webnovel

CIUMAN PERTAMA

Yanti bangun lebih awal pagi ini. Perempuan itu bahkan sudah ikut ibunya membantu pekerjaan di dapur. Hal yang selama ini sangat jarang dilakukannya. Ibunya menyambut suka-cita tentu saja. Berharap gelagat baiknya pagi itu merupakan permulaan hari yang baru, berharap Yanti akan menjadi istri dan ibu yang baik dan sempurna. Namun, tanpa seorang pun tahu, perilaku Yanti yang berubah itu merupakan bagian dari rencana pelarianya nanti.

Dua teh panas terhidang. Yanti mengantarkannya ke meja dimana Suryo dan Ratman sudah menunggu sembari bercengkrama. Mereka sedang membicarakan rencana menambah sapi di kandang, Ratman juga berencana membeli sawah milik salah seorang tetangga yang hendak memberangkatkan anaknya ke Jakarta untuk kuliah. Disambut anggukan kepala oleh Suryo, lelaki itu hanya menguasai ilmu bertani dan memelihara ternak, maka ide yang Ratman sampaikan serupa berlian yang tersiram cahaya. Disambut suka-cita.

"Monggo, Mas, Pak." Yanti meletakkan dua gelas teh di atas meja.

Ratman terhenyak melihat siapa pengantar teh pagi itu. Pun dengan Suryo yang hatinya seperti teraliri listrik berjuta volt demi mendengar sapaan 'Mas' yang baru saja Yanti ucapkan.

Suryo menelan ludah, tangannya gemetar meraih gelas di atas meja, kemudian menyesap teh di yang dihidangkan istrinya demi mengatasi debar di dalam dada. Duhai, teh itu kurang gula, terlalu panas untuk ditandaskan habis, akan tetapi demi hatinya yang sedang berbunga Suryo bahkan tak merasakan apa-apa, habis sekali tenggak, membuat Ratman terheran melihat tingkah mantunya.

Sarapan pagi itu pun berjalan tak biasa. Ada berpasang-pasang mata yang mengembun bahagia melihat perubaha sikap Yanti.

"Mas, Yanti boleh ikut ke kandang?" Yanti menghampiri Suryo yang bersiap mencari rumput.

Suryo mengernyitkan dahi. "Mau apa? Kan mas mau nyari rumput dulu, ke kandangnya nanti."

"Mau lihat sapi." Yanti menjawab sekenaknya.

Suryo mendengkus lirih. "Ikut nyari rumput dulu saja, gimana?"

Yanti mengangguk.

Tak lama kemudia sepasang suami sitri itu keluar dari gubuk mereka, Suryo membawa peralatan merumputnya, sementara Yanti hanya mengekori langkah sang suami dengan tangan kosong. Sepanjang perjalanan mereka banyak mendapat sapaan menggoda, orang-orang di desa kecil itu, sebenci apapun dengan Yanti akan tetapi masih menghormati perasaan Suryo.

"Duh, penganten baru kemana-mana ya harus bareng." Begitu kira-kira.

Bahkan tak jarang ada sapaan nakal dari bapak-bapak yang sedang bertani. "Memangnya mau nyari tempat yang seperti apa? Di kamar kurang?"

Suryo yang hatinya sedang ditumbuhi bunga-bunga musim semi itu hanya bisa menjawab kikuk. Tersenyum dan merona wajahnya. Padahal jelas sekali, perasaan bahagia itu terlalu awal hadir di hati. Menganggap apa yang dilakukan Yanti merupakan perubahan besar, lupa jika semalam istrinya itu sedang tertawa bahagia menatap layar ponsel berbalas chat dengan pria lain.

Tiba di sawah yang keseluruhan ditumbuhi oleh rumput gajah, rumput yang sengaja ditanam untuk keperluan makan ternak mereka. Sapi-sapi di kandang harus selalu cukup makan, agar nanti saat waktu jual tiba, mereka akan mendapat harga yang layak.

"Dik, kamu duduk dulu di sana, nanti kalau sudah selesai aku panggil." Suryo menunjuk sebuah gubuk kecil yang terbuat dari bambu, tempat biasa dia dan Ratman beristirahat jika lelah merumput.

