webnovel

Legenda Sang Raja Dunia

Dalam Gugusan Qaf, terdapat puluhan benua besar yang terpencar-pencar, dipisahkan lautan dan tirai semesta. Ketika para raja agung dari berbagai negara di benua membuka batas wilayah masing-masing, perkembangan ilmu beladiri pun melesat menuju era kejayaannya. Tapi, seimbang dengan kemajuannya, sebuah pengorbanan besar pun kerap terjadi demi kemuliaan jalur beladiri. Banyak negara yang tumbuh semakin kuat, banyak juga yang hancur dan hilang dalam catatan sejarah. Pada masa damai, orang-orang perkasa kesulitan menerobos batas kultivasinya, pada zaman kekacauan, banyak naga perkasa yang lahir melukis kebesarannya di gugusan langit. Hindra memiliki konsep sendiri dalam beladiri. Ia membenci keserakahan perang para jenius demi keuntungan pribadi. Ia bangkit, menciptakan jalannya sendiri, berusaha menyatukan dunia besar di bawah keadilan yang manusiawi.

Roby_Satria · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
53 Chs

Keyakinan vs Belalang Imajiner

Aula utama Paviliun Elang Bintang dipenuhi oleh para jenius dari berbagai tingkatan. Niat semua orang adalah sama, yaitu: ingin melihat orang yang telah menyebabkan kegemparan pada tahun lalu.

Banyak yang terpesona pada tampilan Hindra. Meski, dikabarkan kultivasi utama remaja ini pada penempaan tubuh, tapi tidak ada bekas cacat yang terlihat pada badannya. Kulitnya halus kencang, gugusan ototnya terpahat rapi laksana pualam yang ditatah oleh ahli kenamaan.

Tampilan wajahnya pun luar biasa, terlihat tampan dan selalu memancarkan keriangan. Sementara jemarinya yang kokoh dijalari urat-urat hijau yang menambah pesona putera tunggal Bangsawan Emas Kepalan Besi itu. Bila tidak menyaksikan sendiri, tidak ada satu pun orang percaya, bahwa jemari itulah yang menghancurkan Ludai serta menghempaskan tuan muda paling jenius dari Paviliun Elang Bintang.

"Aku tidak menyangka orang yang bisa membuat sang naga dan seluruh kekuatan puncak Istana Awan datang ketika ia menembus level kultivasinya waktu itu, hanyalah seorang remaja," desah seseorang dengan gegetun.

Orang yang berkata tersebut, hanya mendapat cerita tentang bagaimana hebatnya kemampuan yang ditunjukkan Hindra dahulu. Pada waktu peristiwa itu terjadi, ia sedang melakukan pelatihan tertutup, meski telinganya mendengar bahwa jenius dari Paviliun Segitiga Emas itu masih belia, tapi yang terekam di otaknya adalah sosok pemuda yang berusia jauh di atas dirinya. Makanya ketika ia melihat bahwa sosok di depannya itu benar-benar seorang remaja, ia merasa langit telah berbuat tidak adil.

"Aku juga tidak percaya jika tidak menyaksikan sendiri," timpal rekannya. "Diusia belia ia telah mampu melukis langit dengan jari petirnya, sementara aku, pada usia yang sama bolak-balik gagal menyelesaikan pelatihan dasar di Bangsal Besar."

Sementara di meja lain. "Entah bagaimana cara otak dan tubuhnya meramu semua sumber daya dan meningkatkan level pelatihan sehingga bisa berjalan begitu pesat. Tingkat kejeniusannya benar-benar mengerikan!"

Lain lagi di meja kelompok murid perempuan. Dara berwajah cantik, dengan mata berbinar cerah, berkata lirih penuh semangat, "Walau pun usianya masih muda, tapi aku rela memberikan hidupku padanya, hik, hik, hik."

Segera saja ucapan itu disambar dara lainnya, "Jangan terlalu egois menilai. Biar pun kau seribu kali rela, apa dia juga rela menghabiskan masa mudanya bersama perawan tua?"

"Hei, Kakak Dewi Rami, aku baru berusia sembilan belas tahun!" Semprot dara itu.

"Ya, kau memang baru berusia sembilan belas tahun, tapi bagi tuan muda Hindra, kau sebaya neneknya."

