webnovel

Pria Lain

Entah oleh dorongan darimana, firasat di hati Suryo terasa kian mengganggu dan menyiksa. Bahkan berkali-kali pria itu tersandung dalam perjalanan menuju rumah. Terengah-engah akhirnya Suryo tiba di rumah mertuanya.

"Loh, kenapa, Le?" Ngadiyem yang baru saja keluar membawa setampah krupuk gendar basah terheran-heran. Wanita itu meletakkan tampah di atas lincak, menjemurnya agar besok lekas bisa digoreng, lauk nikmat yang murah bagi mereka yang tinggal di pedesaan.

Suryo duduk di teras. Mengatur napas. "Yanti … dimana, Buk?"

Ngadiyem terpaku. Menatap anak menantunya dengan raut wajah pilu. "Ta-tadi katanya mau nyusul ke ladang, Le."

Mendengar nada bersalah itu, Suryo semakin tersiksa. Merasa bodoh karena menanyakannya. "Eh, anu, Buk. Maksudnya iya Yanti ke ladang, ini mau ambilkan minum, tadi Yanti lupa bawa minum, bekal di ladang teh manis, Yanti ndak suka, Buk."

Ngadiyem menghela napas lega. Bergegas masuk ke dalam rumah dan mengambilkan air minum. Suryo bergegas pergi, pamit hendak kembali ke ladang menyusul Yanti. Namun, sebenarnya tak tahu kemana harus mencari.

Menuruti langkahnya yang berdasarkan firasat hati, Suryo akhirnya terbawa ke ujung desa, melihat sepeda motor milik Johan terparkir di tepi jalan setapak, hampir tak terlihat karea tertutup daun secang yang dijuntaikan. Suryo berjalan pelan, ragu, hendak berbalik akakn tetapi sebelah hatinya mendorong untuk tetap melangkah maju.

Duhai, kuatkan hati.

Dari tempatnya berdiri, di sudut hamparan ladang yang sudah siap unduh, Suryo berdiri menatap ke depan. Mendapati pohon-pohon tebu tersibak, bekas seseorang membuka jalan. Degup jantung pria itu berdetak tak karuan. Benaknya sibuk merangkai berjuta kemungkinan. Menerka ada hubungan apa motor Johan dan hilangnya Yanti. Menebak adegan buruk yang mungkin saja bisa terjadi.

Suryo masih meragu, meski demikian langkahnya tetap terseret perlahan, menapaki ladang tebu, mengikuti jejak langkah yang membuat pohon-pohon tebu itu miring, setengah tumbang. Terhenti langkahnya, menatap nanar ke depan. Pohon-pohon tebu itu bergoyang, terdengar suara tawa perempuan, juga desahan penuh kenikmatan seorang pria. Duhai, Suryo tak sanggup menanggung luka. Suara itu, tawa itu amat dikenalinya.

Andai pria lain, mungkin saat itu sudah menyeret si pria, memukulinya hhingga tak berrupa. Ini Suryo, pria dengan hati selembut awan, yang bahkan harus berdusta agar orang lain tak terluka. Dia memutuskan menunggu ritual cinta itu selesai. Hatinya remuk.

Beberapa menit kemudian, kedua orang di depan Suryo berdiri. Tertawa lepas, tersenyum puas. Namun tak lama, karena setelah menatap ada sepasang mata yang menyaksikan aktivitas cinta hina mereka, kedua sosok itu terpaku di tempatnya.

Sementara Suryo masih sama. Sesakit apapun luka yang dia rasa, pria itu hanya mampu bungkam tanpa suara. Menatap berkaca-kaca istrinya yang tak bisa memberi pembelaan.

"Ternyata dia pria pengecut yang membuang benih seenaknya itu, Yan?" Kedua mata Suryo menyala. Bara berkelebat panas merata di netra tajamnya.

Sementara itu, tubuh Yanti melemas. Kakinyya seolah kehilangan tenaga untuk menyangga raga. Bibirnya bergetar seiring hatinya yang diserbu rasa bersalah. "Ma-Mas, Suryo?"

Yanti hendak berlari ke arah Suryo yang masih berdiri menahan emosi, akan tetapi Johan terlebih dulu mencekal lengannya. Perempuan itu berhenti, Johan mengambil langkah mendekati Suryo.

