webnovel

24. Yasmine (?)

Tokyo, 2027

Yasmine's Room

Rose

Aku masih di sini. Di dalam kamar di sebuah rumah sakit. Kuperhatikan sekujur tubuhku, lalu terpaku menatap untaian selang dan kabel yang menggelantung. Selang bening seukuran sedotan minuman, bagian ujungnya menyelusup menembus daging punggung tanganku. Rangkaian kabel-kabel seolah berlomba menerkamku dengan ujung-ujungnya yang terbuat dari karet, menempel rekat pada kulit dada dan pelipisku. Terdengar suara desingan halus, berasal dari sebuah mesin yang disambungkan oleh kabel-kabel itu dengan tubuhku.

Suasana yang tadinya begitu hening mencekam mendadak bising, bergaung memenuhi pendengaranku, membaur dengan suara detak mesin lainnya yang juga tersambung dengan tubuhku. Kubekap kedua telingaku dan kupejamkan mata, mencoba memutar ingatan.

Mengapa aku berada di sini?

***

Dokter Yudha meneliti status yang disodorkan perawatnya. Lalu tatapannya berpindah ke wajahku. Seuntai senyum menyejukkan bermain di bibirnya, sementara matanya bersorot lembut di balik kacamata putihnya.

"Lusa anda sudah boleh kembali ke Jakarta," katanya ramah.

Aku menatapnya dengan bimbang.

Pulang!

Kata yang sangat menakutkan. Mencemaskan…

"Anda sudah sembuh," sambung Dokter Yudha ketika menangkap kecemasan yang tersirat di mataku. "Jangan khawatir."

"Tapi… saya takut, dokter," keluhku ragu. "Saya masih menderita amnesia. Belum ingat apa-apa… setiap malam diganggu mimpi buruk…"

"Nyonya bisa berobat jalan, tidak perlu lagi dirawat di sini," sahut Dokter Yudha sabar.

Aku mengidap amnesia. Dan amnesiannya cukup berat sampai aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Bahkan namaku sendiri pun aku tidak tahu!

"Saya ingin tinggal di sini saja, dokter." Pintaku lebih mirip sebuah rintihan.

"Biarkan saya tinggal beberapa hari lagi… kepala saya masih sering sakit. Luka bekas operasi juga kadang-kadang masih terasa nyeri…"

Dokter Yudha memberiku seuntai senyum sabar. Senyum yang senantiasa membangkitkan kepercayaan dan ketabahan di hati pasien-pasiennya.

"Itu keluhan biasa dari pasien pascabedah. Nyonya, nanti lama-lama sakitnya akan hilang sendiri. Anda tidah usah khawatir. Luka operasinya sudah sembuh. Ingatan anda juga pasti akan segera pulih. Kami percaya, jika anda sudah pulang ke rumah, ke tengah-tengah keluarga, semua keluhan akan lebih cepat hilangnya."

Tapi yang mana keluargaku? Tidak seorang pun yang dapat kuingat

"Benar ingatan saya bisa pulih kembali, Dokter? Otak saya tidak ada yang rusak?"

"Hasil CT scan kepala anda yang terakhir cukup memuaskan."

"Tapi kenapa saya masih menderita amnesia? Mengapa tidak ada satu pun yang dapat saya ingat kembali?"

"Hanya gejala sisa. Biasa diderita oleh korban kecelakaan yang mendapat trauma di kepala. Apalagi trauma kapitis sehebat ini. Sudah berkali-kali saya katakan, kesembuhan anda hampir seperti mukjizat. Terus terang kami hampir tidak berani lagi mengharapkan ibu akan sadar kembali."

"Ingatan saya bisa pulih, Dokter?"

***

"Benar lelaki ini suami saya, dokter?"

Senyum Dokter Yudha melebar. Aku yang baru pulih dari koma memang katanya mengidap gejala sisa. Gejala kejiwaan yang diderita bisa bermacam-macam. Salah satunya paranoid. Dan tampaknya gejala itu yang sangat menonjol pada diriku.

"Tentu saja, Jay memang suami anda."

"Kata siapa?"

"Kata siapa?" Dokter Yudha mengernyitkan keningnya dengan bingung. "Anda pikir, siapa yang mau mengaku-aku menjadi suami perempuan yang menderita amnesia?"

***

Lama aku mengawasi diriku dalam cermin yang diberikan Suster Eri. Tapi aneh. Aku tidak mengenali wajah ini. Sudah begitu beratkah amnesia yang aku derita? Atau.. sudah begitu berubahkah wajahku sekarang?

Suster Eri menyodorkan sebuah lipstick. Seperti layaknya semua pasien wanita yang hendak pulang ke rumah, aku juga diberikan kesempatan untuk berdandan.

"Supaya tambah cantik," sahut Suster Eri sambil tersenyum ketika aku menanyakan untuk apa aku diberi cermin dan lipstick. "Nyonya tidak mau berdandan? Kan mau bertemu suami!"

Tapi sudah setiap aku bertemu dengan pria yang katanya suamiku itu, mengapa tak terlintas sekilas pun keinginanku untuk berdandan? Mengapa aku tidak ingin terlihat cantik di hadapannya?

Tampaknya laki-laki itu pun tidak peduli. Yang ditanyakannya setiap hari hanya itu-itu saja.

"Bagaimana keadaanmu, Mine?" pertanyaan yang sama. Ditanyakan dalam nada yang sama juga. "Sudah ada yang kamu ingat?"

Baik sikapnya, suaranya, maupun tatapan matanya begitu santun. Begitu ramah. Seolah-olah dia tidak ingin melukai hatiku. Menyinggung perasaanku. Tapi.. mengapa tak ada kehangatan sama sekali? Mengapa tak ada keintiman hubungan suami-istri? Mengapa seperti ada jarak yang amat jauh memisahkan kami?

"Itu biasa," sahut Suster Eri setiap kali aku mencurahkan perasaanku kepadanya. "Namanya juga orang baru sadar dari koma. Jelas masih bingung. Apalagi Nyonya belum ingat apa-apa. Sabarlah. Nanti juga Nyonya ingat semuanya. Suatu hari, tiba-tiba saja… byar! Semuanya menjadi terang benderang. Dan anda ingat segalanya. Ingat suami. Ingat keluarga. Ingat rumah. Ingat pekerjaan…"

Tapi kapan semua itu akan terjadi? Kapan?

Berulang-ulang aku bertanya kepada seraut wajah yang terpampang dalam cermin di hadapanku. Tapi sampai pegal aku memegang cermin itu, jawaban yang aku tunggu tak kunjung datang juga. Wajah itu tetap datar. Tanpa emosi. Mata itu mengawasi dengan tatapan kosong. Dan cermin itu tetap membisu.

"Boleh saya bantu?" cetus Suter Eri ketika melihatku hanya tertegun mematung menatap cermin.

"Bantu apa?"

"Nyonya tidak mau berhias?"

"Apakah perlu?"

"Nyonya tidak ingin kelihatan cantik?"

"Apakah saya cantik?"

"Tentu. Nyonya cantik sekali. Dan akan lebih menarik kalau rambutnya disisir dengan rapi. Wajahnya dirias sedikit. Bibirnya diolesi lipstick.."

Tetapi aku tidak begitu peduli. Yang penting bagiku saat ini hanyalah ingatanku. Bukan wajahku. Aku tidak peduli seperti apa penampilanku. Buat apa cantik kalau kepala kosong melompong?

To Be Continued