"Kau terlalu memanjakan anakmu. Semakin hari dia semakin mirip dengan ayahnya. Kapan kalian akan bercerai? Akan semakin gawat kalau Joy malah meniru ayahnya."
"Aku tidak mengerti.." Helen bergumam seolah tidak mendengar nasihat kakaknya. "Kenapa Joy berani melakukannya? Anak itu tidak mungkin melakukannya."
"Helen, dia bukanlah anak kecil lagi. Sekarang dia sudah berani memberontak pada yang lebih tua. Lebih baik kau menghajarnya biar anak itu jera."
"JADI KAU MENAMPARNYA?!"
Baik Helen maupun Febe, keduanya terkejut dengan suara amarah yang menggelegar di depan pintu.
"Berani sekali kau. Apa hakmu menghajar putriku, huh?"
Helen tampak bingung dengan ekspresi suaminya. Dia tidak pernah melihat suaminya semarah ini sebelumnya. Bahkan saat mereka bertengkarpun, suaminya seringkali diam di akhir pertengkaran mereka.
Ditambah lagi, apa maksud ucapan suaminya yang mengatakan kakaknya menampar putrinya? Yang dia tahu, Joy telah kurang ajar pada kakaknya, apakah mungkin Joy berani mengadu pada Gardnerr dengan kebohongan?
Perasaannya yang semula bingung kini tersulut emosi besar.
"Gardnerr, jangan menuduh sembarangan. Aku lihat sendiri dengan mataku, Joy melempar cangkir kearah Ce Febe. Dia bahkan tidak mau minta maaf, malah bersikap tidak sopan."
"Lalu bagaimana kau menjelaskan bekas luka di pipinya?"
"Luka apa? Joy tidak terluka. Pasti kena pecahan cangkir saat dia melempar."
"Jelas-jelas pipinya memerah dan agak bengkak. Pipinya tergores bukan karena pecahan cangkir, tapi karena cincin darimu!" Gardnerr menunjuk jari telunjuknya ke arah Febe dan menatapnya dengan tuduhan yang tajam.
Febe menelan ludah sambil terus mencari cara untuk keluar dari pertengkaran mereka.
"Jangan sangkut pautkan hal ini dengannya. Kita sedang membicarakan sikap Joy..."
"Aku sedang membicarakan luka Joy. Aku tidak akan membiarkan siapapun, termasuk KAU... melukai putriku!"
Mendengar ini wajah Helen semakin memanas, "JOY ADALAH PUTRIKU JUGA!! Hentikan omong kosongmu! Karena dia terlalu sering bersamamu, sekarang dia bukan Joy yang dulu lagi."
"Memangnya kau tahu seperti apa Joy yang dulu?"
"Setidaknya aku lebih tahu daripada kau."
"O, ya? Kau bilang kau tahu semua apa yang dibutuhkannya. Kalau begitu coba katakan, apa kau tahu makanan kesukaannya? Apakah kau tahu dia mengalami kesulitan dalam pelajarannya? Apa kau tahu dia selalu memikirkan keuangan keluarga kita? Apa kau tahu dia takut akan gelap? Dan apakah kau tahu tiap malam Joy mengalami mimpi buruk dan terus menangis di kamarnya?"
Sejak Gardnerr bertanya apakah dia tahu makanan kesukaannya, Helen sudah siap menjawabnya. Tentu saja dia tahu, Joy adalah putrinya. Dia tahu makanan apa saja yang disukainya dan yang tidak.
Namun saat Gardnerr meneruskan tantangannya tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab, Helen berhenti.
Apakah dia tahu putrinya mengalami kesulitan dalam pelajaran? Tidak. Dia tahu putrinya sangat pintar, jadi tidak mungkin Joy mengalami kesulitan dalam pelajarannya.
Apakah dia tahu Joy memikirkan keuangan keluarga ini? Juga tidak. Untuk apa anak remaja usia enam belas tahun memikirkan keuangan keluarga? Putrinya hanya perlu belajar di sekolahnya, bersenang-senang dengan teman-teman seusianya dan dia akan menyediakan semua biaya berapapun yang diperlukan putrinya.
