webnovel

Me Vs Dad

"Kenapa bukan ayahku yang mati? Kenapa harus Nana? Tuhan, ambil saja nyawanya. Aku rela menukar kebahagianku agar bisa hidup bahagia bersama dengan Nana" Pikiran itu yang terlintas pada benak Isabella, gadis muda berusia empat belas tahun yang begitu membenci ayahnya, , dan hanya memiliki Nana - nenek yang selalu mencintai dan melindunginya. David Mahendra. Pria tampan kaya raya, memiliki hati bengis terhadap putrinya sendiri. Menganggap Isabella sebagai hama yang perlu dibasmi. Seketika kehidupan mereka berubah, saat mereka terbangun pada tubuh yang salah dan jiwa mereka tertukar. Apa yang akan terjadi pada David dan Isabella? Bisakah mereka saling mencintai sebagai ayah dan anak?

Sita_eh · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
171 Chs

David: "Aku ingin bertemu denganmu di hotel"

Pagi hari yang masih terlalu gelap, dimana para pekerja baru saja memulai aktifitas mereka. Tapi Kediaman Mahendra sudah dihebohkan dengan teriakan dua orang yang berasal dari lantai dua.

"KAU!" Tunjuk David ke arah Bella.

"AYAH! KAU.... KAU SUDAH KEMBALI KE TUBUHMU!" ucap Bella dengan wajah yang sama tidak percaya.

"Huh... aku pikir kau menjadi roh gentayangan. Kenapa hal itu tidak terjadi sih!?!" batin Bella bersungguh-sungguh.

Satu telunjuk jari David sudah mengarah pada hidung Bella. Dia menekan kuat hingga bisa merasakan hidung kecil itu berkedut. David segera menarik tangannya, dan dia menatap seram ke arah Bella.

"Ini bukan mimpi," celetuk David menyeringai aneh.

"Bodoh sekali," umpat Bella pelan dengan wajah mencemooh ayahnya sendiri.

"Apa kau bilang?" tanya David karena dia memang tidak mendengar perkataan Bella.

Senyuman Bella semakin melebar dengan sikap terlalu manis yang jarang ia tunjukkan untuk David. "Tidak, aku tidak mengatakan apapun,"

"Mau apa kau kesini?" tanya David sudah menunjukkan sikap ketus yang biasa diterima oleh Bella.

"Aku hanya ingin memastikan bahwa ..." Bella memajukan wajahnya dengan satu jari telunjuk yang ia goyangkan, agar David ikut mendekatkan wajahnya.

"Apa?" Anehnya David menurut dan mendekatkan wajahnya ke arah wajah Bella.

"Aku ingin memastikan kalau aku tidak gila," jawab Bella berbisik.

David segera menegakkan tubuhnya, entah mengapa mendengar kata gila membuatnya tersinggung. "Jadi... maksudmu kalau aku yang gila?"

"Hah? Ayah, kau ini kenapa sih? Memangnya kau gila, ya?" tanya Bella heran.

"Tentu saja, tidak!"

"Ohh, baguslah kalau seperti itu. Yah... anggap saja ini hanya sebuah mimpi buruk, sudahlah ayah, kau mengganggu waktuku saja. Aku harus bersekolah dan segera bersiap-siap," ucap Bella sudah membalikkan punggungnya.

Kedua tangan Bella berada di belakang punggungnya, dia berjalan menjauh sambil bersenandung dengan riang.

David memperhatikan putrinya yang perlahan menghilang saat menuruni anak tangga, "Penyihir cilik itu! Bisa-bisanya dia bersikap sok didepanku!" ucap David kesal sambil menutup dan membanting pintu kamar.

Lily sang pelayan baru saja menaiki beberapa anak tangga, dia merasa cemas akan keributan di pagi hari, yang ia yakini terjadi antara Bella dan ayahnya.

"Pagi, Lily," sapa Bella riang, membuat Lily menatap heran dan menghentikan langkahnya saat menaiki undakan tangga.

"Pa... pagi, Nona Bella? Apa kau baik-baik saja? Aku tadi mendengar ada keributan, apakah Tuan David memarahimu, apa dia memberikan hukuman atau..."

"Lily... ada apa dengan kau hari ini? Tidak terjadi apapun antara aku dan ayah, bahkan dia terlihat begitu konyol, dan..." Bella tampak berpikir mencari kata yang tepat menggambarkan sosok David yang amat ia benci.

"Dan... bodoh, mungkin karena dia sudah terlalu tua,"

Perkataan Bella barusan membuat Lily tercengang tidak percaya. "Nona Bella. Dari mana kau belajar untuk berkata sekasar itu,"

"Ups... maaf, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Ah... aku ingin sarapan, Lily. Setelah itu aku akan mandi. Aku mohon, apa boleh aku sarapan terlebih dahulu. Boleh, kan?" Tatapan berbinar dan penuh harap sudah ditunjukkan oleh Bella.

"Ya, tentu saja, Nona Bella," jawab Lily bingung. Dia melihat Bella kembali melanjutkan langkahnya untuk menuruni anak tangga sambil bersenandung riang.

