Rumah Zean.
Karena ada kegiatan hal hasil membuat Bara harus pulang sore, ia masih saja geram melihat Zean yang tadi di kantin.
Bara masuk menendang pintu.
"Mengapa kau menghantam pintu yang tidak bersalah itu?" tanya Zean santai.
"Diamlah!"
"Aku sedari tadi diamkan."
"Jangan menanyakan apa pun kepadaku," Bara melemparkan sepatunya ke rak sepatu.
"Dalam hal lempar melempar kau jago juga ya."
"Bukan urusanmu," ujar Bara membentak.
"Ohh Shit! Baiklah baiklah," Zean tidak melanjutkan ucapannya lagi, karena ia tau Bara sedang kesal dengan dirinya.
"Bara mau nanyak dong."
"Diam!"
"Upss, im sory," ujar Zean smirk.
"Sampai kapan kau akan seperti itu kepadaku?"
"Terserah padaku, aku tidak perduli dengan itu."
"Bara, apa kau tau. Saat kau marah kau terlihat lebih lucu."
"Aku tidak ingin mendengar suaramu," Bara segera pergi ke kamarnya, ia bodoh amat melihat Zean yang sedang duduk di sofa itu.
***
"Sudah malam, ayo makan malam," ujar Zean mendatangi Bara ke dalam kamarnya.
"Aku tidak mau makan memangnya kenapa!"
"Tidak kenapa napa, sepertinya kau benar benar marah padaku, baiklah setelah selesai makan kau bisa menghukummu sepuas yang kau mau," Zean duduk di antara meja belajar Bara, ia menyilangkan kakinya.
"Kau pikir, aku seperti dirimu? Yang selalu menghukum!"
"Ya, agar kau puas. Itu tidak masalah, kau juga tidak terlalu buruk."
"T I D A K."
"Ayolah Bara makan malam," Zean masih merayu rayu Bara yang masih matah dengan dirinya.
"Aku janji setelah ini, aku akan mengajakmu keluar."
"T I D A K."
"Bar!"
"T I D A K."
"Apakah kau inginku gendong, atau ku ikat?"
"Ckk..."
Karena terpaksa, akhirnya Bara bangkit dari rebahannya, ia mengikuti Zean buat makan malam.
Sebenarnya aku malas berbicara dengan orang ini saat itu, tetapi suaranya selalu saja membuatku candu, meski pun aku sudah menahannya. Ia sempat mau mengancamku, bukan karena aku takut, tetapi karena aku rindu Zean.
Hahaha aku tidak bisa, tidak bercakapan dengannya, anggap saja yang tadi itu hanyalah sebuah ektingku saja.
"Apakah kau sudah membaik?"
"Sudah lumayan, tetapi aku belum memaafkanmu."
"Ckk, aku harus apa? Apa aku harus menciummu lagi?"
"Aku tidak mau."
Aku memakan nasiku cepat cepat.
"Bara jangan terlalu terburu buru."
"Terserahku."
"Kalau begitu, aku juga makan sama sepertimu."
"Tidak perlu mengikutiku."
"Bara hayolah maafkan aku, aku hanya ingin menjaga kesehatanmu, aku menyayangimu."
"Diamlah sialan, kau terlalu berisik aku sudah memaafkanmu," ucapku ke ceplosan, lagian aku memang sudah memafkannya. Walau pun masih ada rasa sedikit kesal terhadap Zean.
"Bara bagaimana tadi kegiatanmu?"
"Melekahkan, tapi aku suka karena kami bisa bertukar pendapat."
"Bagus, kau sangat rajin nampak."
"Memgapa? Apa kau mengalami masalah di kelasmu?"
"Tidak kok, aku tidak punya masalah. Masalahku jika kau pergi dariku."
"Ahh, tidak usah mengeluarkan ucapanmu."
"Oke."
Zean pov:
"Huwaa..."
Zean terus terusan menguap beberapa kali, lama kelamaan Nata yang berada di sampingnya itu mulai terganggu.
"Kau ini dari tadi menguap saja, lebih baik kau cuci muka dulu Zean," ujar Nata sambil memperhatikan papan tulis.
"Diamlah, aku malas bergerak."
"Kau memang benar benar."
"Sudah, kau kembali fokus saja pada tulisanmu, yang tak seberapa," celoteh Zean.
"Mulutmu di jaga, ga usah ngebody shaming tulisan aku," Nata kembali mencatat apa yang di jelaskan guru di papan tulis.
