webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Berbeda Keyakinan

Sepulangnya dari kafe semalam, pikiranku semakin tidak tenang.

Jarak pembentang antara aku, dan, Laras, benar-benar membuatku tak nyaman.

Aku rasa memang sudah saatnya aku memperbaiki semua.

Aku harus mendatangi Laras saat ini juga, dan membuat hubungan kami kembali membaik lagi.

Setelah bangun tidur, aku mulai membersihkan diri kemudian berganti pakaian olah raga.

Setiap pagi aku memang sering berlari pagi.

Baik di Jakarta mapun di rumah Nenek, aktivitas itu hampir tak pernah aku lewatkan.

Dan hal ini juga bisa aku gunakan sebagai alasan untuk mampir ke rumah Laras.

"Mel, kamu mau joging, ya?" tanya Mama.

"Iya, Ma!" sahutku.

"Terus kamu ngantongin apaan, itu?" Mama melirik sweater-ku yang ada banyak batu di dalamnya.

"Oh, ini?"

"Iya, itu apaan?"

"Oh, ini batu, Ma!" jawabku.

"Batu?" Mama mengernyitkan dahinya. "Kamu lagi gak nahan BAB, 'kan, Mel?" tanya Mama.

"Ya, enggak dong, Ma! Sembarangan aja, deh!" sahutku.

"Ya lagian ... kamu ngapain sih, Mel! Bawa-bawa batu segala? Kamu mau bangun jembatan?" tanya Mama yang semakin tidak jelas.

"Ma, di rumah Laras itu ada anjing galak! Jadi Mel, bawa batu buat jaga-jaga!" jawabku.

"Oh, gitu?" Mama manggut-manggut. "Terus kamu itu sebenarnya mau joging, apa mau main ke rumah temen kamu yang namanya ... siapa itu?"

"Laras, Ma,"

"Nah, iya?"

"Ya, dua-dua dong, Ma!" sahutku.

"By the way, Laras, yang mana sih?" tanya Mama yang penasaran.

"Ih, Mama, kepo, ah!" sahutku seraya meraih tangan Mama dan menciumnya.

"Ih, orang ditanyain malah cium tangan!" gumamnya.

Tapi aku tidak menanggapi, karena bisa berujung panjang.

Lalu smbil berlari kuucapkan salam.

"Assalamu'alaikum, Ma!"

"Eh, main nyelonong aja!" ujar Mama.

"Kalau ada yang ucap salam, dijawab dong, Ma!" protesku.

"Eh, iya sampai lupa! Walaikumsalam! Hati-hati, ya!" sahut Mama.

"Iya, Ma!"

Untuk sampai di rumah Laras bagiku hanya cukup dengan berlari saja, karena selain menyehatkan ... aku memilih berlari karena memang aku tidak bisa naik motor opss!

***

Bebarapa menit kemudian rumah Laras sudah mulai terlihat.

Sebuah pohon beringin berukuran besar menyambutku.

Dan pohon ini mengingatkanku akan pristiwa di masa lalu.

"Astaga! Aku masih kebayang sama, anjing Bulldog miliknya, Laras," gumamku.

Mendadak jantung ini berdebar-debar mirip orang yang sedang jatuh cinta, eh! Gak mirip maksudnya.

Jujur selain aku takut Laras akan marah kepadaku, aku juga sangat takut dengan anjing bermulut besar peliharaannya Laras.

Kemudian dengan mengerahkan seluruh keberanian, aku pun masuk ke dalam gerbang, dan menekankan tombol bel.

Bebarapa saat kemudian Laras membukakan pintu rumahnya.

"Eh, Mbak Mel," sapa Laras.

"Halo, Laras," sahutku.

"Yaudah masuk, yuk," ajak Laras.

Aku pun masuk, tapi dengan langkah ragu-ragu, raut wajahku menahan ketakutan.

"Mbak Mel, kenapa?" tanya Laras. "Kok, ekspresinya mendadak aneh begitu sih?"

"Anu, Ras ...."

"Iya, anu apa, Mbak?" tanya Laras.

"Anjing kamu di mana?" tanyaku.

"Oh, Bruno?" Laras mengedarkan pandangannya. "Gak tahu, kayaknya lagi jalan-jalan sama, Mama!" jawab Laras.

"Oh ...." Aku mengusap dada sambil bernafas lega.

"Memangnya, Mbak Mel, ke sini mau ketemu saya, apa mau ketemu, Bruno?" tanya Laras dengan ekspresi polosnya.

"Astaga!" Aku berteriak kencang dengan reflek. "Ya, ketemu kamu, lah, Ras!" tegasku. "Huft... masa iya, ketemu sama, Bruno," gerutuku.

"Oh, hehe!" Laras malah memberiku cengiran tak berdosa.

Kemudian dia mempersilakan aku duduk.

Tanpa menawariku dulu, Laras malah langsung ke belakang untuk membuatkanku minuman.

Beberapa menit kemudian, Laras keluar lagi dengan dua cangkir kopi buatannya.

"Ini, Mbak, kopinya. Kali ini rasanya manis kok, gak kaya dulu, lupa ngasih gula, hehe," ujar Laras dengan tertawa canggungnya.

"Iya, Ras, makasi ya," sahutku sambil tersenyum paksa.

