Sherin keluar dari kamar. Rambutnya masih basah. Sengaja tidak dikeringkan terlebih dahulu. Sherin ingin melihat apakah laki-laki menyebalkan itu masih ada di tempat kediamannya. Wanita itu pun mengembuskan napas lega.
"Akhirnya dia pergi juga. Entah sampai kapan aku bisa seperti ini terus. Aku benar-benar membencinya. Dia yang sudah membuat Mamaku meninggal," ucap Sherin dalam kesendiriannya.
Saat bermonolog pada diri sendiri, netra Sherin melihat piring berisi omelette di atas meja. "Kamu pikir bisa menyogokku dengan makanan ini. Aku tidak akan pernah menerima jabatan itu. Aku tidak suka menjadi CEO. Aku benci perusahaan. Aku juga sangat membenci kamu." Sherin terus mengoceh. Sementara pria yang dibencinya sudah tidak ada di sana.
Ingin mengabaikan makanan di atas meja, namun sayang. Perut Sherin juga lapar. Aroma dari telur goreng itu begitu melambai, menyeruak masuk ke dalam lobang hidung.
"Tidak ada salahnya aku memakan telur goreng ini." Sherin menarik kursi, duduk, lalu menikmati sarapan telur di pagi hari.
***
Selain melukis, keseharian Sherin hanyalah bersenang-senang. Belanja, ke club, alkohol, atau pergi berwisata. Semua dia lakukan hanya untuk berfoya-foya. Menghabiskan uang Lynch adalah tujuannya. Namun, tetap saja sumber uangnya tidak pernah bermasalah.
Sherin sedang berada di satu ruangan. Tempat itu dia khususkan untuk melukis. Sudah banyak hal yang dia torehkan melalui cat dan kuas. Salah satunya adalah wajah sang Mama yang meninggal saat usianya masih delapan tahun.
Berbagai warna cat, canvas, dan ukuran kuas dari beberapa ukuran sudah ada di dekat Sherin. Tetapi, entah kenapa hatinya merasa kesal sekali.
"Kenapa tidak ada ide sih?" gumam Sherin saat otaknya buntu. Tidak tahu harus menggambar apa.
"Jika sudah seperti ini, aku pasti butuh hiburan."
Sherin meraih ponsel yang sengaja dia letakkan di atas meja. Menghubungi kedua temannya untuk menanyakan ada kegiatan apa hari ini.
Dari seberang sana, suara seorang wanita menjawab. "Kami ingin berbelanja. Apa kamu mau ikut?" teman Sherin yang bernama Aira bersuara.
"Baiklah. Kalian tunggu aku di sana!" titah Sherin sebelum mengakhiri obrolan.
Sherin melepaskan celemek yang sering dia pakai saat melukis. Beberapa goresan cat warna menempel di tangan dan jemarinya. Untuk menghilangkan noda itu, Sherin memilih mandi sebelum berangkat untuk bersenang-senang.
***
Edzhar sedang berkutat dengan komputer, kertas, dan berbagai surat yang masuk ke alamat surelnya. Lynch sudah tidak bisa bekerja terlalu lama. Itu sebabnya Ed mengambil banyak alih pekerjaan. Andai saja Sherin mau menerima jabatan CEO, dia tidak akan sesibuk ini.
"Tuan, ini berkas yang Anda minta." Seorang wanita masuk membawakan map berisi tumpukan kertas.
"Terima kasih ya," balas Ed. Bukan CEO, tetapi harus rela mengerjakan itu semua. Sebagai bentuk balas budi kepada Lynch yang sudah menganggabnya sebagai anak sendiri.
"Apa Tuan memerlukan secangkir kopi?" sapa sekretarisnya yang bernama Samanta. Terpaksa Ed mempekerjakan asisten pribadi karena pekerjaannya yang sudah melebihi kapasitas. Lynch ayah angkat sekaligus atasannya pun tidak keberatan akan hal itu.
"Boleh. Sejak tadi mataku mengantuk. Aku membutuhkannya."
Samanta merasa senang saat tawarannya diterima oleh Ed. Laki-laki tampan yang baru pulang dari Amerika itu sudah mencuri hatinya.
***
Sherin mengambil apa saja yang dia sukai. Dia pun rela berjalan dari satu toko ke toko yang lain. Aira dan Joan juga melakukan hal yang sama. Bagi mereka bertiga, hidup itu hanya sekali. Harus dimanfaatkan untuk bersenang-senang.
Di tangan Sherin sudah ada tiga tentengan. Entah untuk apa dia membeli pakaian sebanyak itu. Padahal, di lemari saja masih banyak baju baru yang belum terpakai.
"Aku lapar," ucap Sherin. Kedua temannya pun mengalami hal yang sama.
"Kalau begitu kita makan dulu saja," sahut Joan.
Tiga wanita cantik itu berjalan menuju restoran cepat saji. Memesan ayam goreng dengan jumlah banyak.
