webnovel

Love Rain

Ara. Seorang gadis yang memiliki sebuah penyakit turunan dari sang ibu, ia harus melakukan hal lain, untuk dapat mengingat sesuatu. Lalu, sebuah mimpi buruk tiba-tiba hadir di malam-malam tidurnya. Mimpi buruk yang selalu membuatnya merasa ketakutan saat terbangun. Juna. Teman masa SMA Ara. Ia menyukai Ara sejak kelas 1 SMA, tapi sampai ia dewasa, ia tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya ke Ara. Apalagi, Ara telah memiliki kekasih. Lalu, sebuah kenangan masa lalu, membuat diri Juna selalu diliputi perasaan bersalah dan marah. Dewa. Teman kuliah Ara. Dia anak lelaki yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Lalu disaat dirinya memiliki kekasih, cinta lamanya kembali hadir. Kembali mengusik percintaan Dewa. Lalu, dapatkah Ara mengetahui tentang penyebab mimpi buruk yang selalu mendatanginya? Dan dapatkah Juna akhirna bisa menyatakan rasa sukanya ke Ara? lalu bagaimana ia menghadapi rasa bersalah dan rasa marahnya akan kenangan masa lalunya? Dan untuk Dewa, bisakah ia menghadapi godaan cinta masa lalu yang tiba-tiba hadir di tengah kisah percintaannya? Sebuah takdir yang akan menuntun mereka, entah mereka mampu menerima atau tidak dalam memperoleh jawaban yang mereka cari selama ini. Karena semua bukan hanya tentang jawaban, tapi tentang cara kita menerima akan sebuah jawaban itu.

Caira_Asmara · Urbain
Pas assez d’évaluations
397 Chs

Teka-Teki Selanjutnya

Tok, tok, tok.

"Mbak, ayo bangun! Mau ke pasar Bandungan gak?" Suara pria di balik pintu kamar Ara.

Si gadis penghuni kamar, masih dibalut oleh selimut tebal menutupi semua tubuh kecuali kepalanya. Ingin menjawab suara yang ada di luar sana, tapi masih enggan karna suhu dingin terasa sangat menusuk badan.

"Ayo, mbak. Nanti buburnya keburu abis lho kalau kita gak dateng pagi." ucap pria di balik pintu lagi.

Karna ada kata-kata bubur, si gadis langsung bangkit dan menjawab suara pria tersebut.

"Iya. Sebentar lagi aku keluar," ucap si gadis lalu bangkit menuju kamar mandi.

**

Beberapa saat kemudian.

"Ayo, berangkat!" ucap Ara di ruang makan.

"Kamu ndak sarapan di rumah dulu, nduk?" tanya nenek Ara.

"Jangan, nek. Nanti kita kehabisan buburnya." ucap Wisnu, adik sepupu Ara.

Wisnu dan Ara seumuran, hanya selisih 3 bulan. Lebih tepatnya tuaan Ara.

"Iya, nek. Ara sama Wisnu jalan sekarang ya, nek." ucap Ara

"Yasudah kalau begitu, jangan lupa bawa helm dan bawa baju yang tebel! Nanti kamu kedinginan." perintah nenek.

"Siap, nek. Assalamualaikum," ucap Ara sambil memakai jaket tebal yang sudah dibawanya dari kamar.

Ara dan Wisnu mengendarai sepeda motor menuju pasar Bandungan, sudah jadi kebiasaan dan rutinitas bagi Wisnu untuk mengantar Ara ke pasar Bandungan. Karna Ara ingin mengenang masa-masa saat diajak sang nenek untuk menyantap bubur dengan sayur labusiyam berkuah ditambah potongan tahu kuning di dalamnya.

Nenek sudah tidak mampu berjalan terlalu jauh, sehingga Wisnu yang akan mengantar Ara ke pasar Bandungan.

"Mbak, Jakarta gimana? Masih panas kah?" tanya Wisnu.

"Terkadang, Wis. Tapi akhir-akhir ini setiap malam terasa dingin, karna sering turun hujan. O iya, papa mamaku pulang kapan ya, Wis?" tanya Ara balik.

"Emmm, aku ndak tahu mbak. Nenek yang lebih tahu soal pakde sama bude." jawab Wisnu.

"Gitu, kirain aku kamu tahu, Wis."

Motor telah terparkir di area parkir pasar Bandungan, lalu Wisnu dan Ara memasuki area toko-toko jajanan makanan ringan sambil mencari sebuah lapak terbuka di pojokan pasar. Lapak tersebut adalah tempat di mana tukang bubur menjual dagangannya, sang penjual adalah generasi kedua dari penjual terdahuluinya, tapi rasa dan kenikmatannya hampir tak ada bedanya dengan pelopor awalnya.