Aku tidak tahu apa alasan Laras selalu membuatkanku kopi hitam setiap datang kemari. Padahal kalau aku boleh request, aku hanya ingin dibuatkan jus jambu, atau jus jeruk. Paling enggak minuman yang manis-manis, segar, serta sehat, tidak seperti ini. 'Kopi hitam, memangnya aku, Dukun?'

Tapi ya sudahlah, yang terpenting, kali ini perasaanku tidak terlalu canggung seperti kemarin. Yang artinya aku bisa membicarakan Bagas bersama Laras.

"Oh, iya, Ras. Aku ke sini karena pengen ngomong sesuatu, sama kamu," ujarku.

"Mbak Mel, mau ngomong apa?"

"Soal, Bagas,"

"Ow," Seketika ekspresi Laras langsung berubah.

"Ras, aku mau minta maaf sama kamu," ucapku pada Laras.

"Minta maaf untuk apa? Mbak Mel, gak salah apa-apa kok?" kata Laras.

"Soal yang kemarin, Ras! Aku tahu kamu pasti kesel banget ya, sama aku?"

"...."

"Ras, kemarin itu Bagas yang ngajak aku berangkat bareng, dan dia juga yang maksa aku buat mau disuapi pas di kafe!"

"Terus?" tanya Laras.

"Ya, terus aku minta maaf, Ras. Aku tahu kamu cemburu, 'kan?"

Laras terdiam sesaat, kedua matanya sayuh, sepertinya dia tengah bersedih.

"Ras, aku gak ada hubungan apa-apa kok sama, Bagas!" ujarku.

"Ada hubungan juga gak apa-apa kok, Mbak! Aku sama, Bagas, udah putus," tukas Laras.

"Putus?" Aku kaget mendengarnya, ternyata Laras dan Bagas itu sudah putus.

"Iya, aku dan Bagas sudah putus sejak 1 minggu yang lalu," kata Laras melanjutkan kalimatnya.

Aku menundukkan kepalaku. Aku merasa bersalah, karena aku yakin mereka putus juga gara-gara aku.

"Maafin, aku ya, Ras,"

"Kenapa, Mbak Mel, minta maaf terus? Ini, 'kan bukan salah, Mbak Mel!" kata Laras.

"Aku salah, Ras! Aku dulu udah sok jodoh-jodohin kamu sama, Bagas! Dan ternayata Bagas malah suka sama aku! Awalnya aku memang tidak punya perasaan sama Bagas. Tapi seiring berjalannya waktu, aku malah jatuh cinta sama, Bagas! Dan hal itu semakin membuat Bagas merasa memiliki kesempatan untuk mendekatiku, lagi!" pungkasku.

Aku yang heboh mengakui kesalahanku, tapi Laras malah tersenyum dengan sabar menenangkanku.

"Mbak, masalahnya bukan itu. Aku putus sama, Bagas, karena bebarapa hal," kata Laras.

"Memangnya selain aku, apalagi masalah kamu, Ras?"

Kemudian Laras kembali menjelas kepadaku, segala permasalahan yang ia hadapi selama satu tahun menjalin hubungan dengan Bagas.

Pertama karena neneknya Bagas tidak menyukai hubungan Bagas dan Laras, begitu pula keluarga Laras, mereka juga tidak menyetujui karena suatu hal ....

Selain itu dalam satu tahun ini, berkali-kali Laras bertanya kepada Bagas tentang perasaannya, dan jawabanya masih sama ... Bagas masih menyukaiku. Meski begitu, Bagas juga mengaku jika dia menaruh rasa suka tergadap Laras, tapi tak sebesar perasaannya kepadaku.

Selain itu hubungan Bagas dan Laras tidak disetuji oleh keluarga kedua belah pihak dengan alasan kepercayaan.

Orang tua Laras menginginkan agar putrinya berhubungan dengan lelaki yang satu iman, walau mereka masih anak SMA, tapi orang tua Laras melarang keras agar anaknya tidak berpacaran dengan pria yang bereda keyakinan.

Seperti yang diketahui, Bagas seorang pria muslim, dan Laras seorang gadis Nasrani. Orang tua Laras dan Bagas tidak bertengkar, juga tidak bermusuhan. Hanya saja mereka tidak mau anak-anak mereka sampai berpindah keyakinan. Hanya itu saja yang mereka inginkan. Bukan berarti mereka saling membenci, hanya saja mereka tidak mau ada yang mengalah. Sampai sekarang meski mereka melarang keduanya untuk berpacaran, tapi mereka tetap diperbolehkan Bagas dan Laras, untuk berteman.

Ini hanya bentuk antisipasi agar mereka tidak terlalu sakit hati suatu saat nanti.

Mereka tidak tahu akan perasaan orang, bisa saja cinta anak SMA yang dibilang cinta monyet itu bisa tumbuh sampai dewasa dan kejenjang yang lebih serius.

Kalau mereka sudah serius, maka keduanya akan semakin kesulitan. Baik keluarga Laras maupun keluarga Bagas tidak akan ada yang mau mengalah.

Satu-satunya cara adalah memutuskan hubungan mereka sejak dini, dan kembali saling menghormati kepercayaan satu sama lain.

Bersambung ....