webnovel

Tutup Mulutmu (9)

Éditeur: Wave Literature

He Jichen mengepalkan kedua tinjunya. Begitu eratnya hingga urat-urat nadi di punggung tangannya terlihat menonjol.

"...Baik itu sekarang maupun empat tahun yang lalu, kau tahu benar bahwa sejak awal aku..."

Bibir Ji Yi yang lembut lantas mengerut begitu melihat wajah He Jichen yang sama sekali tak berubah. Ia hendak melanjutkan kata-katanya, namun He Jichen menghardik, "Diam!"

Ji Yi terhenyak beberapa saat mendengar hardikan itu.

Aura He Jichen saat itu penuh ancaman. Sorot mata Ji Yi dipenuhi ketakutan sembari mengerutkan bibirnya. Setelah beberapa detik, gadis itu mencoba bicara kembali, dengan agak ragu, "Mengapa kau tak memberiku kesempatan untuk menyelesaikan perkataanku? Kau seharusnya tahu bahwa malam itu, empat tahun yang lalu, aku terlalu banyak minum..."

"Tutup mulut busukmu!" He Jichen akan baik-baik saja jika Ji Yi tidak menyebutkan kejadian empat tahun yang lalu, tetapi begitu gadis itu membahas kembali hal itu, ia tak lagi dapat mengendalikan emosinya; ia terlihat seperti seekor kera dengan rambut yang tersengat listrik. Kini pemuda itu terlihat dingin dan kejam.

Ji Yi tidak berhenti, ia tetap bicara dengan suara lebih pelan, "...Kubilang..."

"Tutup mulutmu! Diam! Kau dengar? Diamlah!" teriak He Jichen dengan tubuh gemetaran. He Jichen tidak tahu apakah ia memang benar-benar marah, ataukah ia sebenarnya takut… takut akan mendengar lagi kata-kata yang diucapkan Ji Yi empat tahun yang lalu. Karena Ji Yi terus bicara, He Jichen kehilangan akal sehatnya. Tiba-tiba saja ia melayangkan tinjunya ke arah Ji Yi tanpa ampun.

Ji Yi spontan berhenti bicara dan menutup matanya dengan ketakutan.

Ada hembusan angin kuat yang melewati telinga Ji Yi, kemudian tinju He Jichen mendarat ke tembok di belakang Ji Yi.

Terdengar suara hantaman keras "buaakkkk!", darah menetes dari kepalan tangan He Jichen, lalu jatuh ke pundak Ji Yi. Cairan merah lengket itu membuatnya bulu kuduknya berdiri, dan ia pun diam seribu bahasa.

Ruangan itu sunyi sesaat sebelum He Jichen menarik Ji Yi dengan tangannya yang berdarah dan membuat gadis itu menengadah, memaksa Ji Yi menatap wajahnya..

Kedua matanya merah darah, begitu menakutkan.

He Jichen berbicara dengan gigi terkatup dan ekspresi yang sangat murka, "Kau sama sekali tidak layak untuk berbicara yang tidak-tidak di hadapanku! Kau pikir siapa dirimu? Kalau saja kau tidak berbaring di sampingku, apa menurutmu aku akan menyentuhmu?"

"Kuberitahu kau, itu hanyalah reaksi normal seorang lelaki!"

Bahkan setelah semua usaha yang dilakukan oleh Ji Yi beberapa tahun ini untuk menghindari pemuda itu, ia masih tidak bisa terlepas dari ucapan penghinaan yang begitu merendahkannya.

Akan tetapi, itu bukan masalah besar bagi Ji Yi. Ia hanya perlu meninggalkan tempat itu. Apalagi ini bukan pertama kalinya ia mendengar hinaan seperti itu...

Di satu sisi, Ji Yi berpesan kepada dirinya sendiri, agar tidak menghiraukan apapun yang diucapkan He Jichen. Di sisi lain, dia sedang menahan napas agar tetap terlihat tenang.

Tidak peduli apa pun yang dikatakan He Jichen untuk mempermalukannya dan membuatnya kehilangan muka, pemuda itu belum bisa mengusik batas kesabarannya. Ji Yi pantang menunjukkan bahwa ia terluka atau pun menderita di depan He Jichen.

Wajah Ji Yi yang datar tanpa emosi kian menyulut amarah He Jichen. Sambil terus mencengkeram dagu Ji Yi, ia berbicara lebih kasar dari sebelumnya ,dan memberi tekanan pada setiap kata.

"Tapi aku merasa beruntung; Aku sangat lega karena terbangun di saat paling penting. Kalau saja aku benar-benar menggaulimu dalam keadaan setengah sadar, itu akan sangat menjijikkan!"

"Lagi pula, perutku sudah cukup mual setelah melakukannya empat tahun yang lalu!"