webnovel

RENCANA UNTUK PERGI

Suryo menatap tak mengerti. Ada banyak tanya yang kini berlarian di dalam benaknya, menari-nari menuntut jawab. Sementara Yanti, wanita itu masih angkuh berdiri di hadapan suaminya. Malam pertama yang harusnya dilewati dengan manis seperti kebanyakan pasangan, detik itu harus dilalui Suryo dengan bimbang. 'Apa aku salah membuat keputusan?'

"Kalau kamu begitu ingin aku bahagia, maka pergilah, Mas. Tinggalkan aku sendiri." Yanti berjalan ke arah meja di sudut kamar, lalu menarik kursi di bawah meja dan duduk di kursi kayu tua itu.

Suryo duduk. Menarik tubuhnya untuk terjaga secara nyata. "Kenapa, Yan? Bagaimana dengan nasib jabang bayimu? Bagaimana dengan Bapak, Yan?"

Yanti mendengkus kesal. Bicara dengan Suryo yang keras kepala itu hanya akan menguras emosi. "Mas, dari aku kecil, kamu sudah kuanggap seperti Kang Masku sendiri. Kita berbagi banyak hal sebagai saudara meski ndak ada katan darah. Terlebih aku juga membencimu karena Bapak sama Ibuk selalu membanggakanmu, membanding-bandingkan kita berdua. Aku tidak akan bisa menerimamu sebagai suami."

Suryo mengusap wajahnya yang memanas. Entah mengapa penuturan lembut Yanti terasa begitu tajam menusuk hati. Namun, Suryo sudah berjanji untuk bertahan. Bertekad dalam hati untuk membahagiakan Ratman. "Sudahlah, Yan. Aku juga ndak pernah berharap menjalani kehidupan seperti ini. Siapa yang mengira kalau jodohku ternyata kamu. Bocah pethakilan yang hobinya manjat pohon jambu."

Yanti meradang. Ditambah gelak tawa Suryo terdengar penuh kemenangan setelah berhasil menyulut murka Yanti. Lihatlah, pria itu justru ringan saja kembali berbaring di atas dipan. Seolah-olah tidak mengatakan hal menyakitkan barusan.

***

Suryo bangun pagi-pagi sekali, setelah menikmati segelas teh ginastel buatan ibu mertua dan singkong kukus. Istimewa sekali. Sementara Yanti masih di dalam kamar, tidur lelap memeluk guling kesayangan.

"Yanti ndak mbuk bangunkan, Le?" Ratman duduk di sebelah Suryo. Menyeruput teh dengan hati berbunga.

Suryo menelan singkong kukusnya, susah payah karena tekstur makanan itu memang sulit ditelan. Lalu meminum teh yang terhidang. "Ngapunten, pak. Kasihan Dik , Pak. Kasihan Dik Yanti. Mungkin bawaan bayi. Kata orang-orang, kalau perempuan lagi hamil memang bawaannya jadi malas. Badan ndak enak."

Istri Suratman terkekeh. Meletakkan makanan lain di atas meja sederhana di dapur rumah tuanya. "Yanti itu males memang sudah dasarnya males, Le. Pas masih sekolah saja susah dibangunkan. Mohon dimaklumi, ya, Le. Ini salah ibuk karena gagal mendidik anak perempuan satu-satunya."

Suryo mengangguk. Kembali mencomot sepotong singkong di atas bakul. "Njih, Buk. Ndak apa-apa. Pelan-pelan, Insha Allah Dik Yanti bisa jadi istri yang baik."

Suryo menertawakan diri sendiri. Yakin betul jika kalimatnya barusan tak sejalan dengan hati. Lelaki itu hanya sedang menghibur diri. Menghibur kedua orang tua yang teramat tak layak disakiti.

Tak lama kemudian Yanti datang bergabung dengan ketiganya. Masih dengan wajah kuyu, iler yang belum tersapu banyu. Juga mata yang masih lengkap dengan tahi kothoknya. Ibunya bahkan tak tahu lagi bagaimana menyembunyikan wajah. Malu melihat perangai Yanti yang tak punya tatakrama.