Sebelum ribut mulut terjadi, segera yang lain menengahi. "Sudah, diam. Kalian berdua adalah perempuan terhormat, jaga sikap masing-masing!"

Dewi Rami meruncingkan mulutnya. Ia merasa tersinggung karena dara yang satunya tadi berani menaikkan suara padanya, padahal kedudukan senior-junior sangat dijunjung tinggi dalam seluruh wilayah Istana Awan.

Tapi, ia tidak berani berkutik. Dara yang menegur mereka tadi, adalah satu dari empat belas jenius puncak Paviliun Elang Bintang.

Perhatian sekarang terpusat pada Tuan Bangsawan Tenaga Raksasa. Pria tinggi besar itu berdiri di hadapan semua orang. Keangkerannya sebagai pimpinan paviliun mampu melenyapkan semua suara yang ada.

"Murid-muridku sekalian." Suara beratnya menggema memenuhi aula. "Ini adalah hari yang berbahagia bagi kita semua. Salah satu puteraku, bagian dari kebesaran Paviliun Elang Bintang, telah menyelesaikan masa pelatihannya di bawah bimbingan Tuan Naga Agung Kolam Dewa. Terima dia sebagaimana aku menerimanya dan hargai dia sebagaimana aku menghargainya." Lalu sambil menyapu semua orang dengan sinar matanya yang berpengaruh, Tuan Sura menegaskan kalimatnya, "Apa kalian bersedia?!"

Serentak semua murid menjawab, "Kami bersedia guru!"

"Terima kasih." Lalu ia memandang Hindra dengan tersenyum dan berkata, "Hindra, mereka semua saudaramu. Di dalam jiwa mereka mengalir kesetiaan yang akan dibagi bersamamu. Harapan Ayah kau juga bisa memiliki rasa senasib dan sepenanggungan dengan semua penghuni Paviliun Elang Bintang ini."

Hindra segera membungkuk hormat dan menyatakan kesediaannya. Ia terharu, di usia semuda ini, orang nomor satu paviliun telah menghargainya dengan sebuah kepercayaan tinggi. Ia bisa melihat sikap Tuan Sura tulus kepadanya. Dan Hindra tahu, dalam dunia kultivasi yang paling dihargai adalah kekuatan, tapi ayah angkatnya itu menganggap kekuatannya hanyalah jalan, beliau menempatkan kasih-sayang dan hubungan batin, jauh di atas itu.

Dewi Rayumi mendadak ikut berbicara. "Apakah kau bersedia berbagi pengalaman kultivasi kepada semua saudaramu di sini, Hindra?" Suaranya masih serenyah pertama kali mereka bertemu. Begitu memikat. Sehingga dengan memejamkan mata saja orang akan tahu bahwa suara seperti ini berasal dari perempuan yang kecantikannya mampu menghancurkan satu kota.

Ralang Puntang agak terkejut mendengar permintaan adiknya. Maka, sebelum Hindra menjawab, cepat ia menyela, "Hindra mungkin bersedia, tapi, suatu aliran sangat memegang teguh kerahasiaan ilmu mereka." Lalu, dengan tatapan bersalah, ia berkata pada Hindra, "Maafkan ucapan Dewi Rayumi tadi Hindra. Anggap saja ia tidak pernah mengatakannya."

Sambil tertawa pelan, Hindra membalas, "Tidak apa-apa, Kak. Kalau hanya berbagi pengalaman saja tentu aku bersedia."

"Iya, hanya berbagi pengalaman, bukan penjabaran tehnik." Dewi Rayumi menimpali.

Remaja itu berdiri dari duduknya. Tampilan dirinya terlihat agung, memang pantas ia memiliki kekuatan yang berada dipuncak seluruh generasi jenius dua belas paviliun, karena saat ini, ia berdiri dengan bangga di hadapan semua orang.

"Kakak senior, perjalanan kita sama. Aku mulai memasuki jalur beladiri juga lewat penempaan dasar di Bangsal Besar. Tapi, apa yang kupersiapkan sebelum itu? Tidak lain adalah minat, kecintaan dan penyerahan total hidup pada jalan yang kupilih."

Semua orang tersihir senyap. Suara Hindra mengalun, memenuhi seluruh aula dan meresap ke dalam benak pendengarnya.