"Wis, kita harus beli krupuk dulu buat pendamping makan buburnya. Gak nikmat banget kalau gak ada krupuknya." ucap Ara.

"O iya, lupa aku mbak."

Setelah Ara dan Wisnu selesai dengan rutinitas memakan bubur di pasar, mereka menuju parkiran dan tak lupa membeli kue lekker untuk dibawa pulang. Kue ini bentuk dan rasanya hampir sama dengan kue Ape yang ada di Jakarta.

Dalam perjalanan, sebuah percakapan kembali terbuka.

"Mbak?"

"Iya."

"Mbak Ara masih menghubungi pakde sama bude?"

"Kok masih sih, Wis. Bukannya harus ya?"

"Hmmm, maksud Wisnu, mbak Ara seringkan menghubungi pakde sama bude?"

"Sering dong, Wis. Tiap hari malahan."

"Terus, pakde sama bude jawab pesan mbak, gak?"

"Jarang-jarang sih, Wis." ucap Ara sambil memikirkan sesuatu.

"Emang ada apa, Wis?"

"Emm, gak ada apa-apa mbak. Wisnu, cuman nanya aja kok."

"Kirain aku ada apaan, yaudah yuk buruan balik! Nanti nenek kelamaan nungguin kita di rumah."

"Iya, mbak."

"Assalamualaikum," ucap Ara dan Wisnu berbarengan.

"Waalaikumsalam," balas tante Anila.

"Lho, nenek ke mana tan?"

"Nenek lagi keluar sebentar Ra sama om Anggada."

"Hmm, gitu. Yaudah, Ara ke kamar dulu ya tante buat lepas jaket."

"Oh, iya Ra."

***

Ara POV.

Gue kembali membaca beberapa buku catatan gue tentang moment-moment gue berkomunikasi sama papa mama. Gue kepikiran soal pertanyaan Wisnu sepulang dari pasar tadi. Yaitu pertanyaan soal papa mama yang membalas atau tidak membalas pesan gue selama ini.

Jujur, tadi gue gak ingat pasti apakah mereka selalu membalas pesan dan telefon gue, karna sejatinya gue gak ingat apa-apa saat Wisnu menanyakan hal itu.

Kecuali kalau dia menanyakan itu disaat gue udah membaca ulang beberapa catatan gue. Karna sebenarnya tadi pagi gue gak sempet membaca banyak catatan, udah tergiur dengan kata-kata bubur jadi gue hanya sempat membaca catatan dan tujuan asli gue datang ke sini aja.

Hm, apa Wisnu tahu sesuatu tentang papa dan mama ya? Apa mereka semua sedang menyembunyikan sesuatu dari gue? Gue harus segera tanya soal papa dan mama lagi ke nenek nih, biar gue gak selalu menerka-nerka seperti ini.

Tadi pagi sebelum gue berangkat ke pasar Bandungan, gue sempetin buat chat papa dan mama. Seperti yang tercatat di buku harian, tidak ada respon dari mereka berdua, padahal jelas-jelas pesan gue terbaca. Apa mereka udah gak sayang lagi ke gue?

Bahkan sekedar membalas chat pun, mereka gak bisa. Apa karna papa dan mama sekarang sibuk dengan bisnis, sampai gue ke sini pun mereka tak menyambut gue. Menanyakan gimana perjalanan gue pun tidak sama sekali. Papa mama benar-benar jahat sama gue.

Pikiran gue terlalu banyak menerka-nerka, hingga rasanya panas dan kering di dalam kepala. Gue berencana menuju dapur untuk mengambil air dingin, berharap air dingin tersebut mampu meredakan panas dan keringnya isi kepala gue.

Sedang asiknya gue meneguk air dingin di depan kulkas sambil pintu kulkas masih terbuka, gue mendengar percakapan dari arah taman belakang. Taman belakang ini berada di dekat dapur, karna memang untuk menuju taman harus melewati dapur.

Ada sepasang kursi rotan dan sebuah meja kecil di area taman belakang, dan 2 orang sedang berbincang.

"Bun, mbak Ara kasihan, yo?" ucap Wisnu.

Gue? Kasihan? Apa maksud ucapan Wisnu?

"Iyo, le. Bunda yo bingung meh piye (Iya, nak. Bunda juga bingung mau bagaimana)." balas tante Anila.

Ini mereka lagi ngomongin apaan?

