webnovel

My Favorite Problem

Pernahkah kamu terlibat cinta segiempat? Bagaimana perasaan kamu ketika di perebutkan oleh 3 laki-laki sekaligus? Senangkah, bahagiakah, atau justru bingung? Karena dari ketiganya itu, masing-masing memiliki alasan kuat untuk kamu pilih. Itulah yang di rasakan oleh Nayla Laurienz Fransisco, seorang gadis cantik berdarah Prancis yang terjebak cinta segiempat usai di tinggal pergi oleh orang yang amat di cintainya. Jika berbicara cinta, maka otomatis juga berbicara perihal meninggalkan atau di tinggalkan, patah hati, kenangan, dan rindu. Seberapa kuat kamu, mengikhlaskan kepergian seseorang? Tentu tidak mudah bukan? Lalu bagaimana mungkin jika tiba-tiba saja kamu mendapatkan sepucuk surat dari surga yang dikirimkan orang itu? begitu umit 'kan? Tapi bagi Nayla, itu semua adalah "Favorite Problem". Why? Temukan jawabannya di sini.

Uul_Ulhiyati · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
306 Chs

Part 9 : Lantas Siapa?

Reno duduk termenung di teras rumahnya. Semua pekerjaan rumah telah dia selesaikan, biasanya sepulang sekolah Reno akan langsung pergi bekerja, tapi kali ini tidak. Dia masih belum menemukan pekerjaan baru. Jadilah dia melamun memikirkan masalah hidup yang tak berkesudahan.

"Woy, Reno!" Panggil Arkan yang tiba-tiba saja datang dari belakang, membuat Reno sedikit tersentak.

"Eh, dari mana aja kamu? Kok, tiba-tiba ngilang?" Tanya Reno. Rupanya dia cukup merindukan arwah itu.

"Gue abis di ajak rapat tadi pagi sama arwah-arwah yang lain," jawabnya.

"Wuih, mantep. Ternyata arwah juga ada rapatnya ya," Reno justru terkekeh mendengarnya.

"Iyalah, kita kan, arwah modern," kata Arkan dengan nada sombong. "Eh, gimana tadi hari pertama Lo di sekolah?"

"Cukup buruk,"

"Kenapa?"

"Orang yang waktu itu bikin aku di pecat dari restoran, ternyata dia sekolah di sana, satu kelas lagi. Wah, dunia emang sempit," Reno menepuk jidatnya sendiri.

"What? Ahahaha," Arkan tertawa terpingkal-pingkal.

"Ih, malah ketawa. Orang lagi kena masalah juga," Reno mendengus sebal.

"Sory, sory, abisnya lucu sih. Terus Lo di apain? Di pukul, di tendang, apa di bully?" Tanya Arkan dengan sisa-sisa tawanya.

"Hampir, tapi untungnya ada cewek baik yang nolongin aku,"

"Beuh, cie-cie di tolongin cewek," goda Arkan. Senyum Reno mengulum seketika, wajahnya terlihat malu-malu.

"Apasih," katanya, salah tingkah.

"Oh iya, gimana sama beasiswanya? Bener kan, apa kata gue," Arkan mengalihkan pembicaraan.

"Ya ampun, sampe lupa. Aku di suruh ke rumah Pak Samuel buat ngajuin beasiswa itu. Soalnya tadi beliau gak masuk," Reno segera beranjak dari duduknya.

"Nah kan, masih untung gue ingetin,"

"Iya, yaudah aku berangkat sekarang ya,"

"Eh, Ren. Gue ikut,"

***

Reno dan Arkan berdiri di depan pagar yang menjulang tinggi. Reno bingung bagaimana cara membukanya karena pagar itu di kunci.

"Ini beneran rumahnya?" Tanya Reno.

"Iya, gue inget ko, ini rumah gue dulu," jawab Arkan dengan mantap.

"Permisi, Pak, Bu," Reno sedikit mengintip di celah pagar.

Untung saja, Pak satpam segera datang membukakan gerbang sebelum Reno kesemutan.

"Ada apa ya, dik?" Tanya Pak Satpam.

"Apa saya bisa bertemu dengan Pak Samuel, Pak? Saya anak muridnya, saya ada kepentingan dengan beliau," jawab Reno.

"Oh begitu, silahkan masuk. Bapak ada di dalam," Pak satpam mengangguk hormat.

"Terima kasih, Pak," Reno balik mengangguk. Reno terbelalak kagum ketika melihat rumahnya. Sebuah rumah minimalis bergaya estetik, dengan tembok bambu kuno yang di beri sentuhan modern. Sederhana tapi terlihat begitu imut dan elegan.

"Wah, rumah kamu bagus banget," kata Reno. Rupanya, ucapan Reno tadi masih bisa di dengar oleh Pak satpam.

"Bukan, dik. Itu bukan rumah saya, itu rumah majikan saya," ujarnya.

"Eh, iya, Pak. Saya juga tau kok," kata Reno sambil buru-buru pergi, karena tampaknya satpam itu mulai berpikir aneh tentang dirinya.

