webnovel

Legenda Sang Raja Dunia

Dalam Gugusan Qaf, terdapat puluhan benua besar yang terpencar-pencar, dipisahkan lautan dan tirai semesta. Ketika para raja agung dari berbagai negara di benua membuka batas wilayah masing-masing, perkembangan ilmu beladiri pun melesat menuju era kejayaannya. Tapi, seimbang dengan kemajuannya, sebuah pengorbanan besar pun kerap terjadi demi kemuliaan jalur beladiri. Banyak negara yang tumbuh semakin kuat, banyak juga yang hancur dan hilang dalam catatan sejarah. Pada masa damai, orang-orang perkasa kesulitan menerobos batas kultivasinya, pada zaman kekacauan, banyak naga perkasa yang lahir melukis kebesarannya di gugusan langit. Hindra memiliki konsep sendiri dalam beladiri. Ia membenci keserakahan perang para jenius demi keuntungan pribadi. Ia bangkit, menciptakan jalannya sendiri, berusaha menyatukan dunia besar di bawah keadilan yang manusiawi.

Roby_Satria · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

ch-14 Tersimpul Kuat, Terhunjam Dalam

"Datanglah besok ke Paviliun Elang Bintang, Ayah pasti senang menyambut kehadiranmu." Kata Ralang Puntang.

Hindra mengangguk. Mereka saat ini sedang berdiri di halaman Paviliun Segitiga Emas. Malam telah sangat larut ketika kedua orang saudara angkatnya itu berpamitan pulang.

Meski berada dalam satu kawasan Istana Awan, tapi jarak antar paviliun cukup jauh. Luas satu paviliun sendiri setara dengan luas satu desa. Yang melingkari paviliun adalah taman-taman, kemudian padang rumput luas yang mana pada satu sisi bagiannya terdapat danau buatan, lalu disambung tebing-tebing, bukit kecil. Dan dibelakang bukit itu terdapat hutan lebat.

Ruang tertutup paviliun adalah tempat mereka belajar teori, dibimbing cara penyerapan energi mulia serta menaikkan level kultivasi, sementara kawasan luar mereka tempat berburu, tempat bersiasat dan mengintai dalam latihan pertarungan kelompok atau perorangan. Meski tidak seganas Rimba Masa Silam, tapi buaya yang menghuni muara, ular yang bersarang di gua atau melilit pohon-pohon tua, serta harimau dan binatang buas lainnya masih cukup merepotkan bagi sebagian besar murid para bangsawan.

Hanya saja binatang buas itu tersembunyi di bagian dalam hutan, tekanan aura bangsawan cukup untuk membuat mereka ketakutan dan mengambil jarak hingga radius beberapa kilometer.

Paviliun terdekat di samping kiri Paviliun Segitiga Emas adalah Paviliun Genta Langit, yang ketuanya adalah Tuan Pangayun sang Bangsawan Busur Halilintar. Sementara dibagian kanannya terletak Paviliun Gerbang Nirwana, yang dipimpin Tuan Guntar, dengan nama kebesarannya, Bangsawan Tonggak Benua. Walau tetangga terdekat, tapi dari tempat Hindra dan saudaranya berdiri, kedua paviliun itu hanya menampakkan kubahnya yang temaram tersamar pekat malam.

Kedua saudaranya telah bersiap melangkah, ketika mendadak Hindra berkata, " Aku agak ragu memanggil adik kepada Dewi Rayumi."

Kakak beradik itu membalikkan badan mereka.

Hindra tersenyum, dan sambil berlagak sebagai angkatan yang lebih tua, ia meletakkan tangan di belakang punggung, lalu menegaskan, "Apa Kakakmu ini boleh tahu usia adik yang sebenarnya?"

Meski Hindra mengatakan agak ragu memanggil adik, tapi ia tetap tidak merubah cara penyebutannya.

Ketebalan mukanya ini bisalah disetarakan dengan ketebalan dinding batu yang tidak pernah terkikis walau ditiup oleh angin segala musim.

Dewi Rayumi terkikik renyah. Wajah cantiknya laksana purnama yang dijatuhkan langit dari ketinggian sana. "Coba kakak tebak?" Ujarnya lembut.

"Jangan merepotkan kakak. Biarlah tebak-tebakan jadi hobi khusus Ibu, sementara adik Yumi berlaku manislah sebanyak mungkin." Kekeh Hindra.

Dewi Rayumi kembali tertawa dan tawa yang mengalir dari bibir kelopak mawar itu mampu membuat orang gelagapan dimabuk pesona.