"Aku yakin, Kakak senior juga menanamkan kecintaan, membulatkan keyakinan dan menguatkan sugesti motivasi pada saat memulai pelatihan. Tapi, yang jadi pertanyaan, seberapa kuat semua itu dilakukan. Apakah keyakinan kita mengacu pada keyakinan para pendahulu, apa kecintaan kita mengambil contoh dari pendahulu, dan sugesti kita apa terbatas pada tokoh idola yang kita akui kehebatannya? Itu semua benar. Namun, yang harus diketahui, saat berkultivasi, kita membangun tubuh kita sendiri, kita membuat pencapaian kita sendiri. Jangan dibatasi luasnya dunia kultivasi dengan sekat yang kita tanam menjadi persepsi yang harus dipatuhi.

"Ibarat belalang. Ia mempunyai kemampuan jelajah untuk terbang diluasnya padang rerumputan. Coba tangkap. Masukkan ke dalam wadah yang kita buat. Di atas tubuh belalang kita buat sekat, sehingga selama dalam wadah, ia hanya akan terbang di bawah sekat itu. Lalu, kemudian lepaskan lah ke dunia luas, maka meski tanpa sekat lagi, ia tidak akan mencapai ketinggian yang lainnya, karena sang belalang telah membatasi dirinya pada sekat imajiner yang tertanam dalam dirinya."

"Mengidolakan seseorang baik, karena bisa memicu semangat kita. Tapi, meletakkan standar kita pada orang itu, atau mengagumi berlebihan kemampuannya membuat kita tanpa sadar telah membuat sekat imajiner belalang dalam benak kita."

Semua orang terpana. Ini pemahaman baru bagi mereka. Kata-kata Hindra begitu mudah dicerna dan remaja itu mempunyai kekuatan menggugah dalam setiap penekanan kalimatnya.

"Apa yang dinamakan bakat? Bakat adalah minat yang kita pelihara terus-menerus, yang kita hidupkan dengan semangat dan kemauan, lalu kita perjuangkan sepenuh keyakinan kita. Itulah bakat."

Kata-kata Hindra disambut gemuruh tepuk tangan. Kekaguman terpancar dari mata semua orang. Bahkan, Dewi Rayumi terbit senyum simpatiknya. Lalu ia mencondongkan badan untuk berbisik, "Kukira, selain ksatria jenius, sisi lain dirimu adalah seseorang yang ceroboh. Baru hari ini, bagian jiwamu yang sesungguhnya terungkap."

Hindra tertawa, "Bisakah seseorang yang ceroboh membentuk pemantapan kultivasi langka hanya dalam rentang waktu beberapa tahun?"

Dewi Rayumi membelalakkan mata. "Apakah kau tidak merasa perlu untuk sekedar berbasa-basi merendahkan diri?"

"Tidak perlu. Bukan kebiasaanku," jawab Hindra acuh tak acuh.

"Sombong!" Rutuk Dewi Rayumi.

"Kalau ada yang mau senior sekalian diskusikan, marilah. Saya akan menjawab sebisanya." Hindra melanjutkan, tanpa menghiraukan kecantikan memesona disebelahnya yang membelalakkan mata sampai ke tingkat terbeliak.

Inilah pernyataan yang ditunggu-tunggu. Sigemuk segera bersuara, "Pada tingkatan apa kultivasi Tuan Muda saat ini?"

Dan sigemuk menggaruk-garuk kepalanya, karena suaranya tenggelam oleh suara lain. Empat belas jenius puncak Elang Bintang ada di sana. Walau pun mereka bersuara santai, tapi getaran energi yang dibawanya mampu memerangkap gelombang suara jenius lain, meski seberapa keras pun yang lainnya berbicara.

Makanya walau banyak mulut yang termangap-mangap seperti ikan kehabisan oksigen, suara yang sampai ke depan, adalah berasal dari mulut Sang Janin. Seorang jenius puncak yang kultivasinya di bawah level Ralang Puntang.

"Tuan muda, apakah bakat hanya mempunyai pengertian sebatas itu? Bagaimana peran sumber daya, kecerdasan, dan metode pelatihan yang tepat? Banyak kulihat, seseorang yang berkultivasi dengan gigih, malah dikalahkan oleh seseorang yang berkultivasi tidak segigih dirinya."

"Eh, masuk akal juga." Timpal suara lain.

Kasak-kusuk pun terjadi. Tapi, bagai diraup tangan raksasa, suara Hindra menelan semua keributan itu.