Apakah dia tahu putrinya takut akan gelap? Tidak. Dia yakin putrinya tidak takut gelap karena dia dan Gardnerr selalu ada disisi putrinya. Joy tidak memiliki alasan untuk takut akan gelap... Tapi...
Apa itu benar? Apa benar dia selalu ada disisi putrinya? Kenapa terdengar aneh dipikirannya? Dia yakin dia selalu siap melindungi dan memberi kenyamanan untuk Joy, tapi disaat bersamaan.. Dia juga merasa tidak yakin apakah semua yang dilakukannya selama ini termasuk melindungi Joy atau tidak.
Tadinya, dia bisa membantah semua tantangan suaminya, namun saat mendengar peryataan terakhir, jantungnya terasa berhenti.
Joy mengalami mimpi buruk tiap malam? Menangis semalaman di kamarnya? Mengapa? Dia ingin membuat putrinya bahagia, tapi mengapa putrinya malah menangis?
"Kau sama sekali tidak tahu kan? Kau tidak pernah meluangkan waktumu untuknya, jadi bagaimana mungkin kau tahu." untuk sesaat kesunyian mencekam diantara mereka berdua. "Aku yakin kau juga sama sekali tidak menyadari bekas telapak tangan pada pipi kirinya."
Helen sudah tidak tahan mendengar itu semua. Dia ingin segera mencari kebenaran dari kakaknya.
"Apa benar kau menam..." namun saat dia menoleh ke arah kakaknya, dia sudah tidak ada disana. Kakaknya telah pergi bahkan tanpa pamit terlebih dahulu.
"Dari awal kita sudah sepakat. Dalam menangani keluargaku kita akan mengikuti caraku, sedangkan keluargamu, kita ikuti caramu. Aku sama sekali tidak masalah kau menjelek-jelekkanku didepan keluargamu. Mereka mau menghinaku, memandang rendahku, aku tidak peduli. Bahkan saat mereka memanfaatkanmu demi kepentingan egois mereka, aku berusaha tidak ikut campur, selama kau tidak terluka. Tapi, aku tidak akan berdiam diri jika mereka menyentuh Joy."
"..."
"Cerai? Bukankah kau ingin cerai? Baik, besok aku akan pergi mengurus perceraian kita. Dan aku akan membawa Joy bersamaku."
Keadaan keluarga Joy semakin buruk dan akhirnya kata cerai terucap kembali. Hanya saja Joy sama sekali tidak mengetahui kondisi keluarganya. Kalaupun tahu, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Saat ini Joy duduk termenung di bangku panjang di taman yang pernah ia kunjungi bersama ayahnya.
Dia melihat begitu banyak anak-anak yang tertawa bahagia bersama kedua orangtuanya disana.
Dia merasa iri pada mereka. Seandainya dia juga memiliki kedua orangtua yang harmonis. Sayangnya.. dia tidak bisa memilih siapa yang menjadi orangtuanya.
Semenjak dia melarikan diri ke taman, dadanya terasa sesak. Bahkan rasa sakit didadanya melebihi sakit dipipinya. Anehnya, dia tidak menangis sekali.
Semakin lama dia memandang lurus kedepan, penglihatannya semakin menggelap.
'Sudah saatnya kembali'
Kembali? Kembali kemana?
'Disini bukan masamu.'
Apakah mungkin dia diharuskan kembali ke masanya yang sebenarnya? Dimana dia harus menghadapi kematian ibunya, dan dia yang akan segera menyusul ibunya?
'Tidak. Masa depanmu telah berubah. Kau akan bertemu dengan ibumu.'
Benarkah? Tapi dia tidak tahu, apakah dia akan bertemu dengan ibunya yang kembali hidup atau dia akan bertemu ibunya disaat dia sudah mati?
Pilihan yang manapun dia sudah tidak peduli. Dia merasa sudah tidak sanggup berada ditengah-tengah hubungan kedua orangtuanya. Karena itu dia membiarkan kegelapan secara perlahan menutupi penglihatannya.
Namun disaat titik terang terakhir akan menghilang, dia merasakan sentuhan lembut pada pipinya.
