webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · Politique et sciences sociales
Pas assez d’évaluations
31 Chs

Lissa di Kehidupan Sebelumnya

"Pa-paaa …" teriakan Lissa dari dalam rumah yang menyongsong kedatangannya membuat Surya kaget sekaligus lega bukan main. Anak itu baik-baik saja. Tak tampak ada bekas penganiayaan atau penyiksaan pada dirinya.

Surya berlari ke arah Lissa dan cepat menggendongnya. Ia memeluk erat tubuh anak kecil itu.

"Lissa, kamu baik-baik saja, sayang? Mereka tak jahat padamu bukan?" tanya Surya beruntun. Ia mencium kening Lisaa berulang kali.

"Aku baik-baik saja, kenapa Papa baru datang sekarang? Aku sudah menunggu dari sore tadi," protes Lissa pada Surya.

"Tadi Papa agak kebingungan mencari jalan ke sini," jawab Surya. "Papa belum pernah ke sini sebelumnya," imbuhnya.

"Oh, sudah datang rupanya," sebuah suara yang berat mengagetkan Surya. Ia menoleh. Di sana terlihat Rudi, sosok yang dipanggil Abah oleh orang-orang.

"Kamu!!" teriak Surya menahan amarahnya. Ia mendekap erat Lissa, khawatir anak itu direbut kembali oleh Rudi dan anak buahnya.

Rudi mengangkat tangannya. "Sabar, Pak Surya. Sabar … turunkan dulu emosinya, saya akan jelaskan," katanya. "Ayo masuk ke dalam rumah saja," ajaknya.

"Ayo, Pa. Masuk saja. Apa Papah lupa siapa dia?" celoteh Lissa pada Surya. Lelaki itu menatap balik Lissa. "Siapa, sayang? Apa kau mengenalnya?" tanya Surya.

"Dia yang suka mengantar kita kemana-mana, dengan kereta kuda. Papa lupa namanya?" tanya Lissa lagi. Anak itu malah bermain tebak-tebakn lagi.

Surya menggeleng. Kepalanya terasa pusing. Ia tak ingat siapaun dan apapun jika tak menggabungkan potongan-potongan misteri yang ia temukan.

"Cak Karto, Pa. Dialah orangnya. Sais kereta kuda Oppa, juga Papa, juga Lissa … kita semuanya selalu pergi dengan kereta kuda yang dibawa oleh dia," jelas Lissa dengan lancar.

"Kamu … kamu bisa mengingat semuanya?" tanya Surya makin heran.

Si Rambut Jerami mengangguk. "Iya, aku bisa mengingat semuanya. Tapi aku jadi pusing kalau ingat itu," ujar Lissa sambil memegangi kepalanya.

"Sudah-sudah, makanya tak usah diingat-ingat ya!" ucap Surya sambil membelai kepala Lissa.

Rudi tersenyum melihat tingkah Lissa yang digendong Surya. Setitik air mata haru jatuh di sudut matanya. Ia cepat mengusapnya. Lelaki itu tak mau terlihat menangis di depan banyak orang. "Ayo, masuk saja, Pak Surya," suruhnya. Kali ini suaranya sudah lebih ramah.

Surya mengikuti orang-orang itu masuk ke beranda rumah yang sudah dipersiapkan. Tikar lebar sudah digelar di sana.

Surya mengambil tempat duduk tak jauh dari pintu keluar. Ia tetap bersikap hati-hati karena belum percaya betul dengan Rudi. Rachmat mengikutinya, duduk di samping Lissa. Anak itu diapit oleh dua lelaki dewasa.

Dua orang lelaki remaja keluar dari ruangan dalam rumah, mereka membawa minuman dan makanan untuk disuguhkan pada tamu-tamunya. Mereka mempersilahkan Surya untuk minum. Tapi Surya tak bergeming. Ia tetap dalam posisi waspada. Meskipun ia seharian ini belum makan dan hanya meminum sebotol air mineral, ia bertahan untuk tetap hati-hati berada di sarang 'musuh'.

Tangan Rachmat hampir menjangkau gelas yang disodorkan padanya. Pandangam mata Surya memperingatkannya agar tak meneruskan niatnya untuk meminumnya. Bagaimana jika ternyata mereka menaburkan racun dalam makanan dan minuman itu? Kita tak pernah tahu. Kira-kira begitu arti tatapan mata Surya pada Rachmat.

Pemuda itu mengurungkan niatnya dan menarik tangannya kembali.

"Baik, sekarang coba jelaskan apa maksud Anda menculik anak ini dan membawanya jauh ke sini?" tanya Surya langsung pada persoalan utama. "Kami tak mau berlama-lama di sini," ucap Surya tegas.