"Kecerdasan adalah sesuatu yang dibentuk secara berkelanjutan. Orang cerdas adalah mereka yang meyakini dirinya cerdas. Orang yang sudah gigih berkultivasi, tidak mampu melampaui orang yang berkultivasi biasa saja, karena ia mempunyai belalang imajiner yang terbang di dalam pemahamannya.

"Kita anggap keyakinan kuat adalah pedang tajam. Keyakinan belalang adalah sendok garpu. Sementara sekat kultivasi adalah secangkir air. Pedang tajam akan membelah cangkir dalam satu tebasan, sementara sendok garpu, mungkin bisa membocorkan cangkir, tapi butuh tusukan yang kesekian."

"Ini lebih masuk akal!" Timpal banyak orang.

"Apa tingkatan kultivasi tuan muda?" Sigemuk melolong sebelum ada yang bicara. Sayang setengah jalan, pertanyaannya tenggelam. Karena Sang Janin kembali menghempaskan suara sigemuk dan melenggang sendirian dengan gagah perkasa.

"Kalau sumber daya bagaimana, Tuan Muda?"

"Sumber daya, pelatihan tepat, guru yang baik, merupakan kekuatan. Sementara keyakinan adalah pengantarnya. Seberapa kuat sumber daya dan lainnya, seberapa kuat keyakinan adalah dua kesatuan yang tidak dapat dipisahkan."

"Apa yang membedakan dirimu dengan yang lainnya?" Dewi Rayumi mendadak berbicara disisi telinga Hindra.

Suara Sang Janin langsung hilang dari udara. Ia yang mendominasi pertanyaan dari tadi, tidak berani bertingkah dihadapan kecantikan nomor satu paviliun. Walau pun tingkat kultivasinya lebih tinggi.

"Perbedaan diriku? Aku lebih yakin."

"Benarkah? Apakah jenius lain tidak ada yang sekuat keyakinanmu?"

Hindra menggeleng tegas.

"Bagaimana dengan sumber daya yang kau terima, keberuntungan dalam kultivasi berjumpa dengan banyak keajaiban yang mampu mengantarkan ke tingkat yang bahkan belum pernah disentuh dua belas paviliun lainnya selama ratusan tahun ini?"

"Keyakinan. Entah itu berwujud sumber daya, entah itu bernama keberuntungan, atau pun kehadiran keajaiban beserta tokoh ajaib, itu semua terbentuk dalam satu kata kunci; yakin!"

"Benarkah?!" Agak menyentak suara Dewi Rayumi.

"Keyakinanlah yang menarik keberuntungan itu. Ia adalah jalan besar yang menjadi titian semua angan terwujud dalam kenyataan!" Hindra tersenyum. Dan ia mendadak menyadari, sedari tadi, ia belum pernah mati kutu pada perempuan ini. Hal ini membuatnya bersemangat. "Kakak Yumi. Bukankah kau pernah mendengar aku adalah orang pertama yang menyelesaikan latihan di Bangsal Besar? Masih teringatkah dirimu saat tuan guru Naga Agung berkata, akulah satu-satunya orang dari generasiku yang menelan Permata Inti Api Naga level satu dan sanggup menerima semburan ludah naga dua puluh kali dalam empat puluh sembilan hari?

"Keyakinan itu berintegrasi menjadi ketabahan tanpa batas pada penderitaan diluluh lantakkan ludah naga. Coba tanya orang-orang yang hanya menelan Permata Inti Api Naga level dibawah itu, mereka tidak berhasil menuju standar tertinggi permata, apa tidak karena digentarkan oleh ketakutan?"

"Kau mengerikan!" Sungut Dewi Rayumi.

Lalu berturut-turut pertanyaan yang lain dari banyak jenius dijawab Hindra. Bahkan sigemuk berhasil melontarkan pertanyaan tunggalnya, dipercobaan yang kesekian. "Apa tingkatan kultivasi tuan muda?" Suaranya lemas, wajahnya kuyu. Tampilan dirinya adalah perwujudan tangkai sendok raksasa.

"Tingkat kultivasiku tidak penting. Kau akan tahu sendiri nantinya."

Akhirnya sigemuk menggelosoh di kursi. Ia telah berusaha, dan berhasil mendapatkan jawaban. Tapi, entah mengapa hatinya mengkal luar biasa.