"Huwaa...," sedangkan Zean kembali menguap, ia bosan dengan apa yang ada, apa lagi ini adalah jam jamnya les terakhir.
"Bisa ga sih lonceng pulangnya di percepat gitu, bosan amat aku lama kelamaan di sini."
"Zean berhentilah mengeluh, dan kamu bisa ga sih ga usah ngeluh."
"Mengapa kita harus mempelajarin sejarah, bukankah itu hanya masalalu? Lagian di zaman itu kita juga belum lahirkan? Bisa saja itu hanya sebuah karangan belaka, tanpa kejadian yang sebenarnya."
"Zean, kau terlalu banyak mengeluh."
"Aku hanya berlogika, bagaimana kalau kejadian sejarah tidak seperti apa yang terjadi? Kita tidak tau, sejarah hanya di tulis oleh orang orang yang masih hidup. Coba kau lihat apakah saat ini masih ada orang pra sejarah yang tertinggal?"
"Zean," ujar Nata sekali lagi.
"Ayolah Nata, kau orang terpintar di kelas ini, kau juara satunya. Harusnya kau lebih menyadari itu."
"Kau lebih baik diam."
"Aku hanya bosan, saat ini."
"Ini les sejarah, kau harus mencatat dan, mendengarkan agar kau mengerti."
"Ckk..."
"Zean sebenarnya pelajaran apazih yang kamu suka?" tanya Nata serius.
"Jam kos," Zean mengacungkan ibu jarinya.
"Dahlah, aku salah nanya orang, kalau begini engkau lebih baik diam deh benaran."
"Lalu mengapa saat aku diam, kau selalu membilang, Zean kau ini diam saja! Bla bla... bla...," memperagakan gaya Nata yang selalu ingin merbicara.
"Setiap pelajaran kau selalu mengeluh saat mati matika juga kau berkata, buat apa kita harus mengitung, itukan bukan urusan kita, lalu pelajaran fisika pun kau seperti itu, tidak ada kerjaan lain apa? Menghitung aktivitas seseorang biarkan saja mereka, apalagi sejarah, dan mata pelajaran lainnya, kau ini memang kebanyakan mengeluh."
"Ckkk..."
"Aku bukan mengeluh, aku hanya malas saja."
Nata menggeleng geleng kecel.
Sementara Bara di dalam kelasnya.
Berbeda dengan Zean, Bara lebih fokus, tenang, dan memperhatikan, setiap pelajaran ia selalu aktif, meski pun Zean, dan Bara sama sama aktif, tetapi sifat Zean yang selalu mengeluh, sama sekali tidak ada di Bara yang mengeluh. Ia lebih menikmati pelajaran yang di samoaikan, walau pun bosan Bara hanya diam saja, paling paling ia permisi untuk keluar sebentar, setelah itu kembali masuk kelas.
"Bara apa kau kenal adik kelas kita yang namanya Cindy?"
"Mengapa memangnya Angga? Angga jatuh cinta ya sama dia?" menopangkan tangannya kewajah, h jnj membuat muka Bara yanv seperti wanita semangkin imut.
"Tidak Bara, justru dia yang jatuh cinta denganmu," jelas Angga.
"Mana mungkin dia jatuh cinta denganku."
"Mengapa tidak, semalam dia membilangnya padaku, dia mau bertemu denganmu sewaktu pulang sekolah nanti.
"Aku akan menemuinya nanti," ujar Bara serius.
"Apa kau yakin?"
"Mengapa tidak," jawaban Bara membuat Angga dag dig dug, ia takut di sisi lain Bara akan menerima Cindy, di sisi lain juga Angga tau bahwa Barakan lurus jadi mana mungkin mereka berdua akan saling jatuh cinta. Itu membuat Angga hanya pasrah apa pun yang terjadi nanti.
Bara telah mendapatkan kontak Cindy dari Angga langsung, ia kemudian mengirim pesan untuk bertemu di kantin nanti sewaktu pulang sekolah, Cindy menyepakatinya.
Bara juga memberi tahu kepada Zean, untuk hal penting agar Zean mau menemani dirinya nanti ke kantin.
"Zean kau mau menemani aku tidak?"
"Kau mau kemana?"
"Sebentar saja, aku mau ke kantin."
"Memangnya ada apa?"
"Sudah ikuti saja aku nanti."
"Oke, terserah padamu."
***