Arkan masih setia mengikuti Reno. Tujuan dia ikut ke sini adalah untuk melihat kedua orang tuanya. Sekaligus memastikan, apakah memang orang tuanya lah yang masih mengunci hati dia?

Ketika melihat rumah itu, Arkan tiba-tiba terbayang masa lalunya. Rumah tempat ia bernaung, tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Kini dia tidak bisa lagi tinggal di sana, bahkan orang tuanya saja sudah tidak mungkin bisa melihatnya lagi. Arkan buru-buru menepis semua kabut di matanya, dia sadar bahwa ini adalah takdir hidup yang harus dia jalani.

Reno memencet bel yang ada di samping pintu seraya mengucapkan salam. Tak lama kemudian, seorang perempuan yang masih terlihat muda membukakan pintu.

Cantik, perempuan itu sangat cantik. Dengan rambut lurus sebahu yang hitam dan lebat, dia terlihat begitu anggun. Reno pikir, mungkin ini istri dari Pak Samuel.

"Mami ... " pekik Arkan, ingin rasanya ia memeluk wanita yang berdiri di hadapannya itu. Wanita yang amat ia cintai, wanita yang telah banyak berkorban untuk dirinya. Namun sayang, jangankan untuk bisa memeluknya, dia saja sudah tidak bisa menyentuh apapun lagi sekarang.

"Mami, Arkan kangen," air mata Arkan meleleh seketika. Dia tidak kuasa lagi menahan tangisnya.

Reno menatap Arkan dengan iba. Sungguh malang nasib arwah itu, pikirnya.

"Nak, mau bertemu siapa ya?" Tanya Aurora.

"Ah, anu, tante, saya mau bertemu sama Bapak Samuel. Apakah beliau ada di rumah?" Reno segera mengalihkan pandangannya.

"Oh, Bapak ada di dalam. Mari silahkan masuk," Aurora membukakan pintu untuk Reno.

Saat masuk ke ruang tamu, Reno melihat masih banyak foto Arkan terpajang di sana. Rupanya dia lebih tampan saat masih hidup.

"Silahkan duduk, Tante panggil dulu bapaknya ya," Aurora meninggalkan Reno sendiri.

"Itu kamu ya, yang di foto," tunjuk Reno.

"Iya, itu gue," Arkan menyusuri satu persatu foto yang di pajang di sana. Foto dia ketika masih kanak-kanak, begitu imut dan menggemaskan.

Hatinya kembali hancur, betapa dia merindukan kasih sayang orang tuanya. Dia rindu, Mami yang lembut dan tidak pernah marah, dia juga rindu pada Papi yang selalu melawak saat mereka berkumpul. Ah, betapa kejamnya takdir, harus membuat dia mengalami ini semua.

Seorang laki-laki yang sedikit gemuk dengan perut yang cukup buncit datang menghampiri Reno. Di ikuti Aurora yang membawakan hidangan. Pakaiannya begitu rapi, menunjukkan kewibawaannya.

"Papi ... " gumam Arkan, dia mendekat, ingin sekali rasanya memainkan perut buncit papinya seperti biasa. Tapi kenyataannya dia sudah tidak bisa melakukan itu, sekeras apa pun dia mencoba.

Reno memberikan isyarat agar Arkan duduk di sampingnya, agar tidak terlihat mencurigakan.

"Assalamu'alaikum, Pak," Reno mencium tangannya.

"Wa'alaikumsalam, siapa ya?" Tanya Samuel, karena wajah Reno masih begitu asing baginya.

"Saya Reno, murid baru di SMA 1, Pak," jawab Reno.

"Oh, murid baru rupanya,"

"Ini di minum dulu," Aurora sedikit menyela pembicaraan.

"Terimakasih, Tante," ujar Reno.

"Ada keperluan apa, Reno?" Tanya Samuel kemudian.

Lalu Reno menjelaskan maksud kedatangannya secara detail tanpa ada satu pun yang terlewat, dia menjelaskan alasannya pindah sekolah, juga tentang dia yang di pecat dari pekerjaannya. Samuel dan Aurora tampak begitu antusias, mereka ikut terharu mendengar cerita Reno.

"Ya ampun, Reno. Tante bener-bener terharu, kamu anak yang mandiri dan berbakti sama orang tua," mata Aurora berkaca-kaca.

"Aku juga berbakti kok, sama Mami," tukas Arkan, tentu saja hanya Reno yang bisa mendengarnya.

"Baiklah, saya akan berikan beasiswa penuh untuk kamu," ujar Samuel.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak," Reno mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sebagai tanda syukurnya.

"Kalau kamu mau, kamu juga bisa kerja di sini, ya meskipun hanya sebagai tukang kebun," tambah Aurora.

Reno sangat bahagia, satu hari ini dia mendapatkan dua rezeki yang besar, "saya mau banget, Tante," ucapnya. Arkan benar, Bapak Samuel Gibson dan istrinya ini sangat dermawan. Mereka bagaikan malaikat penolong bagi Reno.

