"Dengan ini kami memutuskan Lissa Stevanie sebagai anak angkat yang sah dari Bapak Surya Dewangga dan Ibu Sarah Aulia. Anak tersebut kemudian akan menyandang nama baru Lissa Stevanie Dewangga."
Hakim pengadilan perdata masih membacakan hasil keputusan sidang pengangkatan Lissa sebagai anak kandung Surya.
Air mata haru menetes di mata Gita. Akhirnya selesai sudah tugasnya menjadi wali asuh bagi Lissa. Kini anak itu akan berpindah asuhan ke Surya dan istrinya.
Gita memeluk Lissa erat. "Baik-baik jadi anak Papa Surya dan Ibu Sarah ya, Lissa!" pesannya.
Anak kecil itu mengangguk. "Aku tetap anak Mami Gita juga," ucapnya.
"Iya, Mami mengerti. Semua ini hanyalah formalitas saja. Selamanya kamu tetap anak Mami," ujar Gita sambil membelai kepala gadis kecil itu.
Selesai sidang penetapan anak asuh itu, Surya dan keluarga serta Gita keluar dari ruangan. Keputusan pengadilan melegakan semuanya. Perjuangan yang dilakukan berbulan-bulan untuk mendapat hak asuh resmi dan diakui negara selesai sudah.
Di halaman kantor pengadilan, beberapa wartawan tampak berkerumun. Mereka ingin tahu siapa orang tua angkat Lissa. Berita itu pasti akan menarik dan harus diketahui oleh para fans Lissa.
"Mbak Gita, tolong jelaskan, siapa profil orang tua angkat Lissa ini."
"Mbak Gita, sejak kapan proses adopsi ini?"
"Lissa, bagaimana rasanya memiliki orang tua yang baru?"
"Lissa, apa setelah ini kamu masih akan aktif di sosial media?"
Bermacam pertanyaan dilontarkan oleh para pencari berita itu.
Gita meminta persetujuan pada Surya untuk menjawabnya atau tidak.
Surya memberikan isyarat pada Gita untuk meladeni pertanyaan para wartawan itu. Tak ada lagi yang di sembunyikannya. Biarkan seluruh masyarakat Indonesia tahu kalau Lissa kini adalah putri angkatnya yang sah.
Gita kemudian menjawab pertanyaan para wartawan dengan lancar. Surya juga memberikan pernyatannya. Berulangkali kamera menyorot wajah dan gerakan mereka dalam bermacam pose.
Setelah dirasa cukup, Surya mengajak keluarganya segera berlalu dari kerumunan itu.
"Huff, akhirnya selesai juga," ucap Surya.
"Iya, babak baru keluarga kita. Selamat datang anak bungsu, Ibu," ujar Sarah sambil memeluk Lissa.
Lissa tertawa riang di tengah keluarga itu.
Bella yang ada disampingnya pura-pura manyun. "Aku batal jadi anak bungsu dong!" keluhnya.
Surya dan Sarah tertawa.
"Itu artinya Kak Bella cukup baik untuk jadi seorang Kakak, makanya dikasih adik yang selucu ini," jawab Sarah.
"Aku tetap anak sulung." Zacky yang kebetulan sedang pulang ke Jakarta ikut menimpali.
"Itulah enaknya anak pertama, sekali pertama tetap jadi yang pertama, tapi kalau anak bungsu bisa berubah status, kalau dia punya adik lagi," kelakar Surya.
Zacky tertawa. "Dan itu terjadi pada si bungsu Bella. Posisinya sudah digeser oleh Lissa."
Bella masih pura-pura cemberut. Ia menatap cemburu pada Lissa.
Lissa justru tertawa melihat sikap Bella. "Kita bisa gantian jadi anak bungsunya, aku tak keberatan jadi anak nomer dua," ucap Lissa.
Orang-orang yang mendengarnya tertawa dibuatnya. "Ide yang aneh," kata Bella.
"Benar, aku dulu anak nomer dua. Sekarang jadi anak nomer tiga. Jadi tak apa-apa kalau aku kembali jadi nomer dua," jelas Lissa.
"Iya, iya, tapi sudahlah. Aku senang kok jadi nomer dua," ucap Bella pada akhirnya. "Aku hanya bercanda saja, Lissa!"
Mereka sekeluarga sedang berkumpul di ruang keluarga sepulangnya mereka dari kantor pengadilan. Suasana hangat meliputi rumah keluarga itu.
"Ngomong-ngomong untuk merayakan datangnya Lissa ke rumah ini, kita mau apa nih?" tanya Bella.
"Pesta ulang tahun?" tanya Surya bersemangat.
"Ulang tahun Lissa masih lama. Masih 5 bulan lagi. Kenapa tidak kita tanya saja Lissa maunya apa?" usul Sarah.
"Oke. Lissa pengin apa untuk merayakannya?" tanya Surya pada bocah kecil itu.
Lissa berpikir sejenak. Ia terdiam dan memutar-mutar bola matanya.
"Aku ingin jalan-jalan ke kota Malang," ungkapnya.
