webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

The Jamet

Insiden kaca kamar mandi yang pecah tidak mengurungkan niatku untuk datang ke studio musik milik teman, Bagas.

Aku sedang bersiap-siap, kali ini penampilanku juga lumayan sangar, mengenakan celana jeans sobek-sobek dipadu dengan tanktop hitam dan jaket kulit warna senada. Aku meminjam jaket punya Tante Diani yang kebetulan tertinggal dirumah Nenek.

Aku bercermin sambil merapikan rambutku.

Khusus untuk datang ke studio, aku sampai mencatok rambutku hingga menjadi kriting dadakan. Rasanya tanganku sampai pegal, dan aku juga membubuhi bibirku dengan eyeshadow hitam. Karna memang aku tidak memiliki lipstik warna itu, padahal hitam menjadi ciri khas anak band metal.

Dan aku hanya memiliki lipstik berwarna coral serta beberapa warna merah tua, dan itupun jarang kupakai.

"Ya ampun! Kok aku keren banget sih?" Aku tersenyum memandang cermin.

Setelah itu aku keluar dari dalam kamar dan tepat saat itu juga Nenek dan Kakek pulang.

"Mel, kamu mau kemana?" tanya Nenek.

"Iya, Mel! Kamu abis makan cumi-cumi ya?" tanya Kakek.

Aku segera menggelengkan kepala. "Enggak!" jawabku dengan tegas, "emangnya kenapa, Kek?" tanyaku.

"Itu, bibir kamu, hitam! Kayak kena tinta cumi-cumi!" kata Kakek.

Reflek aku langsung memegang bibirku sendiri.

"Masa sih, Kek?"

"Ih, tapi kamu kelihatan cantik lo, Mel! Rambutnya dikriting-kriting gitu, jadi ingat Nenek pas muda dulu!" ujar Nenek sambil tersenyum.

"Masa sih, Nek?"

"Iya tapi ada yang kurang!"

"Kurang apa, Nek?"

"Itu warna lipstiknya jangan warna hitam jatohnya kayak Nenek Sihir, mendingan pakai warna merah cabe aja! Sama pakek dress potong payung motif polkadot, pasti bakalan tambah cantik deh!" ujar Nenek.

Aku mengernyit dahiku, bahkan penampilanku disamakan dengan penampilan perempuan pada zaman dulu. Zaman Nenek muda, kalau tidak salah zaman film Warkop DKI, atau jaman Benyamin S, yang pada saat itu aku belum lahir, bahkan Papa, dan Mama, mungkin juga belum bertemu.

"Tapi menurut, Kakek, gak ada wanita cantik selain wanita yang mengenakan kebaya dengan sanggul di kepalanya," ucap Kakek. Lain dengan Nenek, selera Kakek memang Indonesia banget. Terbukti dengan beliau yang setiap hari memutar gending Jawa saat pagi dan menjelang tidur siang.

Katanya mendengar gending Jawa di siang hari bisa menangkan pikiran dan bisa membuat beliau nyaman saat tidur.

"Coba deh, Mel! Sekali-kali pinjem kebaya Nenek, terus dandan ala-ala perempuan Jawa, pasti kamu makin ayu," saran Kakek.

"Ah, Kakek, jangan ngada-ngada deh, Nenek, mana punya kebaya dan sanggul?" sahut Nenek.

"Ada, dulu, 'kan Kakek, pernah beliin Nenek, kebaya sama kain, pas ada acara bersih desa!" ujar Kekek.

"Ah, iya, Nenek lupa hehe ...," Nenek malah memberikan tertawaan khasnya. "Tapi, anak jaman sekarang mana mau pakek baju begituan, Kek? Emangnya jaman kerajaan? 17 belas Agustus juga masih lama, Kek! Belum waktunya acara karnaval!" oceh Nenek pada Kakek.

"Ah, Nenek ini dari dulu gayanya suka kebarat-baratan! Sekali-kali harus cinta Indonesia dong, Nek!" ujar Kakek.

"Ih, kata siapa, Nenek kebarat-baratan! Nenek, cinta Indonesia, kok! Buktinya, Nenek mau nikah sama, Kakek! Yang wajahnya Indonesia banget, yang ngomongnya juga medok banget kayak singkong baru dipanen!" jawab Nenek.

"Ih, bisa aja deh! Nenek, 'kan kalau ngomong juga medok!" sahut Kakek.

Aku menggelengkan kepalaku mendengar obrolan mereka.

Kakek dan Nenek malah asyik sendiri.

Sementara aku mulai galau dengan penampilanku sekarang, aku mulai berpikir jika aku ini terlalu berlebihan.

Mungkin harusnya aku berdandan biasa saja, tapi aku juga tidak mau terlihat kacangan dari teman-temannya, Bagas. Apa lagi di depan Laras.

Dia itu cantik, dan sangat cocok dengan gayanya yang sangat gotik. Aku ingin sepadan dengan Laras.

"Assalamuallaikum!"

"Walaikumsalam!" Nenek dan Kakek, menjawabnya dengan kompak.

Kedatangan Bagas membuyarkan pikiranku.

"Mbak Mel, udah siap?" tanya Bagas.

Belum sempat menjawab Nenek malah sudah bertanya duluan kepada Bagas.