"Gue bilang juga apa, orang tua gue baik banget kan, yaudah, sekarang cepet Lo tanyain tentang gue," Arkan mengingatkan.

"Sabar," Reno sedikit berbisik. Untung, Samuel dan Aurora tidak sedang memperhatikannya.

"Oh iya, saya penasaran, itu yang di foto anak Bapak?" Reno mulai membuka pembicaraan mengenai Arkan.

"Oh, iya, dia anak kami, mungkin seumuran sama kamu," jawab Samuel.

"Namanya Arkan, dia anak yang baik, pintar dan penurut. Tapi sayang, dia sudah mendahului kami beberapa bulan lalu," Aurora menambahkan, matanya sedikit berkaca-kaca.

"Oh, Mami, aku di sini. Di depan Mami," rengek Arkan, sambil melambaikan tangannya.

"Maaf, Tante. Saya enggak tau. Pasti pertanyaan saya buat Tante jadi sedih lagi," kata Reno dengan sangat hati-hati.

"Gak masalah, lagi pula kami sudah mengikhlaskan kepergian Arkan," kata Aurora dengan senyum yang mengembang di wajah cantiknya.

"Apa? Jadi Mami sama Papi udah terima kepergian aku," Arkan terkejut mendengar jawaban Aurora. Ada rasa sedih di sana, dia benar-benar tidak ingin di lupakan oleh kedua orang tuanya. Tapi, ada sesuatu yang janggal di sini, kalau bukan kedua orang tuanya, lantas siapa lagi yang masih mengunci hatinya sampai malaikat menolaknya??

"Kami hanya ingin Arkan tenang di sana. Itu sebabnya, kami sudah berusaha mengikhlaskan kepergiannya meski sangat berat," perkataan Samuel cukup menjawab pertanyaan Arkan. Ya, mereka bukan melupakan Arkan, hanya saja mereka tidak ingin Arkan menjadi arwah gentayangan. Meskipun, kenyataannya justru bertolak belakang.

"Aamiin, semoga arwah Arkan tenang di sana," kata Reno, tentu saja dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.

Setelah semua tujuannya di sampaikan, Reno langsung pamit untuk pulang, mengingat hari mulai petang. Besok Reno akan datang lagi untuk bekerja.

Di perjalanan pulang, Reno dan Arkan kembali membahas tentang siapa sebenarnya yang masih mengunci hati Arkan?

"Kalau bukan orang tua kamu, terus siapa yang sampe segitunya mencintai kamu?" Tanya Reno.

"Ya mana gue tahu," jawab Arkan, ketus.

"Aku aneh ... " Reno berpikir keras.

"Bentar deh, sebenernya gue itu risih, ngedenger Lo ngomong pake 'aku-kamu'. Geli tau gak, berasa kek orang pacaran," Arkan sedikit mengalihkan topik, karena selama ini dia memang sudah tidak tahan mendengarnya.

"Ya gimana lagi, aku udah biasa kaya gini," Reno bersungut-sungut, sebelum sesuatu terlintas di pikirannya.

"Pacar ... Ah, aku tau. Kamu punya pacar gak dulu? Kalau menurut aku sih, kamu pasti punya, kamu kan ganteng, masa iya gak laku,"

"Sembarangan," Arkan mendelik, "ya gak tau, gue kan gak inget semuanya," lanjutnya

"Coba inget-inget lagi, siapa tau, orang itu adalah pacar kamu. Mungkin, dia yang masih belum bisa terima kepergian kamu," kali ini Reno benar-benar serius.

Arkan terdiam sejenak, "tapi di pikir-pikir omongan Reno ada benarnya juga sih," pikirnya.

Tidak menutup kemungkinan kan, kalau yang masih mengunci hati dia itu pacarnya. Tapi siapa? Arkan berusaha untuk mengingatnya, tapi tidak ada satu pun petunjuk yang muncul di kepalanya. Selain kedua orang tuanya, tidak ada lagi orang yang Arkan ingat.

Arkan menggeleng, "gue gak tau, gue lupa. Gimana ya caranya biar bisa cari tau siapa pacar gue dulunya?"

Reno kembali berpikir, mencari cara yang paling jitu untuk masalah ini.

"Aha, kamu bilang, katanya kamu dulu sekolah di SMA 1. Nah, biasanya anak seumuran kita itu punya pacar di sekolah, karena bisa ketemu setiap hari. Siapa tau, pacar kamu juga sekolah di sana," kata Reno.

Mata Arkan berbinar senang, "Wah, Ide bagus. Ternyata Lo emang beneran pinter. Gue yakin, gue pasti punya pacar di sekolah. Ok, jadi mulai besok gue akan ikut Lo ke sekolah," Arkan sangat bergairah, dengan semangat 45 dia akan menemukan orangnya.

"Ok, bos," Reno mengedipkan matanya sebelah, ok sepakat.