Ruang tamu rumah sederhana itu tampak berselimut prahara. Berpasang-pasang mata menyorot penuh tanda tanya. Seolah sedang mencari jawaban atas persoalan yang sedang mendera.
"Jadi gimana, Nak Suryo? Apa kamu bersedia menikah dengan Yanti?" Seorang pria tua dengan rambut memutih seluruhnya itu bertanya. Matanya berkaca-kaca, benar-benar mengharap jawaban 'iya' dari mulut pemuda di hadapannya.
Suryo. Pemuda tiga puluh tahunan yang tak berpendidikan. Wajah pas-pasan, rutinitas hariannya sebagai petani dan peternak sapi yang jumlahnya hanya sebiji. Apa yang bisa diharapkan darinya? Pria yang hidup sebatang kara itu tak bisa menjanjikan banyak pada perempuan yang kelak akan menjadi istrinya. Dia malu. Malu pada diri sendiri.
"Tapi Pak De, saya bukan orang kaya. Saya bukan orang berpendidikan seperti pemuda lain di desa ini. kenapa … kenapa Jenengan, aduh gimana ngomongnya, ya?" Suryo menggaruk kepalanya.
"Nak, Yanti gadis cantik, dia lulusan SMA tahun ini. Soal uang kamu ndak usah khawatir, Bapak akan serahkan sawah dan kebun di ujung desa buat kamu." Pria tua itu kembali meminta. Menyudutkan hati Suryo dengan tatapan memelas dan kata-kata. Seolah hanya Suryo satu-satunya manusia yang bisa menelamatkannya.
"Pak, ndak usah paksa Mas Suryo kalau ndak mau. Emangnya Yanti segitu sampahnya sampai Bapak menawarkan Yanti kayak pengemis gini?" Gadis di sudut sofa itu akhirnya bersuara. Tak seperti ayahnya yang menangis, Yanti justru memperlihatkan raut wajah murka.
Suryo terluka. Sungguh menyakitkan melihat raut wajah tua milik pria tua itu yang mendengarkan kemarahan anak perempuannya.
"Dik Yanti jangan marah-marah sama Pak De Surat." Teduh wajah Suryo menyela. Lalu berpaling menatap Suratman, si lelaki tua yang sedari tadi menanti jawabnya.
"Njih Pakdhe, saya mau nikah sama Dik Yanti." Tersenyum Suryo menjawab. Meski tak dipungkiri ada sedikit ragu yang melekat.
Yanti masih bermuka masam. Meski demikian tak dapat dipungkiri ada perasaan lega yang mendadak datang.
***
Pernikahan Suryo dan Yanti dilaksanakan secara sederhana. Hanya dihadiri keluarga besar Yanti dan para tetangga. Yanti tak menangis haru saat ijab qobul selesai diikrarkan. Tak seperti kebanyakan mempelai perempuan. Berbeda dengan Suratman dan istrinya Ngadiyem yang justru menangis tanpa henti.
Suryo yang melihat kejanggalan itu pun tak mengerti, hanya mampu bertanya dalam hati tentang apa yang sebenarnya terjadi. Hingga malam tiba, saat Suryo hendak memejamkan mata di kamar barunya, Suratman mendadak memanggilnya untuk berbicara.
Suryo mengekori langkah sang ayah mertua, kemudian duduk bersila di ruang tamu yang kosong karena perabotnya dipindahkan kemarin untuk acara pernikahannya. Kedua lelaki itu saling diam beberapa saat, sebelum akhirnya Suratman memberanikan diri memulai percakapan.
"Le, dulu saat Bapak dan Ibumu meninggal dalam kebakaran rumah, bapak yang menyelamatkanmu, lari ke dalam kobaran api dan menggendong tubuh kecilmu. Saat itu kamu baru berusia lima atau enam tahun, entahlah, Le." Suratman menyesap kopi pekat yang disajikan sang istri.
"Njih Pak De, matur suwun, saya juga sudah dengar ceritanya dari orang-orang kampung. Makanya saya begitu menghormati Pak de Ratman. Pakdhe sudah seperti bapak saya sendiri." Suryo menunduk takzim.
"Sekarang kan sudah jadi Bapakmu to, Le? Kamu sudah jadi suami Yanti."
Kedua pria itu terkekeh.
"Le, maafkan bapak." Suratman menunduk, menutup wajah dengan telapak tangannya yang keriput.
Suryo bingung dengan tingkah ayah mertuanya. "Pak De kenapa, to? Kok nangis? Pak De, ndak apa-apa, Suryo ikhlas jadi mantu Pakde. Terima kasih karena sudah memperlakukan Suryo dengan baik. Pak De ndak salah. Ndak ada yang perlu Suryo maafkan."
Suratman menggeleng. Air matanya mengalir deras diiringi isakan serak. "Le, maafkan lelaki tua ini. Sungguh ada hal yang belum kamu ketahui tentang pernikahan ini. Maafkan bapakmu ini, Le." Suratman menyeka air matanya, membuang ingus dengan lengan kaus partai yang dia kenakan. Kemudian melanjutkan pengakuan, "Sebenarnya, Yanti sedang hamil."
Tangis tua Suratman kembali pecah. Istrinya yang sedari tadi menguping di balik dinding juga sedang sibuk menyeka air mata. Susah payah menyembunyikan tangisan dengan membekap mulutnya.