"Loh, kalian mau kemana sih?" Nenek menoleh kearahku, "tadi bukannya Nenek udah bilang 'jangan kelayapan, Mel!'" ucap Nenek.

"Boleh ya, Nek ... kan perginya juga cuman sama Bagas doang kok," rengekku.

Akhirnya Nenek mengizinkan aku pergi, asalkan aku bersama dengan Bagas

Saat menaiki motor, Bagas, terdiam sesaat dan memandangiku dari atas ke bawah.

Tentu saja hal itu membuatku merasa risih, Bagas sudah mirip Om-om Cabul, yang sedang mengintai mangsanya.

"Gas! Elu ngapain sih mandangin gue kayak begitu?" tanyaku dengan bibir cemberut dan suara mengintimidasi.

"Enggak!" Bagas menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Ayo!" ajak Bagas, dia sudah naik di atas motornya, hanya tinggal menungguku saja.

Tapi seperti ada yang salah dengan pandangan Bagas tadi, apa yang dia pikirkan ...?

Aku mulai menduga jika ini karna penampilanku.

"Gas, menurut kamu penampilanku bagaimana?" tanyaku dengan percaya diri.

"Emmm!" Bagas bertopang dagu sambill mengernyit dahi.

"Gimana! Gimana!" tanyaku antusias.

"Agak ... berlebihan sih," jawab Bagas dengan jujur.

Jawaban jujur itu sukses membuatku merasa minder, rasa percaya diriku mendadak tiarap.

"Kalau gitu aku ganti baju aja ya?" tanyaku.

"Jangan, Mbak! Udah gak ada waktu!" kata Bagas.

Akhirnya aku terpaksa ikut Bagas dengan perasaan yang kurang percaya diri.

***

Singkat cerita akhirnya aku sampai juga di studio milik temannya Bagas.

Kupikir studionya besar, sperti yang ada di TV itu, ternyata tidak!

Studionya kecil, dan terlihat sederhana. Peralatannya juga tidak begitu lengkap.

Tapi lumayanlah untuk sekedar nongkrong.

Mungkin aku akan menambah pengalaman baru di sini, dan aku juga akan terlihat keren seperti Bagas, dan teman-temannya.

Saat pertama aku menginjakkan kaki memasuki studio, semua teman-temannya Bagas melihatku dengan nanar.

Entah mereka terpesona dengan penampilanku, atau merasa aneh dengan penampilanku?

Mereka menggunakan pakaian santai dan tidak berlebihan sepertiku!

"Gas! Ini bukannya, Mbak Mel, tetangga kamu itu ya?" tanya salah seorang temannya Bagas.

Mereka bisa tahu namaku, karna Bagas sering menceritakan aku di pada mereka.

Aku sedikit GR, tapi aku juga sedikit risih mendengarnya, karna Bagas terlalu berlebihan.

Kemudian kami saling berkenalan satu per satu.

Di mulai dari Ardi, yang seorang Drumer, Aryo, sebagai Basis, Rio tidak sebagai apa-apa, tapi dia yang memiliki studio ini.

Dia adalah anak Kepala Desa yang hobi musik tapi tidak bisa bermain alat musik sama sekali, dan Rio juga tidak bisa bernyanyi, konon katanya suara burung gagak lebih merdu ketimbang suara Rio.

'Dan apa kabar dengan suaraku? Hik ...."

Karna hal itu Rio dimodali oleh bapaknya untuk membuat studio rental musik, di kampung ini.

Terakhir Bagas sebagai vokalis sekaligus sebagai Gitaris.

Nama band mereka "The Jamet" Nama yang sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata ....

Kenapa harus "The Jamet?" Kenapa tidak "The Kill?" atau kalau lebih Indonesia, 'kan bisa ditulis dengan, "De'kil?" Mungkin nama itu lebih cocok ketimbang "The Jamet!"

Ah entalah ... terserah mereka saja, itu, 'kan band mereka pasti mereka sudah memperhitungkan matang-matang soal nama.

"The Jamet" Memiliki dua Vokalis, aku hampir saja lupa menyebut, Laras, yang sebagai vokalis ke dua, setelah Bagas.

Ngomong-ngomong soal Laras, tak berselang lama orangnya pun tiba.

"Hay, semuanya!" sapa Laras dengan ramah. Dia melirik kearahku.

"Eh ada, Mbak Mel, juga rupanya?!" Laras melihatku dengan antusias.

"Mbak Mel, keren banget!" pujinya, aku sudah bahagia mendengar pujian itu, hanya saja di detik berikutnya, Laras berkata, "kita, 'kan cuman latihan, Mbak! Bukan mau pentas?" Laras mengernyitkan dahinya. "Kok, Mbak Mel, dandannya kayak anak band mau show ke luar angkasa sih?" ucapnya sambil tertawa.

Ucapan itu seketika membuat kepercayaan diriku berubah derastis, yang awannya tiarap, lalu bangkit karna dipuji, dan sekarang berubah menjadi merayap.

Astaga! Malunya ....

Ya Gusti, buat hamba pingsan saja ...!

Ini yang disebut malu, dan sakit tapi ... tidak berdarah ....

Bersambung ....