"Dua hari lalu usiaku genap tujuh belas tahun."

"Wah, kakak harus memberi hadiah pada pergantian usiamu." Ia tersenyum. Tapi senyum itu membeku diujung bibir

"Oh, adik ..., Oh, hem, yah!" Hindra bersorak gempar. Baru beberapa saat ia pulang, tapi entah sudah berapa kali tangannya menggaruk kepala. Andai ia punya kebiasaan menowel hidung, sudah sedari tadi hidungnya terpental meninggalkan wajah.

"Ya sudah, memang nasibku harus jadi saudara termuda. Semua panggilan 'adik' selama ini jangan diambil hati ya. Aku takut kesusahan hatimu bisa membuat semua pemuda jenius dari berbagai paviliun terpaksa harus membentuk antrian panjang hanya untuk sekedar mencekik leherku."

Ralang Puntang tercengang. Sebenarnya satu tahun berada di bawah bimbingan Naga Agung Kolam Dewa, Hindra belajar keilmuan ataukah belajar cara merayu perempuan?

Dan Ralang Puntang sudah malas untuk merasa heran. Percuma! Hanya membuat sia-sia waktunya yang berharga.

"Sampai jumpa besok, Kak." Gurau Dewi Rayumi.

Hindra menjura sopan, "Iya Kak."

***

Setelah selesai membersihkan diri, Hindra melahap semangkuk sup daging Kelinci Ekor Ungu. Binatang ini termasuk sumber daya yang mampu meningkatkan energi mulia para jenius peringkat bintang. Tapi, bagi Ksatria Perunggu ke atas, daging ini tidak memengaruhi kultivasi mereka, tapi masih bermanfaat untuk meremajakan kulit serta sedikit menguatkan tubuh.

"Makanlah yang banyak. Hari ini semua masakan adalah istimewa dan semuanya khusus untukmu." Ibu menambahkan Jamur Pemurni Energi, yang dimasak dengan Cairan Lebah Bunga Raja.

Tiga jenis masakan itu saja sudah bisa membuat para ksatria dari kalangan rakyat biasa merampok satu kota. Makanya dijalur kultivasi yang keras ini, mereka yang bukan jenius beladiri dan tidak memiliki syarat belajar di istana atau perguruan skala bintang 2 ke atas, hanya bisa menjadi petarung biasa. Mungkin kemampuan mereka ajaib diluar sana. Tapi bagi Istana Awan, tokoh besar dari dunia kesaktian luar mampu dikalahkan oleh jenius rata-rata yang baru beberapa tahun berkultivasi.

"Mengapa Ayah belum juga keluar dari ruang kultivasi, Bu?" Tanya Hindra dengan pipi membuncit dan bibir mengunyah dalam kecepatan mengagumkan. Walau suara yang dihasilkannya agak aneh, tapi masih bisa terdengar sebagai sebuah kalimat.

"Ayahmu sudah tiga hari membimbing kakak-kakak seniormu dalam pelatihan tertutup. Ia mengatakan akan keluar dua hari kedepannya."

Hindra mengangguk, lalu tangannya bergerak menjangkau Jamur Pemurni Energi, tapi buru-buru ibu menepis, "Kau adalah raja hari ini, biar Ibu yang ambilkan." Mulutnya berkata begitu, sementara mata ibu bergidik jijik pada tetesan kuah diujung jari Hindra yang hampir jatuh ke dalam mangkuk jamur.

Setelah menyelesaikan makan besarnya dengan gegap gempita, Hindra memejamkan mata, menuntun lapisan energi memurnikan bagiannya masing-masing.

Kemudian saat ia membuka mata, kilatan tajam aura dalam sedetik menggetarkan seluruh ruangan. Ibu terpekik kaget. Untung beliau juga memiliki tingkat energi mulia yang besar. Dengan menekan ujung meja, Ibu berhasil menyelamatkan semua makanan dari ancaman terhempas kesegenap penjuru.

Ibu bergidik. Hanya sedetik dan itu cukup membuat jantungnya berdetak kencang.

"Lain kali kau makan bebek panggang atau ikan semah biasa saja!" Gerutu Ibu, "Sumber daya mahal hanya akan membuat ruangan ini hancur jadi debu."

Hindra terkekeh meminta maaf. Ia menyadari tadi agak terlambat mengontrol energinya.

Setelah cukup lama berbincang, ibu memerintahkan pelayan membersihkan meja makan.

"Kemana tujuanmu hari ini?" Tanya Ibu.

