webnovel

Ciuman Pertama

Yanti hendak murka begitu merasakan bibirnya mendapat serangan tiba-tiba oleh sang suami. Seperti ada belati yang mengoyak dadanya, seolah hancur harga dirinya dirampas oleh lelaki di hadapannya. Namun, kemarahannya sirna tatkala kembali mengingat rencana pelarian yang dia buat. Bukankah layak memberi Suryo imbalan sebelum pergi? Sekadar tanda terima kasih karena nantinya harus merawat anak dan orang tuanya. Maka, detik selanjutnya murka di dalam dada Yanti menjelma rela. Bahkan mulai membalas gerakan indra perasa yang menari di dalam mulutnya.

Suryo tersadar sejenak. Ada ketakutan yang merayap perlahan. Sekujur tubuhnya tiba-tiba gemetar tak karuan. Irama degup jantungnya amat kencang, sama seperti berdiri di depan speaker hajatan yang memutar lagu dangdut. Menjauhkan wajahnya, kemudian berujar lirih, "Maafkan a-aku, Dik."

Yanti memaksa menarik kedua sudut bibirnya. Sekuat tenaga tentu saja, karena sungguh, jauh di dasar hatinya meronta tak terima. Bukankah tubuhnya harus dipasrahkan atas nama cinta? Dan Johan satu-satunya pria yang pantas menjamahnya. Logikanya tak selaras dengan hati, sedalam apapun menggali, entah mengapa Yanti tak menemukan benci.

"Sudah selesai, Mas? Kita lanjut kemana?" Yanti mencoba mengalihkan percakapan. Akan sangat canggung terus-menerus berhadapan dengan pernyataan maaf dari mulut Suryo yan terus-menerus berdatangan.

Suryo tergagap sejenak, kemudian menarik kesadaran bahwa kini dia harus berani mengambil sikap di hadapan sang istri. "Ke rumah saja, kamu ndak boleh capek-capek, Dik. Kasihan jabang-bayi di dalam perut kamu."

Yanti mengalihkan pandangan, tersenyum getir menyadari kebodohan. Betapa Suryo masih begitu peduli pada anak di dalam perutnya, sedangkan berulang-kali Yanti berharap janin itu pergi. Benar-benar pergi. Mati. Dan tidak pernah ada halangan lagi. Tidak pernah ada alasan untuknya berada di desa mengerikan ini.

Namun, pada akhirnya Yanti menurut apa kata Suryo. Perempuan itu berjalan beriringan dengan sang suami, meski dengan langkah ragu yang kian terlihat.

Bahkan, beberapa orang yang melihat mereka lewat sengaja berteriak, menyapa dengan suara lantang. "Manten baru kok jalannya jauh-jauhan?"

Kemudian akan dijawab oleh Suryo dengan senyuman sopan. Sementara Yanti justru menatap sinis, melotot bengis ke arah mereka yang menyapa menggoda. "Sirik!"

"Sudah, Dik. Jangan diladeni, namanya juga mencoba ramah." Suryo yang menangkap jengah di wajah istrinya berusaha menenangkan.

Yanti tak lagi menghiraukan godaan tetangga yang menyapa. Masih saja menjaga jarak dengan suaminya. Tak ingin pula menanggapi pernyataan Suryo yang mencoba menenangkannya.

***

Setibanya di rumah, Yanti dan Suryo disambut senyum bahagia di wajah Ngadiyem. Duhai, betapa wajah tua itu kini berseri. Menatap tanpa henti anak perempuannya yang pulang ke rumah bersama sang suami. Wanta itu tergopoh-gopoh menghampiri Yanti.

"Darimana saja, Nduk?" Sang ibu meraih lengan Yanti, menyeretnya menuju dapur bermaksud mengajaknya menyiapkan makanan sekaligus menanyakan banyak hal.

Yanti mencelus hatinya. Seingatnya, wajah tua itu jarang sekali menampakan bahagia. Betapa memang dia telah gagal menjadi anak bagi orang tuanya. Hingga terlupa kapan terakir kali menjadi alasan senyum di wajah bapak dan ibunya.

Yanti tersenyum menatap wajah ibunya yang antusias menanti cerita. Tangannya terampil menyiapkan makanan, menata nasi dan lauk-pauk di atas meja. Sementara bibirnya kelu tak dapat bercerita. Hanya mendengarkan dengan patuh betapa ibunya bahagia melihat kedekatan Yanti dan suaminya.

"Nduk, sekarang ibuk sudah ikhlas kalau memang harus mati." Wanita tua itu menyeka pipi. Menghapus air mata yang sedari tadi mengalir tanpa henti.

