webnovel

Love Rain

Ara. Seorang gadis yang memiliki sebuah penyakit turunan dari sang ibu, ia harus melakukan hal lain, untuk dapat mengingat sesuatu. Lalu, sebuah mimpi buruk tiba-tiba hadir di malam-malam tidurnya. Mimpi buruk yang selalu membuatnya merasa ketakutan saat terbangun. Juna. Teman masa SMA Ara. Ia menyukai Ara sejak kelas 1 SMA, tapi sampai ia dewasa, ia tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya ke Ara. Apalagi, Ara telah memiliki kekasih. Lalu, sebuah kenangan masa lalu, membuat diri Juna selalu diliputi perasaan bersalah dan marah. Dewa. Teman kuliah Ara. Dia anak lelaki yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Lalu disaat dirinya memiliki kekasih, cinta lamanya kembali hadir. Kembali mengusik percintaan Dewa. Lalu, dapatkah Ara mengetahui tentang penyebab mimpi buruk yang selalu mendatanginya? Dan dapatkah Juna akhirna bisa menyatakan rasa sukanya ke Ara? lalu bagaimana ia menghadapi rasa bersalah dan rasa marahnya akan kenangan masa lalunya? Dan untuk Dewa, bisakah ia menghadapi godaan cinta masa lalu yang tiba-tiba hadir di tengah kisah percintaannya? Sebuah takdir yang akan menuntun mereka, entah mereka mampu menerima atau tidak dalam memperoleh jawaban yang mereka cari selama ini. Karena semua bukan hanya tentang jawaban, tapi tentang cara kita menerima akan sebuah jawaban itu.

Caira_Asmara · Urbain
Pas assez d’évaluations
397 Chs

Aku, Semangatlah!!!

"Nduk, bangun sayang! Kita makan malam dulu, nanti kamu lanjut lagi tidurnya." ucap seorang nenek ke gadis yang tertidur sambil memeluk box berwarna hitam.

"Hmmm," respon si gadis.

"Nenek tunggu di luar ya."

Si gadis beranjak bangun, dan terlihat bingung kenapa dia tertidur sambil memeluk box hitam di kamar. Bergegas ia mencari buku catatan, tapi catatan didalam buku hanya sampai sepulang ia dari pasar Bandungan. Ekspresi si gadis benar-benar bingung dan kosong.

***

Ara POV.

Sepertinya gue tertidur setelah kembali dari pasar bareng Wisnu tadi pagi, kuat banget gue tidurnya, sampai malam baru bangun. Tapi di dalam box ini ada apa ya?

Karena penasaran, akhirnya gue putuskan untuk membukanya. Ada selembar kertas terlipat dua di tumpukan paling atas, gue coba membuka dan membacanya.

Dan ya, ternyata ini yang membuat gue tertidur tanpa sempat menuliskan sesuatu.

Tapi, benarkah papa mama sudah pergi?

Benarkah kalian sudah pergi?

Bergegas gue merapikan diri dan keluar kamar menuju ruang makan.

"Sini, mbak?"

"Iya, Wis."

"Nduk, ini rekaman pembicaraan kita tadi siang," ucap nenek sambil memberikan sebuah handycam ke gue.

"Kamu pasti langsung membaca isi dalam box hitam tadi kan sehabis bangun?" tanya nenek.

"Iya, nek. Ara ingat saat-saat menerima telfon dari pihak rumah sakit waktu itu, Ara ingat semuanya nek."ucap gue lirih.

"Masih ada kita semua mbak, mbak harus tetap semangat!" ucap Wisnu sambil menyemangati gue dengan menepuk pundak halus.

"Besok, anterin aku ke makam papa mama ya, Wis?"

"Iya mbak, pasti."

"Yaudah, kita makan malam dulu ya! Tante Anila udah masak special buat Ara." ajak om Anggada.

"Iya, om."

Malam ini, suasana makan malam terlihat berbeda. Semua dalam keheningan, ingin saling membuka obrolan, tetapi seperti tertahan.

"Ara sudah selesai nek, Ara duluan ke kamar ya?"

"Oh, iya nduk. Mimpi indah ya sayang!"