"Aku akan mengunjungi Ayah Sura." Kata Hindra sambil mengelap mulutnya. "Lagi pula aku membawa oleh-oleh untuk Kakak Ralang."

"Jangan lupakan Dewi Rayumi. Bantu perkembangan latihannya juga." Tukas Ibu.

Ah, sicantik itu. Hindra agak tertekan ketika bayangan seorang perempuan layaknya peri melintas di dalam benaknya. Sebentar bersama saja sudah memusingkan kepala, apalagi jika harus membantu pelatihannya.

"Aku pergi dulu, Bu."

Hindra tidak berani menjanjikan akan mengajari Dewi Rayumi saat ini. Jika nanti ia sudah bisa menjinakkan perempuan itu, baru semuanya akan ia pertimbangkan.

Dua belas jalan utama paviliun, semuanya membentang di belakang Istana Awan. Untuk menuju Paviliun Elang Bintang, Hindra harus melewati jalan milik Paviliun Gerbang Nirwana. Tubuhnya hanya berjalan biasa, tapi beberapa kejap berikutnya, Hindra sudah mencapai jarak lima kilometer. Ia berbelok ke kiri, memasuki jalan milik Paviliun Bulan Malam, yang dipimpin oleh Tuan Tuba, sang Bangsawan Telapak Iblis. Dari jalanan itu, bangunan paviliun yang di dominasi warna hitam, terlihat menyimpan aura magis. Taman-tamannya pun dihiasi tumbuhan berwarna hitam, hanya lapangan berumputnya saja yang memiliki warna hijau cerah.

Beberapa kilometer lagi, ia memasuki jalanan yang memiliki pendakian dan penurunan curam karena mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit. Inilah jalanan milik paviliun paling misterius dalam kawasan Istana Awan, yaitu, Paviliun Persemayaman Kematian. Pimpinannya Tuan Guhara, gelarnya Bangsawan Kabut Misterius.

Sesuai dengan namanya, tempat ini memiliki aura yang lamat-lamat bisa membangkitkan bulu kuduk. Sepanjang pinggiran jalan, sengaja ditanami jajaran pohon bambu. Taman dan lapangannya serimbun hutan, karena dipenuhi pohon tua dalam ukuran raksasa. Kabut tebal menggantung di langit, memeluk juntaian akar beringin, merayap diatas rerumputan dan bahkan meski siang hari, orang bisa tersesat bila tidak berhati-hati. Bahkan bagaimana bentuk paviliun tidak terlihat dari jalanan ini.

Tapi, Hindra malah menyukai tempat seperti ini. Di sini ia bisa meningkatkan kecepatan tanpa diketahui orang lain. Segera selubung perak memandikan tubuhnya dalam kemilau cahaya terang, bersama kerjapan ribuan petir, kabut terguncang, hanya sekejap mata ia telah melesat jauh hingga ke atas perbukitan.

Kakinya menapak di depan halaman Paviliun Elang Bintang. Beberapa murid yang sedang berlatih di lapangan berumput serta yang duduk santai di bangku-bangku taman, serentak menoleh pada sosok yang baru turun dari ketinggian beberapa meter itu.

Semua cahaya terserap kembali ke dalam tubuh dan Hindra melangkah sambil memamerkan senyum riangnya. Tidak ia pedulikan tatapan terkejut dari orang-orang, bahkan dengan santai ia berkata, "Para senior, Hindra dari Paviliun Segitiga Emas bermaksud mengunjungi Ayah dan Kakak Ralang Puntang."

"Ha, inilah Tuan Muda Hindra yang perkasa. Mari-mari, biar aku yang mengantarmu ke dalam." Dari tengah lapangan berumput, seorang remaja gemuk sebayanya berlari kecil menghampiri.

"Aku juga, aku juga!"

Beberapa yang lain segera mengerubungi Hindra, memandangnya dengan tatapan sepenuh minat dan merasa bangga bisa berjalan bersisian dengan remaja yang telah menggemparkan dua belas paviliun itu.

"Ahem, karena aku yang pertama kali menawarkan diri, maka kuharap yang lain bisa memberi jalan."

Remaja gemuk itu memasang lagak besar, menguak kerumunan, tapi tidak ada yang bergeming. Semua sibuk menawarkan jasa pengantaran, seolah jarak paviliun yang tinggal seujung hidung dengan jalan lurusnya yang hanya butuh beberapa langkah lagi masih bisa menyesatkan Hindra jika dilalui sendirian.

"Hei tuan muda, tolong aku membuka kerumunan!" Remaja gemuk melongok-longok dari antara punggung sambil melambai-lambaikan tangannya.