"Nduk, mbuk ya kamu itu mandi dulu, cuci muka, biar pantes dilihat suamimu." Perempuan tua itu mengeluh kesal. Hatinya begitu teriris menyaksikan kegagalannya yang terpampang nyata di hadapan.

Yanti menguap lebar, mengeluarkan suara khas orang yang masih enggan beranjak dari ranjang. "Sudah, Buk. Masih pagi ini, lho. Ndak malu apa sama ayam, pagi-pagi udah nyari ribut."

Yanti tak lagi menghiraukan tatapan kedua orang tuanya. Tak pula melirik barang sedikit pun ke arah Suryo yang justru tersenyum melihat tingkahnya. Perempuan itu sibuk mengunyah singkong kukus. Menyeruput teh panas milik bapaknya kemudian melenggang pergi ke kamar mandi.

Istri Suratman lagi-lagi hanya bisa menggeleng pasrah kemudian melanjutkan pekerjaannya menyiapkan makan siang untuk keluarga. Suryo dan Ratman bergegas ke ladang, berlanjut mengurus sapi-sapinya yang terletak di kandang tak jauh dari rumah. Mereka bersemangat menyambut hari. Menikmati kesibukan melelahkan dalam rangka menyambung kehidupan, dengan hati senang tentu saja.

Yanti sudah keluar dari kamar mandi, masuk ke dalam kamar lagi untuk merias wajahnya, bergantin pakaian dan keluar dari kamar tak lama kemudian. Yanti menyambar kunci motor yang tergantung di dinding kayu jati. Bersiap pergi.

"Mau kemana, Nduk?" tanya Ibunya tegas.

Yanti melengos, pura-pura tak melihat. "Bosen, Buk, di rumah. Yanti mau cari angin."

Wanita tua bernama Ngadiyem itu menyala matanya. Tak menyangka akan melihat kelakuan Yanti yang membuat darahnya mendidih pagi-pagi. Wanita itu menarik kasar lengan Yanti. Menyeretnya sekuat tenaga ke kamar mandi. "Ke sini kamu, anak kurang ajar! Bisa-bisanya aku melahirkan anak ndak tahu diri sepertimu, Yan, Yan. Dosa apa yang sudah Mbokmu ini perbuat, sampai-sampai tekonmu koyo ngene?"

Yanti yang sebenarnya masih lemas pasrah saja dengan perlakuan ibunya. Bahkan saat Ngadiyem menyiramkan bergayung-gayung air ke seluruh tubuhnya, Yanti hanya bisa diam menerima. Hendak menangis akan tetapi air matanya terlalu berharga untuk persoalan sereceh itu. Jadilah perempuan muda itu diam membatu menerima hukuman sang ibu. Membuat Ngadiyem semakin murka.

Suryo yang sedang berada di kandang berlari tergopoh-gopoh mendengar keributan yang berasal dari rumah. Pria itu asal meletakkan cangkul untuk kemudian berlari ke kamar mandi.

"Astaghfirullah, Buk, ini kenapa Dik Yanti dimandiin kayak gini?" Suryo mendekap tubuh Yanti yang sudah menggigil kedinginan. Memeluknya erat meski Yanti berusaha menolak.

Ngadiyem melemparkan gayung ke lantai, membuat benda itu pecah. Kemudian duduk berjingkok sembari menangis terisak. "Duh, Gusti, kenapa ndak mati saja aku sewaktu melahirkan anak ini. Ndak kuat aku, Gusti, ndak kuat."

Tak lama kemudian Ratman juga menyusul. Menenangkan istrinya yang menangis histeris macam bocah lima tahun. Kesibukan pagi itu berganti jadwal. Tidak ada lagi acara menunggui burung yang menyantap habis padi di sawah, tak ada lagi acara membersihkan kandang sapi. Kedua lelaki itu sibuk menenangkan pasangan masing-masing.