***

Hindra bersama Tuan Sura, Ralang Puntang dan Dewi Rayumi, duduk di dalam ruangan kultivasi paviliun.

Remaja itu mengeluarkan batu mulia sebesar ibu jari dari dalam selongsong lengannya. Ia mengetuk ringan batu itu dan beberapa benda yang ukurannya berkali-kali lipat dari pada batu mulia penyimpanan, keluar dari dalamnya.

Sebuah tanduk sepanjang dua jengkal, memancarkan kilau biru redup, tergeletak di atas lantai. Auranya mampu menyendatkan pernapasan Tuan Sura dan kedua anaknya, bahkan biasan cahaya memenuhi semua ruangan.

"Tanduk Kerbau Lumpur Kuno!"

Kerbau Lumpur Kuno adalah sesosok kerbau yang telah berkembang menjadi sebesar gajah. Tubuhnya berotot. Tinggal di kedalaman rimba yang paling jauh. Keberadaannya sangat langka. Satu tanduknya setara dengan lima batang Pohon Darah Naga.

Bagi para Ksatria dibawah level Ksatria Perunggu, tanduk ini bisa memurnikan energi dan memungkinkan peningkatan kenaikan level energi. Bahkan, bagi para pembentukan kultivasi level Ksatria Perak, saat mereka melangkah menuju dasar level Ksatria Perak, Tanduk Kerbau Lumpur Kuno ini akan memberikan manfaat cukup signifikan.

Lalu, Rumput Tujuh Warna. Hanya tumbuh di tempat angin dan panas menyinari bebatuan dalam frekuensi yang seimbang. Muncul lagi Keping Salju Air Muara. Berasal dari proses buih muara yang berubah menjadi salju. Dalam ratusan tahun, belum tentu bisa ditemukan satu kali kejadian titik dingin membekukan buih air muara.

Kemudian tiga tangkai Bayam Sisik Berlian. Pengkristalan embun pada tangkainya, membuat bayam ini memiliki harga jual setara tujuh butir mutiara tingkat utama.

Hindra mengetuk batu mulia lagi dan beberapa sumber daya ajaib lainnya bermunculan dengan cepat. Seperti fosil telur Rajawali Emas, lima lembar sisik Naga Agung yang telah direndam dalam Kolam Dewa selama seratus tahun. Tumbuhan Lumut Inti Lahar dan beberapa jenis buah langka yang bahkan sangat jarang dijumpai keberadaannya dalam lemari penyimpanan sumber daya paviliun.

Beberapa sumber daya memang tidak terpakai oleh Hindra, dan sang naga memperkenankan dirinya membagi pada orang yang ia pilih. Sementara ratusan sumber daya lain, beserta ratusan butir mutiara tingkat roh, tingkat utama dan tingkat mulia. Ratusan butir mutiara tingkat satu, tingkat dua dan tiga, masih banyak tersimpan di dalamnya.

Sesungguhnya sang naga sangat kaya raya. Dalam satu batu mulia yang ia berikan pada Hindra saja tersimpan nilai puluhan kota di dalamnya.

"Ini semua untukku? Tanya Ralang Puntang tercekat. Sesak napasnya membayangkan, bahwa akan datang hari di mana ia diajarkan cara untuk menjadi heran seheran-herannya.

Heran yang pertama, mengapa ada orang seperti Hindra, yang mengeluarkan sumber daya tingkat tinggi semudah orang mengeluarkan tumpukan cucian kotor. Begitu tergeletak di lantai, tidak sedikit pun ditolehnya lagi.

Heran yang kedua, mengapa dirinya yang mendapatkan pemberian itu, bagaimana Paviliun Segitiga Emas. Apakah Hindra memberikannya juga? Kalau tidak, bukankah ini sama artinya dengan: mengangkat saudara, melupakan kerabat. Menyanjung budi, mengetepikan ikatan darah.

Heran yang ketiga, Ralang Puntang belum merumuskan bagaimana wujud keheranan itu, yang jelas dia tidak puas jika hanya memiliki dua poin heran.

"Berkultivasilah kakak berdua melalui sumber daya ini, ramu sesuai petunjuk Ayah Sura."

Inilah pemberian dari saudara kecil mereka. Ralang Puntang beserta adik dan ayahnya, sampai kehabisan kata-kata.

