webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
93 Chs

Ditabrak Motor

Sekarang aku sudah tahu apa alasan mereka putus.

Ternyata bukan karena aku, tapi karena keluarga mereka yang tidak menyetujui hubungan Laras dan Bagas.

Aku merasa sedikit lega, setidaknya aku tidak dihantui oleh perasan bersalah karena menjadi penyebab perpisahan mereka.

Meski begitu, aku sangat kasihan kepada Laras. Mungkin Bagas bisa melupakan Laras dengan mudah, kerena sejak awal dia tidak menyukai Laras, tapi kalau Laras ...?

Aku yakin sangat berat baginya, dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melupakan Bagas.

Seperti halnya aku yang sulit melupakan Dion pada saat itu.

"Ras, kamu yang sabar ya," ucapku dengan pelan.

"Iya, Mbak, makasi, ya," ucap Laras.

"Ras, dari pada galau melulu, mending kita joging, yuk!" ajakku.

"Joging? Tapi—"

"Kenapa? Kamu jarang olahraga raga, ya?"

"Iya, Mbak, hehe ... aku kalau lari-lari betisnya suka sakit," kata Laras.

"Ah, itu mah karena kamu belum terbiasa, Ras! Kalau udah terbiasa lama-lama juga gak sakit kok, kayak aku!"

"Ah, masa sih, Mbak!"

"Iya! Makanya ayo!"

Akhirnya Laras mau menerima ajarkanku. Dia bergegas mengganti pakaiannya dan mulai berlari pagi bersamaku.

"Ras, kalau pagi-pagi begini udaranya masih segar tahu, Ras!" ujarku.

"Masa sih, Mbak! Perasan ini udah jam 12 siang, deh?" ujar Laras.

"Ah, masa sih?" Aku melihat jam di tanganku.

"Eh, iya juga ya? Kok, aku bisa gak sadar sih, kalau udah siang?"

"Mungkin kita tadi terlalu kelamaan ngobrol kali ya, Mbak!" ujar Laras.

"Iya, juga ya!"

"Ah, neduh di sana yuk, Mbak!" ajak Laras.

"Yaudah, ayok!" Kami mulai berlari ke pinggir jalan.

Dan tepat di saat itu Laras, nyaris tertabrak motor, untungnya Laras reflek menghindar, sehingga dia tidak terluka parah.

Meski begitu, Laras sempat terjungkal dan lututnya berdarah kerena terkena goresan pinggiran aspal. Sebenarnya ini tidak bisa dibilang luka ringan, tapi tidak bisa juga dibilang luka parah.

Tarus apa dong?

"Aduh! Siapa sih tuh, Orang!" pekik Laras seraya memegang lututnya yang terluka.

Aku pun langsung berlari menghampiri Laras, untuk menolongnya.

"Ras! Kamu gak apa-apa?!" tanyaku yang panik.

"Gak apa-apa kok, Mbak! Cuman lecet doang!" sahut Laras.

"Astaga, itu bukan lecet Ras, tapi, sobek!" ujarku.

Dengan wajah kesal Laras memaki-maki orang itu. "Sialan tuh, Orang! Naik motor gak lihat-lihat!"

Kemudian orang yang telah menabrak Laras, memarkirkan motornya.

Sambil membuka tali helm, dia berjalan mendekati kami.

"Mbak gak apa-apa?" tanya pria itu.

"Gak!" jawab Laras, "gak mati maksudnya!" imbuh Laras dengan ketus.

"Maaf ya, Mbak! Saya gak sengaja!" ujar pria itu dengan panik.

"Naik motor ngebut begitu dibilang gak sengaja?"

"Udah-udah, jangan emosi, Ras!" Aku berusaha menenangkan Laras.

Akan tetapi Laras sudah terlanjur murka, sehingga dia pun tetap mengomeli pria itu habis-habisan.

"Tahu enggak, kalau misal saya tadi gak minggir, mungkin luka saya bisa lebih parah dari ini, Mas!" bentak Laras.

Si pria berusaha membela diri. "Tapi saya ini gak sengaja, Mbak! Saya sudah minta maaf, dan lagi pula Mbak-nya tadi juga pas mau nyebrang gak lihat-lihat!" ujarnya.

Semakin si pria itu membela diri, Laras malah semakin murka.

"Gak mau tahu pokoknya Mas-nya, harus tanggung jawab!" kata Laras.

"Tanggung jawab? Baik saya akan tanggung jawab! Tapi tolong, Mbak-nya, jangan nyalahin saya terus!"

"Eh, gimana saya gak nyalahin? Situ, 'kan emang salah!" sahut Laras.

"Ah! Sudah! Sudah!" Aku berusaha melerainya lagi.

