webnovel

LUDUS & PRAGMA

WARNING! VOL. 2 & 3 = MATURE CONTENT 18+! (Harap bijak untuk memilih bacaan dan menyikapi bacaan yang ada^^) Vol. 1 : The Meeting of Ludus And Pragma *Chapter Prolog - Chapter 145 Vol. 2 : The Secret of Destiny *Chapter 146 (1) - Chapter 285 (140) Vol. 3 : Ending "Reduce To Tears" *Chapter : 286 (1) - 368 (82) Ludus bukan nama seseorang, melainkan sebuah sifat dalam psikologi bagaimana manusia menjiwai dan bermain dalam sebuah hubungan percintaan. Mania, sedikit posesif dengan penuh bumbu romance yang dilebih-lebihkan. Orang-orang ludus akan mementingkan sebuah kesenangan juga penaklukan saat dirinya 'bermian' dengan lawan mainnya dalam sebuah hubungan. Bagi orang-orang ludus, percintaan adalah sebuah permainan kejar dan mengejar. Jika 'orang ludus' lelah, maka bosan adalah kata yang menjadi alasan untuk meninggalkan pasangannya. Lalu, Pragma. Sama seperti Ludus, pragma bukanlah nama orang meskipun kata itu sangat indah untuk diucapkan. Pragma adalah si dia yang kaku dalam mencinta. Hanya menginginkan sebuah hubungan yang realistis untuk dirinya dan masa depannya. Orang-orang pragma cendurung memilih menyeleksi pasangannya dengan baik. Ia tak suka bermain 'kejar mengejar' seperti yang Ludus lakukan. Sebab bagi pragma, cinta adalah sebuah hubungan yang harus realistis tanpa adanya bumbu romance yang berlebihan serta untuk pragma, pasangan yang menunjang masa depan adalah pasangan yang ia butuhkan. Lalu, bagaimana jika 'orang pragma' mencintai 'orang ludus' ? Jawabannya adalah ... sebuah hubungan yang penuh teka-teki dan keunikan, dan di sinilah kalian akan menemukan hubungan seperti itu. Sebuah cerita yang mengisahkan gadis pragma yang mencintai pria brengsek berwatak ludus. Cover by : @jc_graphicc

Lefkiilavanta · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
368 Chs

24.Tamu Datang Tak Diundang.

Senja purna dalam bertugas. Menyisakan cahaya rembulan yang tegas menyinari malam gelap. Tidak ada mendung, sebab dari itu bintang indah bertebaran di atas langit. Gadis yang baru saja menyelesaikan mandinya itu kini berjalan tegas ke arah jendela besar di sisi ruang kamarnya. Menarik tirai abu-abu tebal untuk menutup kaca agar cahaya bulan tak bisa menembus masuk ke dalam kamar pribadinya. Gadis itu melirik kaca rias. Kemudian memutar langkahnya dan duduk di depan kaca rias kotak dengan satu meja kecil tempatnya meletakkan seluruh make up dan 'skin care' untuk mendukung paras cantik jelitanya. Ia menarik handuk yang sedari tadi membelit erat rambut basah sebab malam ini ia memutuskan untuk mandi dan mencuci rambut panjang sedikit ikal miliknya itu.

Davira tersenyum ringan. Seakan mengagumi paras cantiknya seorang diri. Tangan kanannya terjulur, mengambil sisir kemudian menyisir rambutnya. Sembari bersenandung ringan ia melirik jam bulat yang tergantung rapi di sudut kamarnya. Sebentar lagi, jam makan malam tiba. Ia mempercepat aktivitasnya dalam menyisir rambut dan membenah diri. Bergegas untuk keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah. Gadis itu tak pernah ingin terlambat untuk makan malam bersama mamanya. Sebab hanya momen seperti inilah ia bisa berbincang benar dengan wanita yang hampir identik wajah dengannya itu.

Untuk Mama Davira —namanya adalah Diana. Orang tua satu-satunya yang menjadi seorang ibu sekaligus tulang punggung untuk keluarga kecil yang hanya terdiri dari dua anggota itu. Davira Faranisa sendiri lalu Mamanya, Diana. Wanita itu harus bekerja lebih ekstra lagi sebab beberapa tahun lagi bukan hanya menghidupi kesehariannya bersama anak semata wayangnya —yang sumpah demi apapun, wanita berusia kepala empat itu ingin selalu membahagiakan dan memanjakan Davira dengan segala kemewahan dan kasih sayang yang ia punya—, tetapi juga memasukkan Davira ke sebuah perguruan tinggi. Bukan hanya sebatas menjadi lulusan sarjana yang menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk membeli gelar tanpa ada pengalaman dan keahlian khusus apapun. Diana, ingin anak semata wayangnya itu benar-benar menjadi 'orang'. Dokter ahli syaraf misalnya.

Jadi, Davira tak menyalahkan jikalau mamanya itu disebut-sebut para tetangga sebagai seorang wanita karir yang gila kerja. Sebab untuk Davira, selembar uang yang masuk ke dalam saku bajunya adalah hasil dari ribuan tetes keringat wanita yang amat ia cintai itu.

