingga Rose berhasil menyeretnya keluar.

Rose memperhatikan Julian yang tersungkur dan tengah berusaha untuk bangkit lagi, namun tampaknya pria itu begitu kesulitan, Julian benar-benar dalam pengaruh alkohol, pria itu mabuk parah.

"Kau mabuk karena kekasihmu itu? Apa kau begitu patah hati hingga sekacau ini?" Rose menggeleng, Ia mengesampingkan hati nuraninya dan menutup pintu apartemennya mencoba tak peduli apapun yang akan terjadi pada Julian.

Masih berdiri di sana, Rose masih terpikirkan akan Julian, bertanya-tanya apakah yang Ia lakukan sudah benar. Rose kembali membuka pintu apartemennya, dan Ia dapati Julian masih terduduk di lantai dengan tubuhnya bersender ke balkon, pria itu tampak tak berdaya.

Dapat Rose lihat wajah Julian yang dipenuhi luka lebam, bekas pukulan Dominic siang tadi. Bahkan Rose ingat jika tak hanya wajahnya saja, tubuh pria itu menjadi sasaran pukulan pria yang tadi bersama Melisa.

Rose menghela nafas, lagi-lagi Ia merasa iba, mengingat kemarin malam Julian berbaik hati membantunya membayar tagihan apartemennya selama tiga bulan bahkan Julian membayar lebih untuk beberapa bulan ke depan.

Rose meraih tangan Julian dan mengalungkannya di leher lalu mengajak tubuhnya berdiri dan memapahnya masuk. Rose kembali merebahkan tubuh Julian di sofa, mengambil air hangat untuk membersihkan luka-luka di wajahnya.

Beberapa kali Julian meringis kesakitan, tapi tak mampu membuatnya tersadar, pria itu masih tetap memejamkan matanya.

"Maaf.." ujar Rose lirih, entah apakah Julian mendengarnya atau tidak.

*

Pagi ini Rose sudah menyiapkan sup penghilang pengar dan minuman panas untuk Julian yang masih tertidur di sofa, Ia tak mau membangunkan Julian dan memutuskan untuk segera pergi bekerja supaya pria itu tak mendapatinya di apartemen.

Julian terbangun, memegang kepalanya yang masih terasa sedikit pusing. Setelah menyuasaikan tubuhnya dengan posisi duduk, Ia mencari keberadaan Rose dan hanya menemukan sepucuk surat tergeletak di dekat mangkuk sup.

'Aku pergi bekerja. Sudah ku buatkan sup penghilang pengar untukmu. Habiskan sebelum kau pergi.'

Sudut bibirnya naik, entah mengapa Julian merasa senang mendapat perhatian dari Rose.

"Baiklah, aku akan menghabiskannya untukmu."

Hatinya berbunga mengingat tadi malam Rose membawanya masuk dan mengobati lukanya. Meski Ia begitu mabuk, tapi Ia dapat mengingat dengan jelas segala perlakuan Rose. Julian berharap Rose akan selalu bersikap semanis itu padanya.

Julian meletakkan sendoknya dan meraih ponselnya yang berdering.

"Ya?" Julian menerima panggilan itu dengan malas.

...

"Bekerja."

...

"Berapa yang kau butuhkan?"

...

"Bukankah Hans sudah mengirimnya untukmu?"

...

"Baiklah, akan ku ingatkan dia. Bagaimana kabar Joa--"

Tuttt!

Belum mendapat jawaban, seseorang di telepon itu sudah memutus sambungannya. Julian berdecak kesal, lalu melemparkan ponselnya ke meja.

*

"Tuan?" sapa Ivy pada seorang pria yang bersender di mobilnya yang terparkir di depan restoran.

"Ya?"

"Bukankah kau adalah orang yang malam itu memesan pasta?"

"Ya, kau benar."

"Mengapa berdiri di luar? Tuan ingin memesan makanan lagi?"

"Tidak, aku datang untuk menjemput Rose."

"Rose?"

Pintu restoran terbuka dan Rose-lah yang keluar melewati pintu tersebut, sekejap Rose menyadari kehadiran Julian di sana, tapi berusaha mengabaikannya. Sedangkan Ivy masih tak habis pikir mengapa bisa pria tampan itu datang untuk menjemput wanita seperti Rose.

"Rose!" panggil Julian, berusaha menghentikan langkah kaki gadis itu.

"Apa lagi sekarang?"

"Aku datang untuk mengantarmu pulang," ujar Julian.

Rose menoleh ke arah Yeri yang masih memperhatikan keduanya, "Tidak, antarkan saja temanku itu, kurasa dia akan sangat bahagia jika kau mengantarnya," jawabnya ketus.

Julian bukanlah pria yang cukup sabar menghadapi ocehan wanita, sehingga langsung saja Ia menggendong Rose dan membawanya ke mobil, Ia tak peduli akan Rose yang meronta meminta di turunkan.

Ivy yang masih berdiri di sana mematung melihat keduanya, Ia tak percaya Rose menolak ajakan pria itu. Bukankah keduanya baru bertemu beberapa hari yang lalu?