Yanti menurut. Beranjak segera ke gubuk mungil di sudut sana, kemudian duduk manis sembari memainkan ponsel kesayangannya. Sial. Tidak ada jaringan seluler di tempatnya berada. Yanti akhirnya menghabiskan waktu dengan berselfi ria, tersenyum ke arah kamera sementara Suryo sedang mencari rumput, berkawan dengan panasnya mentari. Namun, tak ada sedikit pun wajahnya menunjukkan keluh, seperti namanya yang berarti matahari, panas sang surya justru membakar semangatnya.

Suryo selesai setelah sejam berkutat dengan kesibukannya. Pria itu tersenyum menghampiri Yanti, memamerkan wajahnya yang semakin legam tersiram peluh, juga gigi-giginya yang putih bersih, kontras dengan warna kulitnya yang hitam.

"Ke kandang sekarang?" Suryo duduk di sebelah Yanti. Mengambil botol minum yang dia Yanti letakkan di sebelahnya, kemudian menenggak hampir separuh isi. Haus.

Yanti mengangguk, kemudian turun dari gubuk kayu itu dengan tergesa, seolah tak sabar untuk segera tiba di kandang, meskipun sebenarnya masih berupa teka-teki besar mengapa dia ingin sekali pergi menjenguk sapi-sapinya.

Suryo memanggul dua ikat besar rumput gajah dengan bambu yang diruncingkan kedua ujungnya, menancapkan ujung-ujung runcing itu pada ikatan rumput, kemudian memanggulnya dengan pundak. Berjalan kemudian menyusul Yanti dengan langkah gagah. Setidaknya, perkasa versi orang desa.

Kandang sapi itu seperti komplek perumahan, terdiri dari delapan bangunan dari kayu, dinding-dindingnya terbuat dari batako yang disusun asal, sebagian malah hanya serupa papan kayu tebal, gentingnya kokoh meski berjamur, di depan masing-masing kandang diberi tenpat untuk menaruh makanan sapi, terbuat dari bambu dan kayu yang disusun menyerupai mangkuk panjang yang menempel permanen pada tiap bangunan.

Yanti mengamati Suryo yang sedang memberi makan sapi-sapinya. Sesekali mengelus kepala si sapi, membelai seolah mereka layak dikasihi.

"Sepertinya tadi Bapak sudah ke sini, bersihin kandang sama ngasih minum," ujar Suryo tanpa diminta.

Yanti masih terdiam. Masih betah mengamati aktivitas sang suami.

"Kamu ngidam apa? Biar nanti Mas carikan." Suryo sudah selesai memberi makan sapi-sapinya.

Yanti menggeleng. "Ndak ada, Mas. Aku Cuma pengen lihat sapi-sapi Bapak."

Suryo terkekeh. "Ini toh juga buat kamu. Bapak ndak punya anak lain selain kamu."

Yanti mengangguk setuju. Meski lagi-lagi hanya menampakan sunyi. Tak berniat menjawab sama sekali. Wanita muda itu sedang hangat bersenandika dalam hati. 'Kamu benar, Mas. Bapak hanya punya satu anak yaitu aku. Semoga dengan hadirnya dirimu, cukup sebagai pelipur lara bapak selepas kepergianku nanti. Melihatmu menyayangi makhluk lain meski hanya seekor sapi, aku pun yakin kamu akan menyayangi anakku nanti. Aku harus pergi.'

Suryo mendekati Yanti yang sedang asik menatap kosong ke arah seekor sapi, terheran pria itu mendapati sang istri. Terdiam melamunkan sesuatu yang tak dapat dia terka. "Mikir apa, Yan?"

Yanti terhenyak. Tergagap menjawab Suryo yang sudah berdiri tepat di sampingnya. "Ndak apa-apa, Mas."

Detik seperti terhenti. Disaksikan sapi-sapi, angin hangat menjelang siang dan rerumputan mati, wajah Suryo memerah saat kedua matanya beradu dengan telaga bening sang istri. Tanpa aba-aba, tanpa komando dan hanya mengandalkan naluri, Suryo mendekatkan wajahnya dengan Yanti, semakin dekat hingga embusan napas tak beraturan mereka saling bertemu, seolah sedang bertegur sapa di udara. Untuk pertama kalinya, Suryo berani menyentuh anggota tubuh istrinya, mencoba memainkan indra perasa. Dan semoga akan mengubah rasa dalam hati istrinya.

Siang itu dahaga terpenuhi. Bukan karena menenggak sebotol air bening bekal yang dibawa Yanti, bukan juga oleh teh pekat yang biasa terhidang sejak pagi, dahaga Suryo sirna berkat seteguk madu yang dia ambil tanpa aba-aba dari bibir istrinya.