"Mas, kalau begitu tolong antarkan saya, dan teman saya, ke puskesmas, ya?" pintaku.

"Baik, Mbak!" si Pria itu tampak ramah kepadaku.

"Oh iya, Mas! Belum kenalan dengan Mas, siapa ini, ya?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.

Demi apapun aku tidak berniat modus, tapi kerena si Mas-nya terlihat sangat kalem, dan sepertinya dia orang baik, akhirnya aku pun ingin berkenalan dengannya.

Siapa tahu bisa menjadi teman baru, tapi kalau gebetan stop dulu! Soalnya aku masih memiliki hutang dengan Bagas.

Dan si Pria itu juga mengulurkan tangannya kepadaku.

"Oh, iya Mbak, nama saya, Nin—"

Belum sempat mengucapkan namanya dengan benar, Laras malah memotong pembicaraan kami.

"Mbak Mel! Jangan mau dimodusin sama cowok yang gak tanggung jawab ini, Mbak! Ingat sama Bagas!" ujar Laras menasehatiku.

Dan si Pria tak terima. "Mbak, jangan asal ngomong, ya! Saya ini bukan, Cowok Yang Gak Tanggung Jawab! Saya ini sangat bertanggung jawab!" tegasnya.

"Yaudah, kalau emang bertanggung jawab, ayo anterin saya ke puskesmas sekarang!" tantang Laras.

"La ayok! Siapa takut! Memang saya mau nganterin, Mbak-nya, 'kan? Tapi Mbak-nya aja yang malah ngoceh-ngoceh gak jelas!"

"Ih, ngatain aku gak jelas lagi!"

"Udah, Ras!" ujarku.

"Ora iso koyo ngono, Mbak! Soale wong iki kurang ajar!" (Gak bisa gitu, Mbak! Soalnya orang ini kurang ajar!) kata Laras dalam bahasa Jawa.

Aku hanya manggut-manggut saja karena jujur aku tidak tahu apa yang diucapkan oleh Laras itu.

Padahal Laras yang kukenal itu orangnya tidak emosian seperti ini, tetapi entah mengapa hari ini Laras terlihat berbeda.

Emosinya meledak-ledak mirip mercon tikus. Aku menduga jika Laras itu sedang datang bulan.

Meski aku tahu lutut Laras masih sakit karena jatuh tadi, tapi, 'kan orang yang hampir menabraknya sudah meminta maaf?

Akhirnya meski dengan bibir mengerucut mirip piramida, Laras pun mau berboncengan dengan si Pria yang tadi.

Dia duduk di tengah dan aku duduk di jok motor paling belakang.

Yah, kami berboncengan tiga menuju puskesmas.

Kalo seperti ini aku jadi teringat saat bersama Jeni, dan Elis. Waktu itu kami juga boncengan tiga menaiki motor baru Elis.

Kemudian motormya mogok, lalu kami membawanya ke bengkel.

Kami mengira motornya rusak, eh, ternyata motornya malah tidak rusak! Terus kata si Tukang Bengkel, hanya kehabisan bensin saja!

Waktu itu kami sangat malu, tetapi ....

Tak sadar aku tesenyum sendiri mengingat kejadian itu. Meski waktu itu aku dan Jeni kesal dengan Elis, namun setelah diingat-ingat lagi, malah terasa lucu.

Tak lama motor pun berhenti di sebuah puskesmas.

Aku turun duluan, lalu aku membantu Laras yang kesulitan turun.

"Bisa enggak? Kalau gak bisa biar saya bantu!" ujar Pria itu yang nampaknya melihatku sedang kesulitan.

"Susah, Mas!" jawabku.

Tanpa berbasa-basi, si Pria pun memasang setandar motor, lalu membantu Laras turun dengan menggendongnya.

Seketika kedua mata Laras melotot tajam.

"Apa-apaan ini!" teriaknya.

"Udah, Ras! Diem aja! Yang panting kamu bisa masuk ke dalam!" ujarku.

Dan Laras pun mendengar ucapanku tadi kemudian mereka masuk ke dalam puskesmas.

"Maaf, ambil nomor antrian dulu ya," kata salah seorang Bidan yang bertugas.

"Aduh, tahu gini mah tadi jangan ke puskesmas! Kan jadi lama!" ujar Laras yang tak sabaran.

"Sabar, Ras!" ujarku.

"Iya, Mbak! Sabar!" kata pria itu. Kemudian dia membuka helm yang sejak tadi baru ia buka talinya saja. Setelah membuka helm pria itu juga membuka masker yang menutupi wajahnya.

Dan ... viola ...!

Kedua mataku dan Laras langsung terbelalak.

Bersambung ....