Rose terus terdiam sepanjang perjalanan, Julian tahu Rose sedang sangat marah saat ini. Sedangkan Rose masih tak dapat memahami hubungan apa yang Ia miliki dengan pria yang saat ini tengah fokus mengendarai mobilnya. Mengapa Julian menjemputnya dan memaksanya untuk pulang bersamanya, mengapa pria ini bersikap seolah Rose adalah miliknya.

Menciumnya tanpa izin, tidur dirumahnya, memaksanya melakukan kehendaknya bahkan membayar sewa apartemennya, apa hak pria itu memasuki kehidupannya?

"Rose? Mengapa diam saja? Kau masih marah padaku?" tanya Julian berusaha mencairkan suasana.

Rose tak peduli bahkan tak ingin bicara apapun pada pria itu.

"Aku sudah meminta maaf berkali-kali padamu." Julian merendahkan nada bicaranya.

"Rose.." panggilnya lagi.

"Julian Smith, mengapa kau datang lagi? Apa sebenarnya yang kau inginkan? Tidak bisakah sedikit saja membuatku tenang?"

Julian menghentikan laju mobilnya dan menepi.

"Bukankah sudah ku katakan jika aku menyesal."

"Menyesal katamu? Apa yang kau sesali?Itu sama sekali tidak mengubah keadaanku. Hanya jika kau pergi dari hidupku!"

"Tidak Rose, aku sudah banyak melakukan hal-hal buruk padamu, biar aku menebusnya."

"Aku tidak membutuhkannya, mengertilah.." Rose memohon.

"Bagaimanapun aku harus menebusnya, Rose."

"Dengan apa kau akan menebusnya?"

"Dengan menjadi kekasihmu," ucap Julian membuat Rose ternganga.

"Apa?? Apa kau gila??"

"Aku sedang tidak bicara omong kosong padamu."

Rose tertawa kecut, "Kau ingin menjadikanku pelarianmu? Kau memintaku menjadi kekasihmu hanya karena kau menyesali perbuatanmu?"

"Sama sekali tak pernah terpikirkan olehku untuk menjadikanmu pelarianku."

"Aku paham pria brengsek sepertimu," kesal Rose.

"Aku sungguh-sungguh tertarik padamu, dan aku benar-benar menyesali perbuatanku Rose, aku tahu kau melihatku sebagai pria brengsek dan semacamnya, tapi beri aku kesempatan untuk memperbaiki sikapku."

"Tuan, sadarkah jika semuanya akan menjadi mudah jika kau membiarkanku pergi. Aku sudah memaafkanmu, hanya saja biarkan aku pergi."

"Aku tidak dapat melepaskanmu, dan itu menjadi tanggung jawabmu karena aku melihat sesuatu yang berbeda di dirimu."

"Apa maksudmu dengan perbedaan yang kau lihat di diriku? Tidakkah kau melihatnya di diri Melisa?"

"Aku hanya melihat hal itu di dirimu, kau berbeda dari wanita-wanita yang pernah menjadi milikku, kau berbeda dari Melisa atau wanita manapun," ungkap Julian membuat gadis itu lekat memperhatikannya.

Rose akui jika Julian tampak mengatakannya dengan tulus, tapi kembali Rose teringat akan alasan Julian mabuk kemarin malam, Ia berusaha untuk tak terpengaruh dengan ucapannya.

"Mabuk karena patah hati, aku bahkan tak mungkin melupakan hal itu."

"Jika kau berpikir aku mabuk karena memikirkan Melisa, kau salah. Banyak hal yang sedang ku pikirkan, termasuk dirimu. Aku sungguh menyesal bersikap kurang ajar padamu."

Tampaknya Julian begitu pandai merangkai ucapannya, meski itu tak benar-benar membuat Rose percaya padanya.

"Kau mau memaafkan aku Rose?"

Rose kembali menatap Julian, "Sudah ku katakan jika aku telah memaafkanmu."

"Itu artinya kau mau menjadi kekasihku?"

Rose menggeleng, Julian memang lucu, Ia sama sekali tak dapat menebak apa yang ada di pikiran pria itu. Memaafkan dan menjadi kekasih, bukankah itu hal yang jauh berbeda.

"Terserah kau saja, lagipula kau akan terus memaksa." Rose mulai malas menanggapi ocehan Julian yang tidak masuk akal, sebenarnya pria ini waras atau tidak.

"Tidakkah kau ingin memanggilku dengan sebutan sayang?"

"Sayang? Seperti yang kekasihmu itu katakan, 'Honey..'?" Rose mengikuti gaya bicara Melisa ketika memanggil Julian.

"Mengapa masih menyebutnya kekasihku?"

"Bukankah itulah kenyataannya, kekasihmu masih Melisa."

"Jika kau masih tidak percaya, akan ku hubungi Melisa agar kau percaya aku sudah memutuskan hubunganku dengannya."

"Tidak perlu, aku tak ingin mendengarnya. Akan lebih baik jika kau antar saja aku pulang, aku sudah merasa tidak nyaman."

"Baiklah, dengan senang hati." Julian melajukan mobilnya dan mengantar Rose pulang.