Davira berjalan keluar dari kamarnya. Menapakki satu demi satu anak tangga untuk sampai ke lantai dasar. Dari kejauhan, Davira melihat mamanya yang sedang sibuk dengan aktivitasnya di dalam dapur. Berlebihan jikalau Davira mengatakan bahwa kesibukan mamanya itu sebab acara makan malam yang akan mereka berdua lakukan setelah ini. Sebab dalam nampan yang kini digenggam wanita itu, ada tiga gelas sirup jeruk dan satu air putih yang memenuhi gelas kaca besar di tengah jajaran gelas-gelas di sisinya.

Davira melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Menatap mamanya yang kini terhenti sebab lensa pekatnya beradu dalam satu titik dengan sepasang lensa identik warnanya. Lensa milik Davira Faranisa.

"Mama ngapain bikin sirup jeruk banyak-banyak? Davira 'kan gak suka—"

"Ada tamu," katanya menyela. Melirik meja makan yang sedikit jauh ada di sisi kanannya.

Gadis itu ikut menoleh. Mengikuti arah sorot mata mamanya yang kini tercengir kuda kemudian melanjutkan langkahnya. Davira menyipitkan kedua mata bulatnya, kemudian kembali menoleh pada mamanya yang jelas memasang raut wajah bahagia. Sebab tamu itu mamanya sebahagia ini?

Davira Faranisa mengenal baik wanita yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa membuat mamanya bahagia ketika ada tamu yang datang berkunjung.

Pertama adalah tamu istimewa yang membawakannya sebuah kado besar nan cantik, uang misalnya. Kedua, tamu tampan atau cantik yang menjadi teman Davira yang datang berkunjung untuk sekadar mampir dan main bersama atau kalau-kalau yang datang adalah anak-anak berotak dan bersifat rajin adalah salah satu peringai mulianya untuk mengajak Davira belajar bersama.

Tamu membawa uang? Sepertinya bukan. Sebab dari kejauhan, punggung orang ber-hoodie hitam itu seperti tak asing untuknya. Arka? Tentu tidak! Sebab jikalau Arka pastilah remaja itu sudah berteriak bak orang kesetanan untuk memangil namanya agar turun ke lantai dasar. Juga, kalau Arka tak malas, ia akan menyusul Davira dan menerobos masuk ke dalam kamarnya.

Tamu ini ... sangat tenang!

"Ayo nak diminum." Suara mamanya kini terdengar begitu ramah. Orang yang ditawari hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Davira berjalan mendekat. Semakin dekat dengan posisi orang itu, Davira semakin jelas mengenal siapa pemilik punggung lebar dengan rambut pekat yang sedang duduk memunggunginya itu.

Dia adalah ....

"Adam?" lirih Davira memanggil. Yang dipanggil kemudian menoleh. Tersenyum lebar sembari bergumam ringan untuk menjawab panggilan dari Davira.

"Ngapain kamu dateng ke—"

"Kok kamu gak bilang sama mama kalau punya temen setampan ini sih, Ra?" Mamanya menyela. Berjalan mendekat pada Davira kemudian menarik tubuh anak semata wayangnya untuk segera datang ke meja makan.

Davira masih dengan ekspresi yang sama. Sedikit terkejut juga heran sebab remaja brengsek yang kini masuk dan duduk rapi di depannya. Sebagai seorang tamu yang disambut baik oleh tuan rumah.

"Kok kamu—"

"Mama siapin makan malam buat kalian dulu ya," tutur Diana kembali menyela. Davira menggeleng. Menarik tangan mamanya kemudian sejenak melirik Adam yang hanya diam tak bersuara dengan senyum manis di atas bibir tipis merah muda sedikit pucat miliknya. Sok sopan! Padahal 'kan brengsek!

"Gak usah, Ma! Adam cuma mampir sebentar, kok." Davira beralasan. Kembali menggeleng agar mamanya mengerti bahwa apa yang ingin dilakukannya itu terbilang berlebihan dan terlalu baik.

Itulah mamanya. Berbeda sifat dengan dirinya yang terkesan tak acuh tak peduli pada orang baru yang dianggap datang untuk mengusik kehidupannya. Mamanya ini sedikit berbeda. Ia adalah orang yang terbuka pada siapapun. Tak pernah pandang 'baju' hanya pandang 'value' untuk menyeleksi mana yang baik mana yang buruk. Mamanya bukan orang yang membedakan si kaya dan si miskin, si tampan atau si buruk rupa. Mamanya hanya melihat 'sesuatu' dari balik sorot mata orang itu.

"Jangan gitu, Davira! Adam tunggu sebentar ya sayang," katanya melunak. Melepaskan genggaman Davira kemudian berjalan masuk ke dalam dapur. Meninggalkan anak semata wayangnya bersama seorang pria ludus yang masih kokoh dalam berperingai baik malam ini.

"Aku bawa sesuatu," katanya pada Davira.

Gadis itu melirik. Adam menyodorkan sebuah keranjang kecil yang berisi dengan buah-buahan.

"Aku bilang kamu gak diterima di rumah ini," jawabnya ketus. Membuang tatapannya agar tak lagi menatap paras tampan Adam.