Rudi mematikan putung rokok yang sedang dihisapnya. Ia mengambil posisi duduk lebih tenang dan berhadapan langsung dengan Surya.

"Apa Pak Surya sering kejadian mimpi-mimpi buruk?" tanyanya.

Surya tak hendak menjawab. Ia tak ingin persoalan itu merambat kemana-mana. "Apa urusannya kejadian ini dengan mimpi saya?" tanyanya.

"Mohon maaf, jawablah dulu. Supaya saya bisa membantu Pak Surya memahami kejadian demi kejadian ini," ucap Abah masih dengan tenang.

"Ya, saya memang sering mimpi buruk. Dari dulu," kata Surya.

"Apakah mimpi tentang pembantaian? Kebakaran? Pembunuhan?" tanya Abah lagi.

"Bagaimana kamu tahu? Atau kau asal menebak-nebak saja?" Surya mulai jengkel.

Abah menggeleng, ia masih sabar menghadapi Surya yang masih belum bisa melihat gambaran peristiwa secara utuh.

"Baiklah kalau begitu, biarkan saya bercerita sedikit. Sekitar 65 tahun yang lalu, kita pernah hidup bersama di daerah Malang. Majikan saya seorang tuan tanah Belanda, bernama Tuan Henrick. Ia memiliki anak laki-laki Bernama Tuan Muda Hansen. Ya, Han-sen." Abah mengeja nama itu dengan lantang.

Saat Abah menyebutkan nama itu, perasaan tak nyaman menyapa Surya. Serasa seluruh tubuhnya menjadi dingin dan sakit.

"Nama itu … saya tak asing, tapi hati saya sakit setiap mendengarnya," ucap Surya. Ia memegang ulu hatinya yang mulai terasa panas.

"Itu adalah nama Pak Surya dulu. Anda adalah anak lelaki tuan tanah itu. Anak kesayangan, satu-satunya," ungkap Abah.

"Dan Lissa ini siapa?" tanya Surya sambil menoleh pada Lissa.

"Aku anak Papa, kenapa Papa tak percaya padaku?" ucap Lissa sedih, kepalanya menunduk.

"Maafkan, Papa. Aku benar-benar tak ingat semuanya," keluh Surya.

"Iya, anak ini benar. Anda adalah ayah anak itu, anak yang dulu Bernama Hailey, sekarang namanya jadi Lissa," jelas Abah pelan-pelan.

Surya memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan.

"Lalu, kenapa kami berpisah? Kenapa sekarang kami hidup lagi dan merasakan semua kesakitan yang tak kami mengerti ini?" tanya Surya beruntun.

Abah menarik nafas panjang dan memejamkan matanya. Ia juga larut dalam kesakitan yang dirasakan Surya atau Hansen yang ia kenal sebagai tuan mudanya itu.

"Tuan Henrick dan seluruh anggota keluarga tewas dibantai oleh tentara pribumi. Saat itu siasat bumi hangus untuk mempertahankan kemerdekaan. Rumah kalian juga dibakar. Tanah perkebunan dan harta keluarga kalian jadi bahan jarahan. Semuanya, yang dibangun dengan susah payah oleh orang tua dan kakek anda, ludes. Musnah dalam sekejap," papar Abah. Pandangan matanya menerawang ke depan, seperti sedang melihat tayangan film tapi hanya dia sendiri yang melihatnya.

Air mata Surya tak terasa meleleh. Kesakitan itu terasa begitu nyata di tubuhnya. Ia merasakan bagaimana saat tebasan pedang membelah dadanya, juga seperti terlintas dalam ingatannya orang-orang yang tewas, bersimbah darah, dan terkurung api. Sangat menyakitkan …

Isakan kecil terdengar dari mulut lelaki setengah baya itu. Ia tak malu lagi menangis. Lissa yang ada disampingnya memeluknya erat. Kedua orang itu saling berpelukan dan menangis bersama.

"Papa … huhuuu," isak Lissa.

Rachmat yang belum paham merasa kasihan sekaligus emosi.

"Hei, Abah Rudi. Kenapa jadi begini? Apakah yang kau katakana benar? Kau buat mereka jadi bersedih dan menangis begini? Ayo tanggung jawab!" ujar Rachmat dengan marah.

Abah bangkit dari duduknya dan mengambilkan segelas air putih. Sebelum diberikan pada Surya, lelaki itu seperti membaca doa atau merapal mantra terlebih dahulu.

