Suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring kaca kini mulai memudar sebab acara makan malam bersama tamu 'istimewa' sudah selesai dilaksanakan. Diana melirik anak gadisnya yang kini meneguk habis air putih yang disediakan untuknya. Sesekali melirik Adam yang baru saja mengelap bibirnya setelah aktivitas makan ia selesaikan dengan baik. Remaja itu sesekali mencuri padang ke arah Davira. Membuat Diana—mama Davira— hanya tersenyum geli melihat kelakuan remaja satu itu. Diana pernah muda, jadi ia paham betul suasana apa yang sedang terjadi di dalam ruang makan ini. Sedikit canggung namun menyenangkan sebab bisa makan bersama gadis yang dicintai, begitulah kiranya.
"Kamu suka sama Davira?" tanya Diana menyela aktivitas Adam. Remaja itu menatap wanita paruh baya yang hanya tersenyum setelah melontarkan kalimat yang terkesan sangat tiba-tiba itu.
"Kamu pengen nikah sama anak saya?"
Davira tersedak. Baiklah, mamanya sedikit berlebihan kali ini.
"Mama!" sentak Davira merengek bak anak kecil yang minta uang jajan pada orang tuanya. Adam kini mengubah sorot matanya untuk menatap gadis berparas cantik natural itu. Sebab tanpa polesan make up atau bedak tipis dan lip balm di bibir mungilnya, gadis itu sudah sangat cantik. Matanya bulat, kulitnya putih bersih tanpa bekas luka atau tanpa jerawat yang mengganggu. Hidungnya memang tak lancip seperti Kayla Jovankan. Standarnya orang tanah jawalah, jika ditanya bagaimana bentuk hidung dan bentu wajah seorang Davira Faranisa. Hanya saja peringai gadis itu sedikit buruk jikalau dibandingkan dengan gadis-gadis cantik yang pernah Adam kenal sebelumnya.
"Hm, saya ingin menikah—"
"Ngaco!" Davira menyentak. Melempar roti tawar yang ada di sisinya hingga mendarat tepat di atas jidat remaja yang kini merintih berlebihan sebab roti tawar empuk yang mengenai wajah tampannya. Berlebihan? Iya. Sebab jikalau dirasakan dengan benar, dilempar roti tawar empuk itu tak sesakit seperti saat dilempar harapan oleh 'doi' lalu ditinggal pergi begitu saja!
Diana terkekeh kecil. Menatap wajah merah padam putri semata wayangnya itu. Davira tak pernah begini sebelumnya. Memang sih, Adam bukanlah remaja tampam pertama yang datang ke rumah ini. Sebab posisi itu sudah diraih oleh Arka Aditya. Akan tetapi, baru sekarang Diana melihat putri itu memendam rasa malu dalam dirinya hanya karena seorang remaja sebaya dengannya.
"Ya udah deh, mama beresin ini dulu, Adam kalau mau lihat-lihat kamar Davira—"
"Ke Gazebo depan!" perintah Gadis itu beranjak dari kursinya. Mengabaikan mamanya yang kini menatapnya sembari tersenyum geli. Sifat Davira yang 'malu-malu' kucing seperti ini mirip seseorang yang amat Diana cintai di masa lalu. Orang itu adalah Adrian Wijaya Kusomo—papa dari Davira yang sekaligus adalah mantan suaminya.
***LnP***
Hening kini datang membentang. Setelah mama Davira memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamar pribadinya sesaat setelah acara makan bersama tamu 'istimewa' usai dilaksanakan. Menyisakan suara kerikan jangkrik yang jelas memekak kedua lubang telinga gadis dan remaja tampan yang kini saling duduk berjajar tak mau memandangi satu sama lain. Davira memusatkan tatapannya jauh ke depan. Menatap batang pohon besar yang berada di sudut lain halaman kecil nan mungil rumahnya ini. Sedangkan Adam, ia hanya menatap ujung sepatu hitamnya yang sesekali kasar menggesek permukaan tanah lembab yang diselimuti hangat oleh rerumputan hijau di atasnya, kemudian sesekali memusatkan tatapannya pada paras cantik Davira Faranisa.
Remaja itu masih saja kagum dan selalu ingin memuji ... betapa cantik dan sopan serta anggunnya wajah cantik seorang Davira Faranisa, meskipun wajah itu tertutup oleh peringai buruk yang sesekali muncul dari dalam dirinya.
