webnovel

KETERIKATAN

Setelah mereka berdua menikah sifat Langit dan Sen berubah sangat drastis. Apa yang membuatnya berubah? Kayaknya, kalo begini terus hidup gue bisa berkurang 2 jam setiap harinya. Bagaimana bisa? Karena setiap harinya harus satu atap dengan seorang yang sangat buas, bahkan sama hewan buas seperti singa pun masih lebih indah singa deh. Rasanya pengen balik semasa belum menikah dulu, tepatnya satu tahun yang lalu. Ketemu gue yang lama, dan ngomong di depan wajah gue sendiri. "ELO TUH JANGAN ASAL IYA-IYAIN AJA DEH, LAIN KALI DI PIKIR MATENG-MATENG DAHULU DARIPADA KEDEPAN ELO SENDIRI YANG SUSAH, DAN ELO SENDIRI YANG REPOT"

Ervantr · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
269 Chs

Ada Apa?

"Senna?"

"Ada apa? Apa kamu tiba-tiba kebentur bola basket lagi? Ini ketiga kalinya dalam 6 tahun kamu meleponku lebih dulu" Ucap Senna sebal meskipun hatinya berdebar.

"Ibuku sakit, Senna. Mulai kemarin dia memanggil namamu terus. Katanya kangen kamu 6 tahun nggak ketemu" Jawab Langit.

"Mbok Ijah kok nggak telepon aku sendiri sih? Jujur aku makin capek dapet kabar kejutan yang bikin jantungan terus" Senna mengomel panjang.

"Aku baru tahu kalau HP yang kubelikan buat ibu rusak 3 bulan ini. Mentari nggak berani bilang. Maaf Senna, kalau nggak dipaksa Mentari aku sebenernya sungkan minta tolong kamu" Jawab Langit.

"Senna? Halo? Ini mbok" suara mbok ijah membuat air mata Senna menetes sedih.

"Gimana kabarnya?"

"Mbok selalu sehat. Sekarang cuman sakit dikit-dikit saja. Kamu tau ndak? Mbok sakit pas udah 2 bulan nggak kerja dirumahmu lagi. Kata ibumu mbok nggak usah kerja lagi gara-gara sepuh. Mentari sekarang kerja sambil skripsi loh. Jadi bisa mbantu Langit nyekolahin Bumi sama Guruh. Mbok kangen kamu nduk. 6 tahun kamu betah sekali di sana. Ibumu sering nangis kalo kangen kamu" Mbok Ijah panjang lebar bercerita.

"Iya, Senna 2 hari lagi pulang mbok. Nanti habis dari Jakarta, Senna bakal ke Surabaya nengok Mbok, Mentari, Bumi, sama Guruh" Jawab Senna menahan isakan.

"Loh, nggak nengok Langit juga?" tanya mbok Ijah diujung telepon. Terdengar cekikikan Mentari.

"Langit selalu peduli kok nduk. . . Oh ya, nanti kalau pulang bawa oleh-oleh loh. Mbok kan pengin ngerasain roti dari sana hehehe" Mbok Ijah terkekeh.

"Iya, Senna nanti bawa 3 koper deh! Ini Senna lagi di rumah sakit mbok. Kakak Senna lagi sakit"

"Walah. . sakno men toh yo. . Yawes, kamu makan yang bener loh. Ndak ada acara sakit-sakitan kalau muleh besok" Mbok Ijah menasehati Senna.

"Iya, tadi ibuk juga sempet nelepon. Yawes mbok, tunggu Senna yaa. . Teleponnya nggak usah dikasih Langit, Senna bakal matikan kalau mbok sudah selesai teleponnya" Ujar Senna.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Senna sekarang merasa sedih. Keegoisannya membuat dia tidak memikirkan orang lain. Senna pernah berjanji didalam hatinya bahwa dia akan pulang ketika sudah sukses. Agar Langit melihatnya dan memohon dihadapannya untuk memafkan semua kesalahannya. Tapi Senna benar-benar tidak pernah melihat dari sudut pandang orang lain. Begitu banyak orang yang mencintainya. Untuk apa dia mengejar cinta Langit dan menanti hubungan yang digantung seperti jemuran selama 6 tahun.

Senna benar-benar membenci Langit sekarang. Dengan air mata yang diseka sekenanya, Senna melihat ibu kakaknya yang sudah datang dengan berjalan tergesa. Ketika wanita paruh baya itu melihat Senna, wanita itu memeluknya dan berterima kasih. Senna membalas pelukannya dengan hangat.

"Terima kasih Senna, Kalau tidak ada dirimu dan Roben entah apa yang terjadi. Dimana Roben?" Tanya wanita itu.

"Dia menemani Lien dikamarnya. Apakah aku sekarang boleh pulang?" Tanya Senna pelan.