"Oh, ide yang bagus. Kita sekeluarga bisa pergi ke sana. Sekalian mengantarkan Kak Zacky kembali ke kampusnya. Aku ikut!" ucap Bella antusias.
"Bagaimana, Yah?" tanya Sarah pada Surya.
Surya menatap mereka satu-satu. Sebenarnya ia agak enggan kalau harus pergi ke kota itu beramai-ramai, tapi semuanya tampak bersemangat.
"Oke, kita ke jalan-jalan ke Malang," ucapnya. "Kapan Zacky berencana berangkat?" tanya Surya pada Zacky.
"Weekend ini, Yah. Tiga hari lagi," jawab Zacky.
"Oke, semuanya siap-siap, Tiga hari lagi kita jalan ke Malang." Surya memutuskan mereka sekeluarga akan pergi ke Kota Malang.
"Asyiik … horeee, kita jalan-jalan, kita jalan-jalan!" Bella menari sambil meenggendong Lissa. Anak kecil itu tertawa kegirangan.
Benar-benar babak baru dalam hidup Lissa. Rumah yang nyaman. Keluarga yang hangat dan bahagia.
***
"Hallo, Rachmat!" sapa Surya pada Rachmat di ujung telepon. Ia langsung menelepon pemuda itu setelah keluarganya memutuskan akan bepergian ke kota Malang.
"Ya, Pak Surya. Ada apa?" tanyanya.
"Mat, tolong kamu kirimkan nomer ponsel Abah Rudi. Kamu masih simpan 'kan?" tanyanya.
"Masih, Pak. Nanti saya kirimkan. Ngomong-ngomong ada apa ya, Pak?" tanya Rachmat curiga.
"Oh tidak ada apa-apa, saya hanya ingin menyimpannya saja," ucap Surya.
"Oke, Pak. Saya kira Pak Surya mau menemui Abah lagi. Kalau mau ke sana lagi, boleh ajak saya lagi, Pak!" harap Rachmat.
"Belum, saya belum akan ke sana dalam waktu dekat ini," jawab Surya.
"Oh, kirain. Pokoknya kalau Bapak ke sana, kabari saya ya. Saya mau ikut. Boleh ya, Pak!" Rachmat berharap diajak Surya ke tempat Abah Rudi lagi.
"Ngapain kamu ngotot sekali ingin ke sana?" tanya Surya curiga.
Terdengar tawa Rachmat di ujung telepon.
"Rahasia, Pak!" ujarnya.
"Ah, nggak mau saya kalau main rahasia-rahasaian. Nggak akan saya ajak," ucap Surya.
"Eh, jangan gitu, Pak. Saya Cuma ingin tanya soal jodoh saya ke Abah. Hehehe," jawab Rachmat malu-malu.
"Oalah, soal jodoh. Memangnya kamu nggak punya pacar?" tanya Surya iseng.
"Nggak ada yang mau sama saya, Pak," jawab Rachmat jujur. Ada nada malu dalam suaranya.
"Masa sih? Kamu maish muda, ganteng, kurang apalagi?" tanya Surya memuji.
"Kurang modalnya, Pak. Hahaha!" Rachmat kembali tertawa.
"Oh, kalau karena itu sepertinya memang kamu perlu konsultasi dengan Abah. Hehehe," Surya menertawakan Rachmat.
"Makanya, saya mau ikut kalau ke sana lagi." Rachmat berkata penuh harap.
"iya, iya. Nanti saya kabari kalau ada keperluan ke sana lagi. Tapi saya juga ada satu kabar buat kamu, apa mau dengar?" tawar Surya.
"Kabar apa? Mau, Pak!" jawab Rachmat.
"Di kantor saya lagi ada lowongan untuk security kantor, apa kamu berminat mendaftar?" tanya Surya. Memang kantornya sedang mencari beberapa orang tenaga keamanan. Surya berpikir pekerjaan itu cocok untuk Rachmat. Di sisi lain ia juga percaya Rachmat bisa dipercaya.
"Serius, Pak Surya?? Mau saya, mau, Pak!" jawab Rachmat dengan senang. "Tapi saya harus bilang dulu ke Mbak Gita atau gimana ini?" tanyanya.
"Nanti saya yang bilang ke Gita, tapi kamu jangan mundur dulu dari kerjaan yang sekarang. Kalau sudah fix masuk kerja tempat saya, kamu carikan ganti dulu untuk penjaga rumah Sayap Kasih. Bagaimana?" tanya Surya.
"Siap, Boss!" jawab Rachmat penuh semangat.
"Oke, itu dulu ya, Mat. Saya tutup teleponnya," ujar Surya.
"Ya, Pak. Terima kasih."
Telepon ditutup. Rachmat tersenyum-senyum gembira. Pak Surya menawarkan kerjaan baru yang lebih bagus untuknya. Kerja di gendung yang mentereng dengan gaji besar, siapa yang tak mau?
"Luar biasa sekali si Abah, baru saya sebut namanya, saya langsung dapat pekerjaan baru! Ah, jadi makin percaya diri aku ini," gumam Rachmat. Jalannya kini ia buat lebih tegap dan tangkas.