Sudah bisa dikatakan bahwa Adam tak baru lagi dalam mengenal dan menanggapi gadis berlain sifat di lain keadaan ini, sebab setiap dirinya bertemu dengan Davira Faranisa selalu saja gadis itu menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Katakan saja seperti Davira si gadis manja penuh rengekan saat dirinya memergokki gadis itu merengek manja pada sahabatnya, Arka Aditya kala datang dan tak sengaja bertemu dengan Davira Faranisa juga si remaja menyebalkan, Arka Aditnya. Lalu, Davira Faranisa yang penuh dengan sensi dan amarah kala Adam melihatnya selalu terlihat tak acuh dan tak mau tau tentang apa yang ada di sekitarnya. 'Memaki' Arka Aditya juga dirinya yang menurut gadis itu, segala macam bentuk laki-laki itu brengsek! Juga ada Davira yang lain, gadis yang bersifat iblis dan berhati batu. Memaki wanita sedikit tua yang berstatus lajang dan berprofesi sebagai sekretaris papanya beberapa waktu lalu. Membuat wanita itu bungkam enggan berkata-kata setelah Davira membuatnya 'skak mat!' di malam yang dingin saat itu. Sedikit tak aneh ketika mengatakan bahwa Davira juga memiliki sisi lemah dalam dirinya. Dengan memberi tatapan kosong dan sayu seperti sekarang ini. Juga, seperti saat Adam tak sengaja menatapnya dari kejauhan saat gadis itu sedang sendiri tiada yang menemani.
Adam paham benar, apapun yang terjadi pada gadis itu di masa lalu pastilah sangat menyiksa dan menyakiti hatinya hingga meninggalkan luka yang begitu dalam dan gadis itu, membawa luka itu kemana pun ia pergi dan melangkah. Dalam tebakan seorang Adam Liandra Kin, apapun bentuk lukanya dan seberapa dalam 'kah luka itu tak akan pernah bisa membuat seseroang mengalami sebuah trauma besar seperti gadis di sisinya ini. Menunjukkan sisi trauma dalam dirinya melalui sifat 'sok kuat' dan 'sok berani' untuk menutupi bahwa dirinya sedang dan selalu dalam keadaan rapuh dan hancur.
Namun, trauma itu muncul sebab orang yang membuat luka tanpa mau mengobatinya adalah orang yang begitu berharga untuk gadis ini. Seperti, papanya misalnya.
"Papa kamu sekarang tinggal di mana?" tanya Adam membuka percakapan. Gadis di sisinya bungkam. Tak mau merespon juga menjawab kalimat pertanyaan yang dilontarkan Adam Liandra Kin untuknya.
"Papa kamu kerja di luar negeri?" tanyannya lagi.
Gadis itu masih bungkam. Tak mau menoleh juga tak mau bergeming sedikit pun. Bagi Davira, topik pembicaraan yang dipilih Adam begitu basi dan membosankan!
"Papa kamu—"
"Dia udah mati!" sahut Davira membelas dengan nada tegas. Baiklah, gadis itu sudah muak mendengar kata 'papa' yang disebut berulang kali hanya untuk mencoba menarik perhatiannya dan menghilangkan hening yang sedang membentang serta rasa canggung yang datang menyelimuti.
"Dia udah mati, Adam." Davira mengulang dengan nada melunak. Menatap remaja yang kini diam sembari terus memberi fokus sorot mata teduhnya pada Davira. Lirih namanya yang disebut oleh Davira membuat Adam sedikit miris. Sebab itulah saat pertama kali namanya disebut oleh Davira Faranisa semenjak keduanya saling bersua meskipun hanya untuk sekejap mata. Alih-alih menyebutnya dengan riang gembira tanda bahagia hatinya, Davira menyebut nama Adam di bagian akhir kalimatnya dengan nada lirih melunak yang terdengar begitu mengiris hati. Sebab suara gadis itu ... gemetar.
"Di mana papamu di makamkan?"
Davira mengernyitkan dahinya samar. Baru kali ini, ada orang yang bertanya demikian sesaat setelah dirinya mengaku bahwa sang ayahanda telah tiada. Hanya Adam, sekali lagi ... hanya seorang Adam Liandra Kin yang tega memperlebar bahasan mereka setelah Davira mengatakan bahwa papanya telah meninggal dunia.
"Tidak di makamkan?" Adam melanjutkan. Kembali ia memberi tatapan teduh penuh makna pada gadis yang kini membuang sorot matanya untuk kembali menatap batang pohon yang berdiri tegap jauh di depannya itu. Tak ada menarik-menariknya memang, tapi untuk Davira mungkin saja batang kayu kering berwarna cokelat tua sedikit lapuk itu lebih menarik dari wajah tampan Adam dan sepasang lensa tajam berkharisma milik remaja itu.
