"What?" teriakan Sisi terdengar dari seberang telepon.
"Ngga usah teriak Si! Gue masih bisa denger kok!" kata Mimi sambil mengusap-usap telinganya.
"Gimana gue ngga teriak, lo itu kenapa sih?" kata Sisi dengan nada gregetan.
"Ya gimana, keputusan itu udah gue ambil. Dan gue rasa keputusan gue benar kok!".
" Gue ngga peduli apapun keputusan elo, karena yang jalanin itu elo. Cuma alasan dibalik keputusan itu yang bikin gue kesal. Lo itu terobsesi atau gimana sih Mi?".
Mimi terdiam mendengar perkataan Sisi.
"Hei, lo masih disana?".
" Iya!" jawab Mimi lirih. "Menurut lo gue salah Si?".
" Gue ngga bicara salah benar, jujur gue dukung apapun keputusan elo asalkan semua keputusannya itu berasal dari hati elo. Bukan karena mimpi elo. Perihal lelaki kabut dalam mimpi elo itu jangan dijadikan patokan."
"Gue udah berusaha untuk mengabaikan lelaki kabut itu. Tapi sekarang gue malah makin sering mimpiin dia. Jadi akhirnya gue menganggap itu sebagai petunjuk."
"Gue ngga ngerti sama elo Mi!" kata Sisi.
𝙁𝙡𝙖𝙨𝙛𝙗𝙖𝙘𝙠
𝙊𝙗𝙧𝙤𝙡𝙖𝙣 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝘼𝙡𝙖𝙣.
"Ngga Lan, kamu ngga perlu nunggu kok, aku akan menjawabnya sekarang juga." kata Mimi. "Tapi sebelum itu aku mau bilang terima kasih atas perasaan kamu ke aku. Terima kasih juga atas hadiah-hadiah yang kamu kasih ke aku..."
"Hadiah? Maksud kamu apa?" tanya Alan. .
Mimi menatap Alan bingung. "Apakah aku salah menduga?" batin Mimi.
"Mi? Maksud kamu hadiah apa?" tanya Alan lagi.
"Hmmm... aku beberapa kali menerima hadiah dari seseorang. Tak ada identitas pengirim, kecuali insial " PR". Karena nama kamu Pramudya, aku pikir itu dari kamu."
"Bukan, aku ngga pernah kirim apapun ke kamu Mi." kata Alan.
Mimi terdiam, sesaat dirinya merasa bingung. Berarti PR bukan Alan, padahal sebelumnya dia yakin itu Alan. Untuk itu Mimi ingin membuktikan satu hal lagi. "Lan, aku bisa pegang tas kamu?".
" Tas?" tanya Alan bingung.
Mimi mengangguk. Lalu Alan mengambil tas dan menyerahkannya pada Mimi. Mimi lega, karena itu tas yang sama dengan yang dibawa Alan saat dia pertama kali mencium aroma itu di dunia nyata. Dan saat memegang tas itu, Mimi tak lagi mencium aroma itu. Lagi-lagi Mimi terdiam dalam kebingungan.
"Kamu kenapa Mi?".
" Ngga Lan, aku cuma bingung."
"Bingung kenapa?".
" Waktu itu aku mencium aroma yang sangat aku kenal dari tas kamu. Tapi sekarang ngga ada lagi. Apa sudah luntur?".
"Aroma? Aroma apa maksud kamu?".
" Aku ngga tahu pasti aroma itu. Tapi aku merasa familiar. Mungkin aroma parfum kamu Lan?".
"Parfum?" tanya Alan lagi. Lalu Alan mengambil tas dari Mimi, dan mengambil sesuatu dari dalamnya. "Maksud kamu ini?" kata Alan sambil menyerahkan botol parfum dari dalam tasnya.
Mimi mengambil botol itu dan menciumnya, ternyata berbeda. "Ini harum musk?" tanya Mimi.
Alan mengangguk.
"Kamu selalu pakai ini?".
" Iya. Itu parfum favorit aku."
Mimi menyenderkan punggungnya kesandaran kursi. Berarti benar-benar bukan dia.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Alan.
Mimi menghembuskan nafasnya, sampai akhirnya berkata, "Maaf Lan, bikin kamu bingung. Tapi sepertinya aku ngga bisa nerima kamu," kata Mimi akhirnya.
Alan menatap Mimi dengan pandangan bertanya.
