Nayla langsung menghampiri orang yang barusan dia panggil.
"Nayla? Ya ampun, kenapa harus ketemu dia di sini sih?" Reno memalingkan wajahnya, berharap Nayla tidak akan melihat wajah babak belurnya. Tapi itu mustahil karena Nayla sudah berdiri di hadapannya.
"Kenapa, Ren? Lo takut sama si brengsek itu, Cemen," sergah Arkan.
"Ren, kenapa lo gak masuk sekolah? Astagfirullah, itu muka Lo kenapa? Kok bisa babak belur kaya gitu? Lo berantem ya," Nayla memberondong pertanyaan sekaligus.
"Aku ... Aku gak enak badan, Nay," jawab Reno.
"Gak usah di jawab juga gue tau. Pasti karena muka Lo, kan? Ya ampun, pasti sakit deh," Nayla ngilu melihat wajah Reno yang penuh lebam seperti itu. Dia memandang lekat-lekat wajah Reno dari jarak yang cukup dekat, Reno terpaksa harus menahan nafasnya yang kian memburu.
Karena penasaran, Nayla menyentuh lebam yang ada di pipi kiri Reno dengan jari telunjuknya.
"Aww ... " Reno meringis,
"Sakit, ya?" Tanya Nayla. Dia buru-buru menurunkan tangannya.
"Iyalah, sakit. Gak waras nih, cewek," Arkan ikut nimbrung, dia cukup kesal karena merasa seperti obat nyamuk.
"Ini pasti sakit kena kacamata," Nayla lalu melepas kacamata Reno.
"Nah, kan, Lo ternyata lebih keren kalau gak pake kacamata," puji Nayla. Dan itu membuat Reno ingin terbang rasanya.
"Aku gak biasa kalau gak pake kacamata," kata Reno sambil tertunduk malu.
"Lo berantem sama siapa?" Tanya Nayla lagi.
Reno hanya menggeleng.
"Terus? Lo di pukulin gitu? Sama siapa? Jangan bilang sama si Nathan," tebak Nayla dengan jitu.
"Iya sama cowok Lo," ujar Arkan.
Sekarang Reno bingung harus bagaimana, sedangkan dia sangat tidak pandai berbohong.
"Bener sama si Nathan? Kok bisa sih? Emang Lo salah apa sama dia? Wah, belum tau dia ultimatum gue," Nayla mengomel karena saking geramnya.
"Eh, Nay, Nay, ja-jangan ya, aku mohon, kamu jangan ngomong apa-apa sama Nathan," Reno mengiba, dia terlihat sangat takut.
"Kenapa Lo takut? Tenang aja, ada gue,"
"Emang si Nathan tuh, so jadi Tiger depan orang lain, tapi depan cewenya menye-menye," Arkan ikut mencibir.
"Bu-bukan gitu. Tapi kata ibuku, jangan lari dari masalah tapi juga jangan mencarinya. Aku gak mau punya masalah terus sama Nathan," kini wajah Reno semakin memelas. Walau sebenarnya dia senang karena Nayla membela dia seperti itu.
"Gak tega juga gue liat mukanya melas banget gitu, kaya orang belum makan sebulan," kata Nayla dalam hati.
"Yaudah, iya,"
Tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut dari arah kanan. Suara deru motor dan teriakan beberapa orang. Saat itulah, mereka melihat sebuah sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi mulai mendekat. Si pengendara motor tersebut terlihat memberikan isyarat agar orang-orang menjauh karena rem motornya blong.
"AWAS MINGGIR REM BLONG," teriak si pengendara.
Sepeda motor melaju dengan cepat, mengikis jarak yang hanya tinggal beberapa meter. Nayla sangat terkejut, dia sampai tidak tahu harus bagaimana saat detik-detik terakhir motor itu mendekatinya sementara posisi Nayla tepat berada di pinggir jalan dan sedang berhadapan dengan Reno.
"Ren, tarik Nayla," perintah Arkan.
Dengan sigap Reno menarik tangan Nayla tepat di waktu sepeda motor itu melaju di hadapannya. Dan motor Pixeon itu akhirnya menabrak sebuah gerobak sampah di pinggir jalan tepat di sebrang Nayla dan Reno.
Sementara itu, Reno yang tidak bisa menjaga keseimbangan saat menarik Nayla, keduanya terjatuh dengan posisi kepala Nayla berada di atas dada Reno sementara badannya mengenai aspal jalanan. Tangan Reno masih menggenggam tangan Nayla dengan erat.