"Ada apa dengannya belakangan ini? Baru semalam Nona Bella terlihat kesal dan tidak mau menghabiskan makan malamnya. Tapi... Sekarang? Dia justru tampak riang dan kelaparan?" Lily tampak berpikir.

"Aku harus membicarakan ini dengan Felix. Ini sangat serius," ucapnya yakin.

Usai sarapan pagi yang terlalu dini, dan usai membersihkan dirinya. Bella sudah tampak siap dengan seragam sekolahnya yang benar, bahkan dia ingat jika hari ini adalah hari penting untuk pertandingan kecil bisbol yang akan ia lakukan dengan teman sekelanya.

"Selamat pagi, Nona Bella," ucap Felix yang baru saja membukakan pintu dan dia sempat melirik ke arah jam tangannya.

Felix mengeryit bingung, "Bukankah ini terlalu pagi untuk kau berangkat ke sekolah, Nona Bella?" tanya Felix saat dia sudah beada di kursi pengemudi.

"Ya, aku tahu. Apa tidak boleh aku berangkat lebih pagi, Felix?"

"Tentu saja kau boleh, Nona Bella. Senang melihat kau bersemangat seperti ini, tenang saja karena kau akan tiba lebih cepat dari siapapun hari ini." Felix segera menyalakan mesin mobilnya dan membawa Bella berlalu dari pekarangan Kediaman Mahendra.

***

Lily baru saja merapikan piring makan yang digunakan oleh Bella sebelumnya. Disaat itu dia melihat piring David yang masih bersih dan megkilat.

"Apa Tuan David tidak akan sarapan pagi?" gumamnya pelan sambil berjalan kearah luar ruangan.

Untung saja Lily berhasil mengerem langkah kakinya sendiri. Jika tidak, bisa saja dia sudah bertubrukan dengan David yang tampak terburu-buru.

"Maafkan aku, Tuan David," ucap Lily menunduk hormat. "Sarapan pagi anda sudah siap,"

"Aku tidak akan sempat untuk sarapan pagi. Tapi aku butuh kopiku, apa kau bisa membuatnya, dan..." David melirik ke arah jam tangannya.

"Tiga menit! Aku butuh kopiku dalam waktu tiga menit. Aku akan menunggu di mobil, dan ingat, Lily," tatapan David menjadi keji, hingga menciutkan perasaan Lily saat itu.

"Ya, Tuan David?"

"Aku tidak suka dengan keterlambatan. Jadi... pastikan aku bisa mendapatkan kopiku dalam waktu tiga menit dan tidak lebih dari itu," jawab David menjelaskan dengan wajah seram yang teramat serius.

Glek...Lily menelan salivanya sendiri.

David sudah membalikkan tubuhnya dan tidak memberikan kesempatan bagi Lily untuk memberikan jawaban, apakah dia sanggup atau tidak?

"Ada apa dengannya? Kemarin dia tersenyum lebar hingga membuatku bergidik seram. Tapi sekarang? Dia kembali menjadi monster yang lebih seram," gumam Lily merasa bigung.

"Sadarlah, Lily! Ingat, waktumu hanya tiga menit." Dengan segera Lily sudah kembali ke dapur, dan menyiapkan kopi yang diinginkan oleh David.

***

Didalam mobil.

Supir pribadi itu melihat David dari balik kaca spion depan mobil. Dia merasa melihat sosok David yang ia kenali, hanya saja dengan suasana hati yang bertambah buruk dari sebelumnya.

"Sial... sial...!" David melempar laporan yang ada di panggkuannya.

Laporan hasil kerja yang berhamburan begitu saja berada pada sisi kiri kursi. David melirik kesal, saat dia menerima laporan yang dikirimkan oleh sekretarisnya.

"Awas saja kau, Bryan! Sial...!"

Entah sudah berapa puluh kali David mengumpat, padahal hari itu masih pagi dan baru saja ia memulai aktifitasnya.

"Proyek ini seharusnya bukan kau yang pegang. Apa kau sedang mengincar posisi penting di perusahaan ini! Huh... aku tahu jika kau benar-benar licik, Bryan!" David tampak kesal dan menatap ke arah balik jendela.

"Setidaknya aku sudah kembali ke tubuhku!" ucap David menyeringai senang.

Ponsel David tiba-tiba berdering nyaring, membuyarkan lamunannya dengan segera. Dia melihat sebuah nama wanita yang entah sejak kapan dia sudah menyimpan pada kontak ponselnya.

"Ya? Chintya?" jawab David sambil mengingat...

Siapa Chintya???

Suara wanita terdengar manja terdengar di telinga David. Dan dia sudah bisa menebak tipe apa wanita yang berbicara dengannya saat ini.

"Makan siang ini? Bersamamu?" David menyerigai senang, dia sudah tahu kemana arah pembicaraan wanita yang belum bisa ia kenali dengan benar.

"Baiklah. Tapi... aku ingin bertemu denganmu di hotel. Bagaimana, apa kau bisa?" tanya David dan rasanya sudah lama ia tidak memuaskan hasrat kelaki-lakiannya.