"Apakah kau tidak membutuhkan semua sumber daya ini? Tanya Tuan Sura hati-hati.

"Tidak Ayah."

"Ada di level mana tingkat kultivasimu saat ini?"

Meski pertanyaan beliau sama dengan sigemuk, tapi bobotnya sangat berbeda.

"Ksatria Perak Tingkat Dua." Jawab Hindra santai.

"Apa?!" Tiga buah mulut sama ternganga.

Tuan Sura menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub. Level itu malah bukan milik bangsawan paviliun. Anak ini terlalu mengerikan. Bahkan nasibnya seperti bualan. Langit telah mendongengkan kisah dengan sangat berlebihan.

Ralang Puntang dan Dewi Rayumi pun lama mematung. Pernyataan Hindra berdentum dan mengiang berulang kali di telinga mereka. Bukankah dulu remaja ini baru memasuki dasar level Ksatria Perak. Ada perjalanan panjang, sekat tebal dan kegigihan kultivasi tahunan, bahkan seumur hidup untuk menembus level itu, dan Hindra mencapainya hanya dalam satu tahun.

Pandangan tiga beranak itu semakin berubah. Yang duduk dihadapan mereka bukan lagi remaja ajaib, tapi benar-benar seorang raksasa dunianya kesaktian. Gambaran dalam benak mereka pun telah merekam keagungan Hindra. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, sebuah rasa penghormatan dan ketidak berdayaan terpancar dari sikap mereka. Bagi Ksatria Perak Tingkat Dua, para Ksatria Perak Tingkat Satu ke bawah adalah semut yang bisa diinjaknya hanya dengan sebelah kaki.

"Bagaimana Paviliun Segitiga Emas, apakah kau tidak membantu mereka? Itu semua murid Ayahmu. Keberhasilan mereka berarti penambahan kekuatan bagi paviliun kalian."

"Ya, Ayah. Tapi, saat ini Ayahku sedang mengadakan latihan tertutup bagi para murid jenius puncak. Sementara para murid lain pun tengah memasuki ketatnya latihan dibawah pembimbing mereka masing-masing. Aku masih menunggu keputusan Ayah Bangsawan Emas." Jawab Hindra.

Bangsawan Tenaga Raksasa mengangguk lega. Berarti ia tidak perlu sungkan lagi, sumber daya ini sah menjadi milik mereka. Mengenai ucapan terima kasih dan janji muluk, tidak akan terucap dari bibirnya, karena hubungan mereka telah melampaui itu semua. Yang jelas, Hindra adalah darah dan daging Paviliun Elang Bintang, menyakiti dirinya sama dengan melukai keseluruhan paviliun Tuan Sura!

Dengan dibantu beberapa tetua pengajar, Tuan Sura menyiapkan wajan besar untuk menggodok ramuan.

Sayang beberapa tetua pengajar yang memiliki keahlian pengobatan paviliun belum memiliki keahlian setara Tuan Suci Sambung Nyawa. Kalau orang tua itu, saat ia membuat api, dan air mendidih ia bisa langsung memasukkan semua ramuan yang dibutuhkan, sementara tetua paviliun harus berhati-hati menemukan komposisi dan tingkat peleburan energi dari sumber daya, agar tidak terbuang sia-sia.

"Mari kita tinggalkan tempat ini Hindra. Dua hari kedepan kedua orang kakakmu sudah bisa berkultivasi menyerap energi ramuan."

"Baiklah Ayah."

Ketiganya pun kemudian keluar ruangan.

Begitu mendekati aula paviliun, Hindra tercengang. Ia merasakan tekanan aura Ksatria perak lainnya, beserta kekuatan tingkat tinggi lainnya. Ia hendak bertanya pada Tuan Sura, tapi orang tua itu malah bercakap-cakap dengan kedua anaknya sepanjang langkah mereka keluar.

Begitu gerbang aula mereka masuki, Hindra tertegun dan melebarkan matanya, lalu sambil tergopoh ia menghampiri sesosok tubuh tinggi gagah dalam balutan jubah keemasan yang duduk didampingi perempuan cantik berwajah keibuan.

"Ayah, Ibu, bagaimana kalian bisa datang kesini juga? Bukankah Ayah sedang membimbing para senior dalam pelatihan tertutup?"