Remaja itu tertawa kecil. Lucu? Tidak. Ia tertawa hanya untuk menutupi betapa terlukanya hati remaja itu saat ini. Mendengar kalimat dari Davira Faranisa barusan sedikit membuat batinnya terluka. Akan tetapi, apa boleh buat. Untuk mendapatkan berlian, kita tak bisa membayar dengan harga yang murah 'kan?

"Waktu itu 'kan aku gak bawa buah tangan, makanya aku gak diterima," jawabnya sopan.

Davira menyeringai. Kini kedua lensa pekatnya kembali menatap paras tampan nan mumpuni remaja dengan hoodie hitam yang apik dipadukan dengan celana jeans bewarna senada.

"Masih gak diterima," tukasnya kemudian. Menarik segelas air putih yang ada di depannya kemudian meneguknya separuh.

Adam diam. Sakit? Sekali. Iya, hatinya sakit sekali saat ini. Jujur saja, sampai sekarang Adam Liandra Kin masih tak habis pikir dengan sikap ketus dan tak acuh yang ditunjukkan gadis itu padanya. Jika hanya sebab melihat dirinya bersama Kayla di sekolah dan jalan berdua dengan Kak Lita beberapa hari lalu di pasar malam itu, Adam akan mengatakan bahwa Davira Faranisa adalah gadis yang berlebihan dalam mengambil sikap dan terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan bahwa Adam adalah remaja ludus berperingai iblis.

"Kenapa kamu kayak gitu sama aku?" tanya Adam melirih. Mencoba tetap sabar menghadapi sifat dingin Davira kali ini. Sebab sekali lagi, untuk mendapatkan berlian kita harus membayar dengan harga yang mahal. Untuk mendapat 'harga yang mahal' itu ... kita bisa mengorbankan apapun selain harga diri 'kan? Perasaan dan bantin yang terluka, contohnya.

"Aku udah bilang 'kan? Karena kamu brengsek." Davira menjawab dengan lancarnya. Tak ragu juga tak takut kalau Adam akan marah dan membentaknya sebab harga diri yang mungkin saja bisa terluka setelah mendengar jawaban dari Davira.

Adam tersenyum. "Apa batasan seorang laki-laki agar tidak dikatakan brengsek olehmu?"

Davira bungkam. Adam sudah pandai berbicara kali ini.

"Arka kamu juga sebut sebagai laki-laki brengsek 'kan?" kekehnya kemudian. Adam tak melucu, tapi ia hanya ingin terkekeh saja kali ini.

Davira ikut tertawa kecil nan singkat. Sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan untuk mendekat pada posisi duduk Adam. "Jangan jadi laki-laki kalau tak mau dibilang brengsek," jawabnya melirih. Kembali menarik tubuhnya ke belakang untuk bisa memposisikan dirinya senyaman mungkin.

Adam menatap gadis yang kini membalik piring di depannya itu. Kalimat demi kalimat yang terucap dari celah bibirnya, selalu saja tegas dan penuh penekanan. Tak seperti orang yang sedang menahan amarah dan berusaha meluapkan kemarahan dan kegundahan serta kegelisahan dan kekecewaan yang sedang dipendamnya saat ini.

Seperti semua yang keluar dari mulut gadis itu sudah disusun rapi dalam sebuah dialog tertulis yang dihapalkannya sebelum datang ke sini. Sebab dalam cara dan gaya bicaranya, ia sangat fasih dan tak gemetar atau tak salah sedikitpun.

Adam mengerti satu hal kali ini, setiap kalimat berisi kata-kata pedas bernada ketus nan dingin yang keluar dari mulut gadis itu bukanlah sesuatu yang datang dari pikiran gadis itu saat melakukan percakapan dengan lawan bicaranya saat itu juga, akan tetapi sebuah kalimat yang datangnya dari masa lalu. Di mana kalimat-kalimat itulah yang menjadi dasarnya bersikap buruk seperti ini. Bukan sebagai seorang gadis lemah lembut yang rapuh sebab luka di masa lalu yang masih jelas menganga, namun menjadi seorang gadis yang sok kuat dan sok tegar untuk menghadapi masa depan yang lebih mengerikan lagi.

Sok? Ya. Adam menyisipkan kata itu sebab meskipun Davira memaki dirinya dan mengatai dirinya dengan kalimat pedas dan sumpah serapah yang melukai hatinya, namun dalam tatapan mata gadis itu bukankah kebencian dan kemarahan yang terbaca olehnya, namun sebuah kesedihan yang amat mendalam sebab dirinya sedang merindukan seseorang saat ini.

--dan dalam keyakinan penuhnya, orang itu bukanlah Arka Aditya, si sahabat aneh yang selalu menguntit kemanapun Davira pergi. Bukan juga sang mama tercinta yang kini berjalan tegas menghampiri posisi gadis itu sembari terseyum manis penuh ketulusan. Orang itu ... sedang tidak ada di sini. Orang itu, sedang berada jauh entah di mana posisinya saat ini dan orang itu ... adalah papanya.

...To be Continued...