"Iya nek. Tante, makasih untuk makanannya ya, Ara suka." Ucap gue sambil tersenyum ke arah tante Anila.

"Iya sayang."

"Om, Wisnu, Ara duluan ya?"

"Iya mbak."

"Iya nak. Mimpi indah ya?"

"Iya om."

Lalu gue bergegas menuju kamar sambil membawa handycam dari nenek. Setelah sampai kamar, gue putuskan untuk memutar ulang rekaman di handycam. Tanpa sadar air mata sudah mengalir dengan derasnya di pipi gue, begitu pun dengan semua orang yang terekam di handycam, ada nenek, om Anggada, tante Anila, dan Wisnu pun ikut menangis. Hari ini benar-benar penuh air mata Tuhan.

Masih dengan sesegukan, gue mulai membuka buku catatan dan menuliskan yang terjadi hari ini, terlepas dari rekaman yang nenek berikan. Gue menuliskan tentang fakta papa dan mama, tentang seseorang yang sudah mengetahui penyakit gue, dan tentang keinginan gue untuk ke makam papa mama esok nanti.

"Sebelum gue balik Jakarta, gue harus mengunjungi papa mama." ucap gue.

Tringgg… notifikasi chat masuk.

"Ra, lu balik kapan?"

Dari : Dewita kampus

Ternyata selama gue di kampung, gue gak pernah membalas semua chat yang masuk kecuali editor yang menanyakan project novel. Lalu bergegas gue membalas chat dari Dewita, dan ada satu chat yang belum sempat gue balas, chat tersebut dari Dewa.

Setelah selesai membalas dan menuliskan ingatan gue hari ini di buku catatan, gue putuskan untuk tidur. Tertidur dengan ingatan mengharukan sangat menguras energi, tapi kalau tertidur tiba-tiba, akan membuat gue kesusahan di keesokan harinya.

Tok...tok...tok... suara pintu kamar gue terketuk.

"Siapa?"

"Aku, mbak."

"Masuk Wis! belum dikunci kok," ucap gue sambil merapikan semua buku catatan.

"Mbak. Ini buat mbak Ara," ucap Wisnu sambil memberikan sebuah mug berwarna biru ke gue.

"Apa ini Wis?" walaupun dari baunya, gue udah bisa mencium kalau yang dibawa Wisnu adalah hot choco.

"Hot choco mbak, sepertinya mbak butuh in.i"

"Thank you Wis, kamu masih ingat aja kalau aku selalu minum itu."

"Ingat dong mbak, kita berdua kan pecinta coklat. Mbak Ara gak liat, aku jadi sedikit gembul saat ini." ucap Wisnu dengan ekspresi cemberut.

"Haahaha, tapi tetap terlihat menawan kok seperti om Anggada."

"Pastinya dong mbak, yaudah mbak Ara istirahat ya! Besok aku bangunin, sekalian nanti aku anterin juga kalau mba ke stasiun."

"Oke Wis, emang kamu libur kerja?"

"Meliburkan diri mbak, aku pengen nemenin mbak Ara. Soalnya kita jarang-jarang ketemunya."

"Thank you banget ya Wis, kalian benar-benar terbaik buat aku setelah papa mama." ucap gue menahan tangis.

"Iya mbak, yaudah aku keluar ya mbak. Night mbak," ucap Wisnu sambil menepuk pundak gue.

"Night too Wis."

Papa mama, Ara kangen...

***

"Tante mau masak apa?"

"Eh, kamu udah bangun Ra? Ini masih gelap lho, nanti kamu bentol-bentol badannya karna kedinginan?"

"Ara, udah pake baju tebel banget ini tan, jadi gak berasa dingin."

"Syukur Alhamdulillah kalau begitu, tante mau masak ceker dipedesin sayang."

"Pasti gara-gara Ara ya, jadi masak itu?"

"Iya, di rumah gak ada yang suka sayang, kecuali kamu sama mama kamu. Nanti tante bawain buat di Jakarta ya?"

"Oke tante, makasih ya tan. O iya, Wisnu belum bangun ya tan?"