"Dalam kenanganku," jawabnya lirih. Tersenyum singkat untuk mengakhiri kalimatnya.
Senyum miris itu lagi! Jujur, Adam benci ketika melihat Davira tersenyum seperti itu. Sebab, siapa sih yang suka jikalau gadis yang dicintainya terlihat murung dan tersiksa? Tidak ada! Sebrengsek apapun Adam, ia masih normal dengan tegas mengatakan bahwa ia juga membenci keadaan yang menyulitkan gadis yang ia cintai.
"Itu artinya dia masih hidup." Adam menuntaskan kalimatnya. Jika biasnya, Davira-lah yang mengabaikan remaja tampan itu kali ini Adam-lah yang melakukannya. Remaja itu mengabaikan perubahan ekspresi wajah Davira yang jelas memberi tatapan aneh padanya. Nada bicara Adam santai. Seperti tak pernah berdosa dengan menyingung dan memulai obrolan bertopik mengenai ayahandanya itu.
Davira tak suka pada siapapun yang berani menyinggung pasal kehidupannya di masa lalu dengan bertanya banyak mengenai papanya. Satu-satunya alasan dengan menyebut papanya sudah meninggal adalah sebab gadis itu ingin segera mengakhiri segala bentuk obrolan mengenai ayahnya tanpa mau memperpanjang lagi.
"Aku juga kadang berharap papaku meninggal saja. Sebab aku tak tahu apa yang akan dilakukan mamaku kalau tau papa—" Adam menghentikan kalimatnya. Terkekeh kecil kemudian menggeleng perlahan. Baiklah, ia tak harus menyelesaikan kalimatnya sekarang. Sebab datangnya ke sini bukan untuk bertukar nasib dengan gadis cantik jelita bernama Davira Faranisa.
"Kenapa gak dilanjutkan?" Davira menimpali. Tak mau menatap Adam dan hanya terus meluruskan fokusnya ke depan.
"Karena gak perlu dilanjutkan," kekeh remaja itu dibagian akhir kalimatnya.
"Davira ...," panggil Adam lirih kemudian menoleh ke arah gadis yang kini meluruskan kakinya ke depan. Merubah sorot matanya untuk menatap ujung jari jemari kakinya yang sesekali ia gerakkan untuk menghilangkan sepi dan bosan yang ada dalam dirinya saat ini.
Adam paham kok, kalau Davira duduk di sisinya bukan karena kemauan hatinya yang dengan lapang dada untuk datang dan meladeninya. Namun, Davira melakukan ini semua sebab paksaan dari keadaan. Adam tak mau lekas kembali ke rumahnya. Jadi, mau tak mau Davira harus meladeni tamu tak undang yang datang ke rumahnya ini.
"Gimana kalau aku ...." Adam kembali menghentikan kalimatnya. Menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya kasar.
"Kalau aku suka sama kamu," imbuhnya kemudian. Gadis di sisinya diam. Tak berucap atau memberi respon berlebihan layaknya seorang gadis yang sedang terkejut sekaligus bahagia setelah mendengar pertanyataan cinta dari seorang remaja berparas tampan dengan fisik mumpuni yang bisa dibilang sempurna hingga membuatnya digilai para kaum hawa.
Davira hanya diam. Sekali melirik Adam kemudian senyum tipis yang baru saja dikembangkan olehnya itu memudar. Tunggu, Davira tersenyum? Untuk apa?
"Kamu gak terkejut aku bilang gitu?" Adam kembali melanjutkan suaranya untuk memberi pertanyaan pada gadis yang kini menggeleng samar.
Davira mendongak. Kemudian memutar kepalanya untuk menatap Adam dan tersenyum kecut padanya. "Jangan menyukaiku," tukasnya lirih.
"Kenapa aku tak boleh menyukaimu?"
"Karena aku membenci laki-laki sepertimu." Davira kembali menunduk. Untuk ke sekian kalinya, kalimat yang lolos dari celah gadis itu terdengar menyakitkan. Namun, bukan Adam namanya jikalau akan menyerah semudah itu.
Kalimat larangan dari Davira Faranisa seakan terdengar seperti sebuab dusta besar yang dimana fakta sebenarnya adalah ... sukai aku! Buat aku bahagia dan melupakan rasa sakitku, please!
...To Be Continued...