Saat itulah penglihatannya kembali. Dia bisa melihat banyak anak-anak yang sedang bermain disana.
Joy mengangkat kepalanya untuk melihat pemilik tangan yang menyentuh pipinya.
Begitu melihat wajah orang itu, hatinya bergetar membuat matanya pedih. Ketika orang itu menanyakan keadaannya, dia menangis diikuti air mata yang mengalir dengan deras.
Joy memeluk pinggang ayahnya yang berdiri tegap didepannya. Dia menutup wajahnya didepan perut ayahnya dan terus menangis. Tangisannya semakin keras saat merasakan tepukan lembut nan menenangkan dipunggungnya.
Tidak peduli berapa lama Joy menangis, ayahnya senantiasa menemaninya disana sambil berusaha menenangkannya. Beberapa menit kemudian, Joy mulai merasa tenang. Setelah dia meluapkan semua kepedihan hatinya dalam bentuk tangisan, kini dadanya terasa bebas.
Dia tidak merasa sesak lagi walau masih ada beberapa sisa isakan tangis yang keluar dari mulut Joy.
Setelah ini dia akan pulang dan menemui ibunya. Dia akan mencoba menjelaskan yang sebenarnya pada ibunya. Dia tidak ingin hubungannya dengan ibunya terpisah oleh jurang salah paham.
Sayangnya, sebelum Joy sempat memberitahukan ayahnya mengenai keputusannya, beliau mengatakan sesuatu yang membuat Joy kembali jatuh ke lubang hitam tak berdasar.
"Papa akan menceraikan mama besok. Papa harap Joy bisa ikut dengan papa."
"Ti... kenapa?" suara Joy nyaris tak terdengar.
"Papa sudah tidak tahan lagi dengan sikap kekerasan kepala mamamu. Sebaiknya kita berpisah darinya."
Ketika mendengar hal ini, pandangannya kembali menjadi gelap. Sekali lagi dia berada di tengah kegelapan tanpa ada cahaya apapun.
Dia terus bertanya ribuan 'Kenapa' di pikirannya. Bukankah ayahnya sangat mengasihi ibunya? Bukankah beliau bilang dia tetap memilih ibunya untuk menjadi istrinya? Bukankah selama dia tidak mengucapkan kata 'cerai', maka ayahnya akan terus bertahan?
Lalu kenapa? Kenapa ayahnya sendiri yang menggugat cerai? Kenapa ayahnya tega melakukan hal ini padanya? Kenapa?
Kepala Joy terasa berat dan tubuhnya terjatuh kelantai dengan lemas. Dia ingat dia pernah merasakan kondisi tubuhnya sama seperti saat ini.
Waktu itu dia belum makan selama tiga hari dan hanya berbaring di pinggiran jalan sambil menatap kedepan. Seperti orang buta yang menatap sesuatu namun tidak bisa melihat. Begitulah kondisi Joy waktu itu... sama seperti sekarang. Bedanya, meskipun dia bisa melihat, dia tidak akan bisa melihat. Karena hanya kegelapan yang ada disana.
'Aku sudah capek kerja, memang kau mau apa huh?'
'Maaf sayang, mama tidak bisa masak hari ini.'
'Mama tidak mau tahu, cepat minta maaf pada tantemu.'
'Papa akan menceraikan mama besok.'
'Papa sudah tidak tahan lagi... Sebaiknya kita berpisah darinya,'
Kalimat terakhir ayahnya yang menghujamnya paling keras. Dia menangis dengan keras, sendirian disana tanpa seorangpun yang menemaninya.
Pada akhirnya, meskipun dia berusaha mengubah keadaan, hasilnya tetap sama. Orangtuanya bercerai, kemudian dia akan ditinggalkan...
Di tengah-tengah tangisannya sempat terbesit dipikirannya; seandainya dia tidak kembali ke masa lalunya; seandainya dia tetap ada disana.. didalam arus sungai yang menenggelamkannya.
Seandainya dia langsung mati dibawah sana, maka dia tidak harus mengalami kepahitan hidup ini sebanyak dua kali.
Tidak. Yang benar adalah...
Seandainya.. dia tidak lahir di dunia ini.