Andai gue bisa dan ngerti bahasa jawa, pasti gue gak akan sebingung ini. Tapi yang gue tahu, mereka lagi ngomongin gue dan ngerasa kasihan sama gue. Kalaupun gue paksain buat dengerin percakapan mereka, gue gak akan paham betul dengan yang mereka obrolin. Sehingga gue putuskan menuju taman belakang dan menghampiri mereka.

"Ehh, tante sama Wisnu di sini, to?" ucap gue mulai menyapa.

"Ehh. Nak Ara," balas tante Anila kikuk dan bingung harus bagaimana, sedangkan Wisnu tidak meneruskan ucapannya ke tante Anila. Hanya bentuk mulut yang seperti ingin menyebut bun, tapi tidak terselesaikan.

"Ara boleh gabung gak, tan?"

"Boleh dong, nak. Le(nak), kamu ambil satu kursi lagi ya di dapur?" ucap tante Anila.

"Iya, bun." ucap Wisnu.

Setelah kami bertiga berkumpul dan menduduki satu kursi masing-masing, gue berusaha mencairkan suasana.

"Tante, kok gak ada foto keluarga di lebaran kemarin sih?" tanya gue.

"Oh, itu… karna kamu tidak pulang ke sini nak, jadinya kita gak berfoto keluarga." jawab tante Anila.

"Oh, gitu. Di rumah ini juga gak ada foto terbaru dari papa dan mama ya, tan?"

"Hmmm, mas Bharata sama mba Sinta gak pernah foto-foto sekarang, Ra."

"Mbak, Ara." sela Wisnu.

"Iya." jawab gue.

"Mbak yakin gak ingat sesuatu?"

"Maksud kamu?" ucap gue penasaran.

"Udah, le." ucap tante Anila.

"Tapi, bun. Gak mungkin kan mbak Ara lupa tentang hal itu?"

"Maksud Wisnu apa tante. Ara benar-benar gak ngerti."

"Udah nak Ara, jangan kamu pikirin ucapan Wisnu."

"Bunnn," ucap Wisnu sedikit kesal.

"Nak, tolong jangan dilanjut. Ada hal yang belum kamu tahu selama ini tentang mbak mu, Ara." ucap tante Anila ke Wisnu.

"Ini sebenarnya ada apa tante?" ucap gue makin penasaran.

Hal yang belum diketahui Wisnu tentang gue? Apa jangan-jangan tante Anila tahu tentang kondisi daya ingat gue, sehingga melarang Wisnu untuk menanyakan tentang gue yang mengingat atau tidak mengingat sesuatu hal yang Wisnu maksud tadi? Karna besar kemungkinan, gue gak akan ingat yang dimaksud Wisnu.

"Tante, please! Sebenarnya ada apa ini," ucap gue memohon ke tante Anila.

Tante Anila tidak ada gelagat untuk menjawab pertanyaan gue barusan, tapi beliau seolah bingung harus bagaimana menghadapi gue. Dan tanpa gue duga Wisnu mengucapkan sesuatu ke gue.

"Mbak, Ara. Aku mohon jangan seperti ini terus, mbak harus tahu kalau sebenarnya…"

Belum selesai Wisnu menyelesaikan kalimatnya untuk gue, ada sebuah suara keras yang memaksa Wisnu untuk berhenti.

"Hentikan, Wisnu!" ucap om Anggada sambil berjalan ke arah kami bertiga dengan menuntun nenek disampingnya.

"Tapi, yah."

"Ayah bilang berhenti Wisnu!"

"Biar nenek yang bicara, le." ucap nenek ke Wisnu.

Di sini gue merasa, hanya gue yang tidak tahu apa-apa selain mereka semua. Sebenarnya ingatan apa yang coba Wisnu tanyakan ke gue?

Dan hal apa yang tidak wisnu ketahui tentang gue? Mungkin untuk yang ini, gue bisa nyimpulin kalau Wisnu tidak tahu soal penyakit gue. Tapi kenapa tante Anila bisa tahu? Apa jangan-jangan papa mama atau nenek ngasih tahu ke tante Anila? Entahlah, gue tak tahu tentang ini semua.

"Yaudah, kita ke ruang keluarga dulu ya." ajak om Anggada.

Kami tidak mengiyakan ajakan om Anggada, tapi langkah kaki kami spontan menuju ruang keluarga. Nenek menunggu gue, dan meminta gue untuk membantunya menuju ruang keluarga.

Gue harap, perkumpulan kami di ruang keluarga nanti akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada dipikiran gue selama ini. dan alasan papa mama gak pernah balas chat atau pun mengangkat telfon dari gue. Gue harap semuanya terjawab dengan jelas.