Yanti mengernyitkan dahi. Mengeluh dalam hati mengapa ibunya mendadak menjadi sensitif begini. "Sudahlah, Buk. Jangan ngomong macem-macem gini."

Yanti meninggalkan ibunya di dapur sendirian. Masih riuh kebahagiaan di dalam hati Ngadiyem, tak surut sedikit pun bahkan saat Yanti berucap agak kasar tadi.

Yanti ke dalam kamar. Berkutat dengan ponselnya, sibuk membaca setumpuk chat yang belum terjawab dari Johan. Memutuskan menelpon alih-alih membalas chat dari sang kekasih hati. Tentu saja setelah lebih dulu mengintai sekitaran, takut jika suaminya atau ibunya yang tak suka dengan Johan itu tiba-tiba menangkap basah. Aman.

"Hallo, Sayang. Kamu tadi kemana?" Suara di seberang menyahut cemas.

Yanti tersenyum, Johan selalu begitu, dia sekhawatir itu setiap kali Yanti pergi tanpa kabar. "Ndak kemana-mana, Sayang. Tadi pergi sama Mas Suryo sebentar. Seperti kata kamu kemarin, aku harus mengambil hati mereka semua sebelum pergi. Aku ndak mau mereka curiga."

"Yan, aku mau pulang minggu depan." Johan kemudian diam. Menunggu tanggapan kekasihnya yang masih tak percaya.

"Sungguh?" Yanti hampir berteriak. Tangannya bergegas menutup mulutnya, tak kuasa menahan air mata.

"Iya, mau ambil beberapa berkas buat ngurus beasiswa. Juga, aku rindu sama kamu, Yan. Besok kita bisa ketemu, kan, kalau aku pulang?"

Yanti segera mengiyakan. Rindunya tak kalah besar untuk Johan. Jantungnya berdegup kencang, bak tabuhan genderang perang yang dibunyikan tanpa irama. Sejenak lupa pada ciuman pertamanya sebagai istri Suryo di area kandang sapi yang belum diceritakannya pada Johan.

***

Yanti harus terus bersandiwara, berpura-pura menjadi wanita yang menerima pernikahannya dengan Suryo. Setiap pagi membawakan minuman dan menyiapkan sarapan, pun ringan tangan membatu pekerjaan ibunya di dapur. Semua dia lakukan agar orang-orang di rumah percaya bahwa Yanti sudah berubah. Agar rencananya lari bersama Johan setelah kelahiran anaknya bisa berjalan sempurna.

Siang itu, hari yang begitu yanti nantikan akhirnya tiba. Johan pulang kampung. Hanya sebentar memang, karena Johan harus segera kembali ke Jakarta untuk urusan belajar. Namun, Yanti sudah punya sejuta rencana untuk memberi makan rasa rindunya.

Setelah memastikan pekerjaan di rumah selesai, Yanti menemui ibunya dan mengatakan untuk menyusul Suryo di ladang. Tentu saja Ngadiyem percaya, melihat beberapa hari terakhir Yanti sudah banyak berubah membuat wanita tua itu tak lagi bermasam muka pada anak perempuannya. Maka pergilah Yanti dengan hati riang gembira.

Bukan. Yanti tidak benar-benar menemui Suryo di ladang, dia berlari tergesa menuju ujung desa, bahkan tak lagi mengiraukan bayi yang ada dalam perutnya. Masa bodoh jika akhirnya bayi itu harus pergi, mati. Toh, Yanti tidak pernah sekalipun mengharapkannya.

Setibanya di sudut desa, jalan kecil menuju hutan belantara, Johan sudah menunggunya dengan senyum mengembang sempurna. Yanti segera berlari, berhambur memeluk kekasih hati.

"Yang, aku kangen." Yanti menangis, membuat dada Johan basah oleh air mata.

Johan mengusap kepala Yanti, membenamkannya lebih dalam lagi ke dalam pelukan. Dia juga rindu. "Sama, Yang. Mas juga kangen."

Johan menarik tubuh Yanti, perlahan membimbing perempuan yang amat dia cintai itu melangkah semakin dalam ke arah hutan. Rindu yang dia sampaikan, kangen yang menggelora di dalam dadanya tak lebih hanya sebatas kepalsuan. Nyatanya rindu itu palsu, kalimat rindu hanya pembungkus gelora nafsu yang semakin menggebu.

Sementara di ladang, Suryo merasakan firasat buruk yang belum bisa dia terjemahkan. Bergegas pria itu pergi, meninggalkan separuh pekerjaan di ladang. Meninggalkan beberapa pria dewasa yang membantunya bekerja atas suruhan Ratman, ayah mertuanya.

Bersambung