"Oh tentu saja. Lihat! Wajahmu sudah terlihat lelah sekali. Cepat pulang dan beristirahatlah. Kau mau pulang ke Indonesia 2 hari lagi. Jangan sampai keluargamu disana melihat dirimu yang sakit. Aku tidak bisa memafkan diriku kalau hal itu terjadi" Ucap wanita itu kemudian menepuk pelan pundak Senna dan melanjutkan langkah kearah kamar Lien.

"Elis, aku minta tolong katakan pada Roben kalau aku pulang duluan. Aku tidak mau merepotkannya"

"Baik. Hati-hati di jalan. Oh ya, aku masak sop merah. Cicipi, kalau enak kau bisa makan sepuasnya"

"Terima kasih, sampai jumpa" Senna melambai dan segera berjalan kerumah. Tidak lupa dihapusnya kontak Langit dari Smartphone nya. Dia tidak mau lagi dibodohi oleh perasaan bodoh itu. Senna bertekat melupakan Langit dari hidupnya.

***

Hari ini Senna sudah menyelesaikan penerbangan Amsterdam menuju Singapura untuk transit. Senna merenggangkan badan sejenak karena pegal-pegal. Tadi, penumpang disebelahnya merupakan perempuan paruh baya dengan bayi usia 23 bulan yang sangat rewel. Senna tidak bisa tidur karena bayi itu terus rewel. Mungkin karena perjalanan pesawat yang sangat membosankan. Perempuan paruh baya itu hanya bisa meminta maaf kepadanya dan terus menenangkan anak bayi itu dengan bermain sticker agar tidak bosan.

Untunglah, dalam perjalanan Singapura menuju Jakarta Senna menemukan kedamaian dan bisa segera terlelap. Tetapi, perjalanan Singapura ke Jakarta sangatlah sebentar. Tidak sampai 2 jam. Saat pesawat akan Landing, jantung Senna berdebar. Sudah 6 tahun dirinya tidak menyentuh negara ini. Dirinya benar-benar terharu. Senna tidak sabar untuk segera bertemu ibunya.

Ketika kakinya menyentuh Terminal 3 Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Senna dikejutkan oleh sesosok laki-laki yang mati-matian ingin ia lupakan. Senna benci mendapati laki-laki itu yang menjemputnya. Senna benci karena hatinya bekhianat dan berdebar kembali mendapati sosok itu kian mendekat kearahnya. Laki-laki jangkung itu sedikit berubah karena kian dewasa. Setelah berdiri dihadapan Senna, Laki-laki itu membuka mulutnya.

"Senna, aku hanya jemput kamu. Jam 2 siang nanti aku balik ke Surabaya. Aku nggak pernah cocok sama Jakarta. Kamu kelihatan sehat" Ucap laki-laki itu dengan kalimat terpanjang dibanding kalimat yang tiap hari ia katakan.

Senna benar-benar merasa tolol. Harusnya dia benci Langit, harusnya dia bisa melupakan Langit. Harusnya daftar kontak Langit yang sudah dia hapus cukup untuk menandakan bahwa Langit sudah hilang. Tetapi kenyataan berkata lain.

"Senna, ini bukan Eropa. Aku tidak memeluk orang lain di keramaian" ucap Langit singkat.

"Aku bukan orang lain Langit. Kita dari TK sampai SMA sama-sama terus loh. Mbok Ijah juga ngurus aku dari kecil" Sahut Senna percaya diri. Padahal hatinya sudah malu setengah mampus karena ditolak oleh Langit.

"Kamu nggak nanya kenapa ibumu nggak jadi jemput kamu?" tanya Langit mengalihkan topik. Tangan kokohnya bergerak mengambil alih trolley bandara yang berisi 3 koper besar Senna.

"Paling juga ibuk males macet. Terus kebetulan ada kamu yang mungkin lagi ada urusan kantor di Jakarta dan kamu bisa disuruh-suruh"

"Ayo kuantar ke hotel. Ibumu sudah menunggu" Langit berjalan cepat didepan Senna.

Senna sangat senang dengan kepulangannya ini. Tante Sri, adik kandung ibunya juga sangat baik. Tante Sri yang mengurus hotel untuk ibunya dan dirinya. Bahkan tante Sri meminjamkan salah satu mobilnya untuk Senna pakai.

Senna sekarang sudah duduk manis didalam mobil sambil menatap Langit. Langit banyak berubah. Wajahnya jauh lebih dewasa dari terakhir kali mereka bertemu. Kulitnya menggelap dan kecoklatan. Senna benar-benar terpesona dengan ketampanan Langit.

"Langit, Mentari sekarang mandiri ya. . Bumi juga sekarang sudah semester 4 kan? Nggak kerasa ya" ucap Senna memecah kesunyian.

"Mentari banyak membantuku. Dia menyelesaikan skripsinya sambil bekerja" jawab Langit.