Dalam posisi seperti itu ritme jantungnya semakin kencang, membuat dia berkali-kali sulit menelan air liurnya.
Kejadian itu menarik perhatian orang di sekitar. Itu karena si pengendara motor yang jatuh tertimpa motornya sendiri dan kepalanya yang membentur aspal, kebetulan dia tidak memakai helm saat itu. Tentu saja, darah langsung mengalir di atas jalanan yang tandus dan penuh debu itu.
Nayla yang sudah kembali bangkit melihat ke arah si pengendara motor di depannya. Seketika itu traumanya muncul kembali.
"Darah ... Kepalanya ... " Nafas Nayla turun naik dengan cepat, dadanya mulai sesak kembali di penuhi oleh rasa sakit. Kerongkongannya terasa kering hingga ia sulit menelan ludahnya sendiri.
"Darah ... Aa...rr," mata Nayla sudah berkaca-kaca, tubuhnya bergetar hebat, kini dia mulai memegangi kepalanya yang terasa pening.
"Nay, Nayla, kamu kenapa?" Reno sangat cemas melihat keadaan Nayla yang tiba-tiba seperti itu.
Lututnya sudah mulai melemas berbarengan dengan air matanya yang mengalir deras, meski begitu pandangan Nayla tidak bisa beralih dari orang yang sedang kesakitan di depannya. Seketika itu tubuh Nayla roboh di atas jalanan beraspal.
"Nayla ... " pekik Reno.
Saat dia melihat ke arah Arkan, keadaan Arkan pun tak jauh berbeda. Arkan tengah memegangi kepalanya seperti orang yang kesakitan.
Kejadian di hadapannya membuat Arkan kembali teringat akan sesuatu.
"Malam itu ... "
Ya, Arkan ingat dia pernah mengalami kecelakaan seperti itu meski beda kronologisnya. Lalu ...
"Arkaaaaannn!!"
"Arkan bangun ... Ar"
"Pangeran kodok, bangun,"
Dia ingat, ada seorang perempuan yang bersimpuh di sampingnya. Menangis histeris meratapi dirinya. Tapi siapa?
"Tuan putri," gumam Arkan, perlahan-lahan wajah wanita yang ada dalam bayangannya mulai terlihat jelas.
"Apa hebatnya jadi pangeran kodok? Kodok kan, dekil, burik lagi, hahaha,"
Tawa itu ...??
Mata Arkan terbelalak. Ya, dia ingat, sekarang dia benar-benar ingat siapa wanita itu. Tak salah lagi itu Nayla.
"Kak Nay," teriak Vivi, dia sangat khawatir melihat sudah banyak orang yang berkerumun di sekitar kakaknya. Bahkan, sudah ada ambulance di sana.
"Kak Nay kenapa?" Vivi memeluk kakaknya, dia mengusap wajah sang kakak yang penuh keringat dingin.
"Kak, Kakak Vivi kenapa?" Tanyanya pada Reno.
"Justru aku juga bingung Nayla kenapa,"
"Ya ampun, kak, panik gak? Panik gak? Ya paniklah, masa ngga," Vivi mulai rempong sendiri.
Saat Vivi sadar bahwa ada yang kecelakaan di situ. Dia langsung tau, bahwa kakaknya pasti trauma.
"Traumanya pasti kambuh karena ngeliat yang kecelakaan," kata Vivi.
"Trauma? Trauma kenapa?" Reno mulai berfikir bahwa ini ada hubungannya dengan Arkan.
"Vivi, Ar, Vi, Ar," Nayla masih menangis sesenggukan sambil memeluk Vivi.
"Iya, kak. Vivi tau. Udah ya, kak Arkan pasti udah tenang di sana," kata Vivi sambil terus mengusap punggung kakaknya.
"Apa Arkan?" Kini Reno yang terkejut mendengarnya.
"Pacar Kak Nayla yang meninggal beberapa bulan lalu karena kecelakaan motor," jawab Vivi setengah berbisik.
"Jadi ... Ini alesannya," Reno langsung memandang ke arah Arkan.
"Iya, gue udah inget semuanya. Gue inget siapa Nayla dan gue juga inget siapa Nathan," Arkan mengangguk mantap.
Entah kenapa, hati Reno tidak terima dengan kenyataan ini. Ternyata Naylalah orang yang belum bisa mengikhlaskan Arkan. Sedalam itu Nayla mencintai Arkan hingga dia mengalami trauma seperti ini. Tatapan Reno kosong, dia masih tidak percaya ini.