"Mas, ada yang mau saya bicarakan." Johan berusaha bertingkah sopan, meski tak bisa dia pungkiri jika kesalahannya telah melukai harga diri pria di hadapannya.

Suryo menatap lelaki itu dengan sorot penuh benci. "Katakan dengan cepat, aku ndak punya banyak waktu buat main-main."

"Mas, aku ngaku kalau ini semua nggak bener. Tapi, Mas, aku nggak bisa ninggalin Yanti." Johan menatap pasti. Mencoba mengintimidasi Suryo yang susah payah mendinginkan hati.

Dada Suryo naik-turun meredam murka. Andai tak ada Yanti di sana, mungkin tinjunya sudah liar membabi-buta. "Apa kamu sadar dengan ucapan kamu? Apa kamu ndak malu sama orang tua kamu? Apa aku harus bilang sama Pak De Harsa tentang kelakuan bejat anaknya?"

Johan bergidik mendengar nama ayahnya disebut. Namun, segera menguasai diri, tak ingin terlihat lemah di hadapan suami Yanti. "Mas, dari awal aku mau tanggung jawab, aku mau nikahin Yanti, tapi Yanti yang nolak, Mas."

Suryo semakin meradang, kepalan tangannya melayang tepat diwajah Johan, sekali mengenai pipi kiri Johan, satu pukulan di pipi kanan, lalu, disudahi oleh tangisan Yanti yang merengek, memohon agar Suryo berhenti.

Yanti jatuh tersungkur di hadapan Suryo setelah berlari, kedua tangannya memegangi kaki sang suami, menangis tiada henti. "Mas, sudah. Mas Johan benar, Mas. Aku yang menolak dinikahi. Aku yang melarangnya bertanggung jawab atas janin ini. Aku mohon, Mas, berhenti memukuli Mas Johan."

Suryo kalah. Bukan oleh pria tanpa wibawa di hadapannya, dia kalah oleh air mata Yanti, kalah oleh tangis wanita yang dia cinta.

"Biarkan saja, Yan. Biarkan dia memukuliku sampai puas. Anggap saja sebagai hukuman karena menyerahkanmu padanya." Johan bergeming. Berdiri tegap menantang.

Suryo mengumpulkan seluruh kekuatan, kepalannya terisi penuh dengan kemarahan, satu bogem mentah melayang lagi, kali ini di perut Johan, membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.

Suryo menarik tubuh Yanti, memaksanya berdiri. Yanti masih sempat menoleh ke arah Johan saat Suryo menyeretnya pergi. Perempuan itu bergeming, menolak pergi demi memastikan Johan baik-baik saja.

Satu anggukan dari Johan tak cukup membuat Yanti berhenti mencemaskan kekasihnya itu. Sementara langkahnya terkunci karena Suryo mencekal tangannya kuat sekali. Dua sejoli itu saling menatap penuh arti, tak sedikitpun memberi tempat untuk menyela di antara keduanya bagi Suryo.

Suryo dibakar cemburu. Pria itu tak tahan melihat Yanti dan Johan saling pandang, dia mengangkat tubuh Yanti, membopongnya dan membawa istrinya pergi. Meninggalkan Johan seorang diri.

Yanti tak punya pilihan, kedua tangannya melingkar di leher sang suami. Samar namun pasti dia bisa menghidu aroma tubuh Suryo, meski tak mampu menghentikan isak tangisnya.

"Mas, aku bisa jalan sendiri." Yanti berujar lirih di sela sisa tangisna.

Suryo tetap menatap ke depan, mana berani menatap wajah Yanti yang sedang bersedih itu. "Buat apa? Mau lari ke tempat kamu dan Johan tadi? Mau memastikan dia ndak mati?"

Yanti diam. Ada sebongkah batu berwujud rasa takut yang diam-diam menghantam. Wajah tegas Suryo sempurna menampakkan murka. Walau tak sedikitpun diperlihatkan kepada perempuan yang kini berada di dekapannya.

Suryo tetap membopong Yanti hingga tiba di rumah, mengabaikan suitan orang-orang yang dilaluinya sepanjang jalan, mengabaikan sorakan tak terbilang.