"Bagaimana saudara angkat kamu itu? apa dia semakin tampan?" Joan menanyakan Ed. Baginya, laki-laki itu adalah ciptaan Tuhan paling sempurna.
"Dia bukan saudaraku. Dia hanya anak sopir yang kebetulan bernasib mujur. Aku tidak pernah menerimanya sebagai saudara," cibir Sherin.
"Tetap saja, dia anak yang sudah diasuh oleh papa kamu," ucap Aira membenarkan perkataan Joan.
"Terserah kalian saja. Sekarang aku hanya ingin makan. Perutku sangat lapar," elak Sherin. Sungguh malas membicarakan laki-laki menyebalkan itu.
Mereka bertiga pun menyantap ayam goreng berselimutkan tepung. Sambil bersenda gurau membicarakan hal-hal yang tidak penting.
"Bagaimana kalau nanti kita ke club untuk bersenang-senang? Aku ingin mencari pria tampan untuk menemaniku malam ini," ujar Aira saat kedua temannya masih mengunyah daging.
"Aku setuju. Dari kemarin aku harus menemani Mama. Aku bosan sekali." Joan langsung mengiyakan ajakan temannya.
"Bagaimana denganmu? Kamu ikut juga, kan?" Joan beralih kepada Sherin. Menanyakan pendapat wanita itu.
"Tentu saja. Aku juga butuh hiburan. Tetapi ingat! Jika ada laki-laki yang menggodaku, maka kalian berdua harus mengambil alih. Aku ke club bukan untuk memangsa laki-laki." Sebelum berangkat, Sherin memberikan tugas penting kepada kedua temannya.
Aira dan Joan pun tidak heran dengan permintaan Sherin. Selalu saja wanita itu menolak laki-laki yang ingin mendekatinya.
"Apa kamu tidak ingin mencoba satu pria saja?" Joan sengaja menawarkan. Baginya, tidur bersama dengaan laki-laki sudah hal yang biasa. Demikian juga dengan Aira.
"Tidak tertarik. Aku hanya ingin menari dan minum alkohol saja."
"Baiklah-baiklah. Kami akan menjagamu. Biasanya, laki-laki yang tertarik denganmu pasti tampan. Lumayan jika aku bisa mencicipinya," sahut Joan.
Aira tidak berkata apa-apa. Penolakan Sherin sudah seperti hukum yang tidak bisa dilanggar oleh siapa pun. Termasuk Lynch, papanya sendiri.
***
Edzhar sudah sampai di rumah. Masuk kamar, lalu meletakkan tas kerja ke atas sofa. Otaknya penat memikirkan banyaknya pekerjaan saat ini.
"Kapan Sherin mau pegang perusahaan?" gumamnya. Sesungguhnya, Ed juga tidak ingin jika Sherin melakukan sesuatu yang tidak disukai. Tetapi, tidak ada pilihan lain. Lynch tidak akan memberikan jabatan CEO pada seorang anak asuh.
Pusing memikirkan itu semua, Edzhar memilih untuk mandi. Setidaknya itu bisa menghilangkan beban pikirannya.
Jam sudah mengarah di angka sepuluh. Ed yang lelah ingin segera memejamkan mata. Mencari ketenangan dari mimpi yang indah. Namun, harapan tidak seindah kenyataan. Baru saja terpejam, sebuah panggilan masuk.
"Tuan Ed, Nona Sherin sedang berada di club bersama teman-temannya." Lapor bawahannya melalui benda pipih yang menempel di telinga.
"Huft! Anak itu selalu membuat masalah. Kapan dia akan belajar dewasa?" Ed mengembuskan napas. Bangun dari ranjang untuk mengganti piyama dengan pakaian lain.
***
Sherin sudah meminum tiga gelas anggur merah. Pembicaraan dengan papanya tadi pagi membuat pikirannya penat. Saat pelayan datang membawa gelas baru berisi anggur, Sherin langsung meraihnya. Meneguk minuman itu sampai habis.
Musik yang dimainkan pun mengundang gelora jiwa Sherin untuk menari. Gerakannya selalu berhasil membuang rasa kesal dari dirinya. Meskipun itu hanya bersifat sementara saja.
Sherin sudah terlalu banyak minum alkohol. Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya pun sudah melantur. Melihat dirinya seperti itu, beberapa mata pria sudah siap untuk menyantapnya.
"Jangan menyentuhku! Kalian tidak tahu siapa aku. Papaku bisa memenjarakan kalian kalau sampai aku terluka," tolak Sherin. Dia terus berceloteh membuat laki-laki yang mendekatinya merasa tertantang.
Saat tangan pria hidung belang itu merengkuh pinggang Sherin, hendak membenamkan ciuman di bibir calon mangsa, sebuah tangan langsung menarik Sherin. Membenamkan tubuh wanita itu dalam pelukannya.
"Ayo pulang!"