"Minumlah air putih ini, Tuan Muda Hansen. Nanti rasa sakit itu akan sembuh dan menghilang sendiri." Abah Rudi memberikan gelas air putih itu pada Surya.

Surya yang masih berlinang air mata menerimanya. Ia sudah melupakan semua ketakutannya akan makanan atau minuman yang diracun. Rasa sakit yang teramat yang dirasakannya mendorongnya untuk meminum air putih itu tanpa banyak bertanya lagi.

Surya meneguknya perlahan. Lissa yang terus bersandar dan memegangi tangannya. "Minum, Pa. Tidak apa-apa, rasanya dingin," ujarnya.

Seringkali Surya bertanya-tanya, kenapa anak sekecil Lissa memiliki pemikiran dan pemilihan kata-kata yang begitu lancar layaknya seorang anak yang sudah jauh lebih besar. Jika apa yang dikatakan oleh Abah Rudi benar, tentulah pertanyaan itu bisa dijawab kini.

Segelas air yang diminum Surya sudah habis. Perlahan ia merasakan aliran yang segar dan menenangkan menjalari seluruh syaraf tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya berangsur membaik, rasa sakit dan pusing yang tadi dirasakannya pun berangsur menghilang. Benar-benar air yang ajaib.

"Air apa yang tadi kau berikan padaku?" tanya Surya pada Abah Rudi.

"Hanya air biasa," kata lelaki tua itu dengan datar. "Bagaimana rasanya, Tuan? Sudah lebih baik bukan?" tanyanya.

Mau tak mau Surya memang harus mengakui bahwa air itu mujarab. Iya merasakan efeknya langsung. "Terima kasih. Saya sudah baikan sekarang," ujarnya.

"Ya, sama-sama. Saya yang minta maaf karena sudah membuat keonaran di tempat Tuan Muda," ucap Abah Rudi lagi.

"Jangan panggil saya Tuan Muda, kini nama saya Surya," elak Surya mengingatkan Abah Rudi.

"Oh iya. Maafkan saya Pak Surya, saya masih terkenang saja dengan masa lalu saat masih jadi kusir kereta di rumah besar itu," jawabnya sambil tersenyum kecil.

"Apakah dulu saya baik pada Abah?" tanya Surya. Ia kini mulai melunak dan mencoba melihat semuanya dari gambar yang lebih utuh.

"Bukan hanya baik, tapi baik sekali. Karena itulah di kehidupan yang sekarang, saya yang punya kewajiban untuk menjaga Pak Surya dan keluarga, sebagai balas budi saya," ucap Abah dengan sungguh-sungguh.

Surya termenung. Ia tampak meresapi setiap kata yang dilontarkan Abah. Jika semua yang dikatakannya benar, maka itu adalah hal bagus, jika salah pun tetap baik, karena kini terbukti ia mulai merasakan jiwanya tenang, tidak lagi menderita karena alasan yang tak jelas. Ia sudah tahu penyebabnya.

Surya menoleh pada Lissa. "Lalu anak ini, anak saya ini … kenapa dia harus Abah culik? Jika benar hanya ingin menyembuhkannya?" tanya Surya. Kali ini nada suaranya ingin mendapatkan jawaban.

"Lissa, dulu namanya Hailey. Apa Pak Surya sudah pernah mendengarnya?" Abah balik bertanya.

Surya menganggukkan kepala. "Ya, beberapa kali Leia mengatakan dulu namanya Hailey. Akhir-akhir ini pun saya baru sadar, Hailey itu punya arti tumpukan jerami, pantas saja dia senang dengan nama itu, malah membuat sendiri julukan namanya sebagai 'rambut jerami'. Anak yang pintar," puji Surya sambil mengusap-usap kepala Lissa.

"Benar, ia anak perempuan Tuan Hansen. Anak yang sangat disayanginya. Anak itu juga ikut tewas dalam peristiwa tragedy itu. Mereka meninggal karena kehabisan udara akibat rumah yang dibakar," jelas Abah Rudi.

Surya termenung sebentar. "Pantas saja ia menderita sakit paru-paru, sekarang pun masih masa penyembuhan," ujar Surya.

Abah Rudi mengangguk. "Iya, itu akumulasi kesedihan dia, jadilah mudah terserang sakit."

"Apakah kita bisa menyembuhkannya?" tanya Surya berharap. "Aku mau dia sembuh dan jadi anak yang ceria lagi, tidak sakit-sakitan dan tidak ketakutan," ungkap Surya.

"Itulah alasan saya membawanya ke sini. Saya akan berusaha mengobati dia," jawab Abah.

"Bagaimana caranya?" Surya bertanya lagi.