Suryo diam. Bergeming di tempatnya. Namun, sebenarnya hatinya tengah diguncang gelombang tak bernama. Kecewa? Mana berhak? Dia berhutang banyak pada lelaki tua di hadapannya. Sejak kecil keluarga Pak de Ratman yang menghidupinya, menjaga tanah peninggalan ibunya, mengajari Suryo bertani dan merawat sapi. Lalu, apakah kini dia berhak memaki?
"Le, kamu boleh marah sama Pak de. Kamu boleh membenci Pak de sejak hari ini. Tapi, Le, Pak de minta, jangan tinggalkan Yanti. Dia sedang mengandung, Le. Bagaimana nasib anaknya nanti? Bagaimana dia harus menanggung malu itu sendiri? Lelaki tua ini hanya bisa mempercayakan anak satu-satunya padamu, Le."
Duhai, hati siapa yang tak kecewa mendengar fakta pahit yang baru saja didengarnya. Pengantin yang baru tadi pagi halal untuknya, ternyata sudah ternoda bahkan sebelum tangan Suryo menjamahnya. Kecewa. Teramat malah. Namun, Suryo sadar dia harus berdamai dengan rasa sakitnya. Dia tak berhak meronta meski sedikit saja.
Dia kembali teringat kisah lama itu, saat Suryo kecil duduk di bangku sekolah dasar, saat tiba hari pengambilan rapor dan Pak De Ratman lah yang mengambilkan rapor untuknya, mendengar guru menjelaskan hasil belajarnya, bersikap layaknya seorang ayah yang sesungguhnya.
Juga saat anak-anak di kampung itu mengejeknya karena sepatu butut yang dia kenakan sobek, Ratman akan dengan murkan meneriaki anak-anak itu, untuk kemudian keesokan harinya sudah mengetuk pintu rumah Ratman, membawakan sepatu baru sesuai ukuran.
Atau saat tengah malam dia memegangi perutnya karena lapar, dan ratman mengetuk pintu rumah itu, membawakan makanan lengkap dengan the hangat. Sungguh, Suryo berhutang banyak. Maka, tak berhak dia menyakiti Ratman dengan penolakan.
Suryo menghela napas. Berusaha tersenyum dengan ikhlas. "Njiih, Pak. Mulai sekarang jenengan Bapak kulo, mana mungkin saya membantah. Dik Yanti sudah sah jadi istri saya, dan itu berarti juga tanggung jawab saya. Saya berjanji akan membahagiakan Dik Yanti dengan sepenuh hati. Terima kasih sudah merawat jodoh saya, Pak"
Suryo meraih tangan Ratman, menciuminya takzim lalu menangis lama. Disaksikan hening malam dua lelaki lintas usia itu menggemakan janji, hingga tiap getarannya mengetuk pintu langit dan penghuninya, disaksikan malaikat yang mencatat semua hal tentang manusia, menuliskan janji yang terucap sebagai hutang kehidupan. Dua lelaki yang memegang janji dalam hati.
***
Suryo masuk ke dalam kamar setelah berbincang panjang dengan Ratman. Percakapan antar lelaki yang tak pernah habis jika diteruskan. Apalagi berteman kopi hitam, camilan, dan rokok lintingan tangan. Namun, ayah mertuanya itu sadar diri, segera menyuruh Suryo untuk masuk ke dalam kamar menemui Yanti.
Saat Suryo masuk ke dalam kamar, Yanti sudah berbaring di tepi ranjang jati, memeluk guling kumal dan menyisakan banyak tempat untuk Suryo. Lelaki itu berjingkat, kemudian menyusul sang istri berbaring di sebelahnya. Tak bisa tidur, Suryo memandangi langit-langit kamar. Menatap serius kesibukan laba-laba yang sedang membangun sarang.
"Kamu sudah tahu semuanya dari Bapak, kan, Mas?" Rupanya Yanti belum benar-benar tertidur. Masih membelakangi Suryo dan memeluk guling kumalnya.
Suryo tak menoleh, memilih menatap laba-laba yang bersarang di langit-langit rumah dan mengatasi rasa canggungnya. "Apa?"
"Soal anakku." Yanti bersuara.
"Anakku juga, aku suamimu sekarang."
Keduanya terdiam. Entah apa yang sedang mereka benamkan dalam pikiran.
"Kenapa, Mas?"
"Apa?"
"Kenapa mau menerima pernikahan ini?"
Suryo membuang napas. Bersiap dengan berbagai alasan yang dia kumpulkan entah dari mana. "Karena harus. Entah sejak kapan, rasanya aku harus membahagiakan Pak de Ratman, Yan. Sewaktu orang-orang kampung memandang rendah padaku karena aku yatim piatu, sewaktu orang-orang melabeliku sebagai anak pembawa sial. Bapakmu yang mengangkatku, dia yang dengan lapang hati menerimaku, mengusir prasangka mereka dan mengajariku bertahan hidup. Dia pahlawanku, Yan."
Yanti duduk. Meletakkan guling di sebelah Suryo, menjadikannya pembatas di antara keduanya. "Kamu ndak perlu terikat pada hutang budi itu, Mas. Kamu boleh pergi."
Suryo tersenyum. "Tapi aku baru saja melafalkan janji, Yan. Di dalam hati. Dan pantang bagi lelaki mengingkari janjinya."
"Janji apa?" Yanti melepas ikatan rambutnya. Lalu membuang muka. Tak berniat menatap lelaki yang kini berbaring di tempat tidur.
"janii untuk membahagiakan kamu, Yan." Suryo memiringkan tubuhnya. Susah payah mengusir gugup yang mendera.
Yanti berdiri, menghadap suryo dan menatapnya tajam. "Kalau begitu pergilah, Mas."