"Udah sayang, dia lagi ke sawah buat ambil bunga mawar untuk dibawa ke makam nanti."

"Oh, gitu. Ada yang bisa Ara bantu gak tan?"

"Gak ada sayang, kamu tunggu Wisnu di ruang baca aja ya? Tante hampir selesai kok bikin sarapan sama cekernya."

"Baiklah tante kalau begitu, Ara ke ruang baca dulu ya."

"Iya sayang. O iya, kamu mau dibuatin coklat panas gak?"

"Gak usah tante, nanti Ara bikin sendiri aja."

"Yaudah kalau gitu, nanti tante sampaiin ke Wisnu kalau kamu ada di ruang baca."

"Iya tante."

Lalu gue bergegas menuju ruang baca sambil mempererat dekapan pada diri sendiri untuk menghalau hawa dingin.

***

Setelah selesai sarapan bersama.

"Wis, kita ke makamnya jalan kaki aja ya?"

"Kenapa mbak?"

"Aku lagi pengen jalan kaki, mengenang masa-masa dulu jalan bareng papa."

"Oh, iya mbak."

"Kamu yakin nduk, mau jalan kaki?"

"Iya nek. Ara ingin melihat detail beberapa kenangan Ara sama papa dan mama dulu."

"Baiklah nduk, hati-hati ya!"

"Iya nek, pasti."

Hari ini gue harus mulai lebih bersemangat dan bersyukur lagi, papa mama akan merasa sedih kalau gue selalu terpuruk dengan kenyataan yang ada. Cukup gue terpuruk saat gue terbangun dari koma. Karna sebenarnya, dulu nenek dan keluarga sudah memberitahukan tentang keadaan papa mama ke gue saat gue terbangun dari koma beberapa hari setelahnya.

Dan akibatnya, gue mengurung diri di dalam kamar perawatan dan jarang makan dan minum. Gue memang benar koma selama 2 bulan, tapi setelah sadar gue masih tetap di rumah sakit selama kurang lebih 3 bulan. Selama 3 bulan itu gue hanya menuliskan kesedihan gue yang berlarut pasca kepergian papa mama di beberapa lembar kertas.

Dan mulai iseng-iseng menulis sebuah cerita tentang kisah gue dan Juna semasa SMA, itulah awal mula gue terjun ke dunia cerita dalam bentuk novel. Sepulang dari rumah sakit, nenek hanya memberikan kertas-kertas yang berisi cerita novel gue. Setiap gue menanyakan papa mama, nenek selalu bilang kalau mereka membuka usaha di kampung.

Sepertinya dari situ awal mula nenek mulai membohongi gue, dan mendorong gue untuk membuat novel dan menemani gue di Jakarta sampai gue diterima kerja di salah satu pabrik elektronik .

Sebenarnya nenek dan keluarga memutuskan untuk tak menyediakan buku dan bolpoin di kamar perawatan gue. Mungkin alasan mereka melakukan hal tersebut karna tak ingin gue menuliskan ingatan sedih. Tapi bagi gue, menulis sudah seperti keharusan gue setiap hari.

Hingga akhirnya, gue selalu meminta beberapa lembar kertas ke suster dan meminjam bolpoin mereka, yang akhirnya bolpoin tersebut tak pernah gue kembalikan. Beberapa lembar kertas dan bolpoin yang gue gunain selalu gue simpan dibalik kasur rumah sakit.

Entah bagaimana caranya, nenek bisa menemukan catatan tersebut. Tapi setidaknya gue tetap harus bersyukur, karna teryata nenek masih menyimpannya, berbarengan dengan beberapa catatan yang ditulis oleh keluarga besar gue yang lain selama mereka menjaga gue di rumah sakit.

Dan menyimpannya bersama selembar kertas tentang percakapan gue dan pihak rumah sakit saat mengabarkan tentang papa mama

Jika belum bisa menyemangati orang yang kamu sayangi, maka semangatilah diri kamu sendiri terlebih dahulu. Karna bisa jadi, semangat yang kau berikan untuk diri kamu sendiri itu, mampu menulari orang sekeliling kamu untuk bersemangat juga.

Caira_Asmaracreators' thoughts