"Hai, kawan, permisi, permisi!"

Tapi tidak ada yang peduli.

Senyum riang Hindra segera berganti kejengkelan. Ternyata menjadi tenar itu merepotkan.

"Permisi kawan, per ..., ppfftt, ppfftt!"

Terdengar suara mulut dibekap, lalu disusul bantingan.

"Aduh!"

"Apa itu?!" Teriak kerumunan.

"Sigemuk jatuh!"

"Oh!"

Tidak ada simpati. Semua perhatian tertuju habis pada Hindra, tidak ada ruang untuk berbagi. Dengan kemampuan luar biasa, masa depan telah berada digenggamannya, maka koneksi harus dibangun sedini mungkin.

"Jatuh, jatuh! Siapa yang membantingku tadi, ha?!"

Tidak ada jawaban. Malah suara sigemuk hilang dalam hingar-bingar bujukan kerumunan pada Hindra.

Melihat keadaan semakin berlarut-larut, Hindra segera berkata, "Marilah kalian semua mengantarkan aku, tapi jangan menghalangi jalan seperti ini."

Ia mulai melangkah, mau tidak mau yang berdiri di depan menguakkan diri, memberi jalan. Bahkan sigemuk yang tadi sempat putus asa untuk dapat mendekati Hindra, kini entah dengan cara bagaimana ia bisa berjalan disisi remaja itu.

Mulutnya mulai menjilat. "Telah lama tuan muda tidak ada kabar beritanya semenjak pergi berlatih ke kediaman Tuan Naga Kolam Dewa. Sekarang saat kembali tentu kemampuan tuan semakin bertambah hebat, ya, kan?"

Hindra mengangguk. Ia tidak berminat berbasa-basi, merendahkan diri.

"Tenang saja tuan, di sini aku berkuasa." Ia menepuk dada bangga. Tapi begitu melihat banyak lirikan seram tertuju ke arahnya, segera ia menambahkan, "Hanya saja kekuasaan itu berlaku pada dua, tiga orang junior yang baru masuk. Hehehe." Tawanya riang, bagai tanpa dosa.

"Kalau pada senior, kau langsung berubah menjadi kucing kecil penurut ya?" Tanya Hindra.

"Iya!"

"Eh?" Hindra kaget.

"Itulah namanya tau gelagat. Jalan kultivasi sangat keras. Selagi masih belum menjadi siapa-siapa, tidak masalah membungkuk rendah pada yang lebih kuat."

"Bukankah itu licik namanya?"

"Kalau tuan anggap licik, ya sudah, aku akan berubah. Yang penting tuan senang." Tawanya kembali terdengar. Ia benar-benar mempraktekkan apa yang ia ucapkan barusan.

Hindra menggeleng-geleng kepala. Dalam pembicaraan singkat, ia telah dapat membaca karakter sigemuk. Orang yang congkak pada si lemah dan menjilat kepada si kuat, akan sangat menakutkan bila dijadikan teman. Orang-orang seperti ini bisa menusuk temannya sambil tertawa. Tapi satu hal yang pasti, remaja disampingnya itu memiliki kepribadian terbuka.

"Di masa akan datang kita bisa berteman, asalkan kau rubah sikapmu yang menindas saat merasa kuat dan menjilat saat merasa lemah."

"Kami juga ingin menjadi sahabat Tuan Hindra!" Teriak yang lainnya. Mereka mulai sirik pada sigemuk.

"Tenang, Paviliun Elang Bintang dan Paviliun Segitiga Emas sama nilainya di mataku. Semua penghuninya adalah teman dan kita akan bersama dalam setiap perjuangan."

Semuanya segera menyambut ucapan Hindra dengan senang.

Ketika mereka memasuki aula paviliun, Tuan Sura dan anak-anaknya telah menunggu sambil menyunggingkan senyum lebar.

"Maafkan Ayah, Hindra. Aku sengaja membiarkanmu membaur dengan murid-murid lain, agar kau bisa memuaskan hasrat mereka yang memang telah memuja dan menganggapmu sebagai contoh dari generasi muda."

"Ah, Ayah!" Hindra segera mendatangi, menyalami sambil membungkuk hormat. Dan Tuan Sura dengan tangan kukuhnya merangkul Hindra penuh kehangatan. Cinta dan kebanggaan meluap dari matanya. Ini puteranya. Meski hubungan mereka tidak tercipta dari darah, tapi perasaan mereka tersimpul kuat dan terhunjam dalam dilubuk hati.