"Kata Tama aku punya peluang besar untuk diterima, karena kamu punya alasan lebih dari sekedar perasaan untuk nerima aku. Tapi ternyata sekarang kamu tolak aku. Apa ada kaitannya dengan hadiah dan aroma yang tadi kamu bahas itu Mi?".
Mimi memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya berkata, " Ya!".
"Aku ngga ngerti, apa bisa kamu jelaskan sama aku?".
Sejenak Mimi bimbang. Karena Alan bukan orang yang dekat dengannya. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan semua pada Alan, karena Alan berhak tahu alasannya, agar tak ada salah paham.
Setelah mendengar cerita Mimi, Alan bertanya, "Jadi ini yang dimaksud Tama sebagai rahasia kecil yang dia ketahui?".
Mimi mengangguk sebagai jawabannya.
" Jujur aja aku masih sulit menerima kamu menolak aku dengan alasan ini. Tapi aku hargai kejujuran kamu, dan mencoba menerimanya. Aku jelas kecewa, karena aku benar-benar serius ingin menikah sama kamu. Tapi kalau ini keputusan kamu, aku bisa apa?".
"Maaf Lan!" kata Mimi pelan.
𝙁𝙡𝙖𝙨𝙝𝙗𝙖𝙘𝙠 𝙀𝙣𝙙.
"Helloooowwww, masih ada orang disana?" suara Sisi membuyarkan lamunannya.
"Eh iya Si! Sorry gue agak ngga fokus."
"Mi, lo serius dong. Masa lo nolak Alan dengan alasan itu sih? Lelaki kabut lo itu ngga nyata Mi! Begitupun perasaan lo ke lelaki kabut itu, ngga nyata. Sadar dong!".
" Ngga Si, selain alasan itu, gue emang ngga ada perasaan sama Alan."
"Perasaan bisa dipupuk Mi. Selama ini hati lo fokus sama yang ngga nyata, jadi lo abaikan perasaan lo sendiri."
"Ngga Si. Saat gue anggap Alan itu lelaki kabut gue, dan saat Tama cerita soal perasaan Alan ke gue, gue udah berusaha untuk menyukai Alan. Bahkan gue berdoa minta ditumbuhkan perasaan cinta di hati gue. Tapi ternyata ngga juga. Dan saat gue tahu ternyata gue salah mengenali lelaki kabut gue, gue makin yakin, bahwa memang bukan Alan orangnya."
"Terserahlah Mi. Gue sebagai sahabat elo cuma ngingetin, kalau lo jangan kayak gini terus. Fokus pada alam mimpi dan mengabaikan apa yang ada di dunia nyata. Nanti lo nyesel," kata Sisi sebelum akhirnya menutup pembicaraan mereka.
Mimi menutup ponselnya dengan perasaan tak enak. Apa benar kata Sisi, bahwa dia hanya terobsesi pada mimpinya? Bahwa lelaki kabut itu tak ada di dunia nyata? Kalau memang tak ada, mengapa dia sekarang malah semakin sering hadir dalam mimpinya?
Malam itu Mimi tidur dengan gelisah
---
Tama menatap Pram yang nampak duduk lesu bersandar di ranjangnya. Dia bingung sekaligus merasa bersalah juga mendengar cerita Pram. Bagaimana tidak, dia kira hari ini akan menerima kabar bahagia dari Pram. Tapi ternyata tidak. Dari cerita Pram, dia tahu bahwa Mimi menolaknya karena Pram bukan lelaki kabutnya. Artinya, Mimi salah mengenalinya.
"Maafkan aku ya Pram!" kata Tama merasa bersalah.
"No problem Bro!" kata Pram.
"Ya gimanapun aku udah ngasih harapan ke kamu Pram."
Pram mengibaskan tangannya, tanda bahwa dia tak marah. "Tapi ngomong-ngomong, Mimi bilang dia kerap dikirim hadiah oleh seseorang dengan insial PR, itu dari kamu kan?".
Tama hanya diam tak menjawab pertanyaan Pram. Kemudian dia pergi meninggalkan Pram sendirian di kamarnya.
Pram tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat reaksi Tama. Diambilnya bantal, lalu dibaringkan tubuhnya, lalu mencoba untuk tidur.
Sementara Tama tengah duduk di teras paviliunnya. Dia biarkan Pram tidur di tempatnya malam ini. Hati mereka tengah sama-sama galau saat ini. Biarkan mereka memilih cara sendiri untuk menghilangkan galau itu. Tapi setidaknya Pram sudah berani melangkah walau dia harus kalah. Sementara dia, masih terpaku dalam bimbang.