"Bram, bukankah kamu berlebihan, kalo sampai harus bersikap dingin ke mereka." Samuel merasa sikap Bram keterlaluan. Harusnya, Bram lebih mengerti. Karena tidak semua orang mau menerima sikap dinginnya. Bagi Samuel dan Anang, bisa-bisa saja mereka menerimanya. Tapi kalau untuk ketiga temannya itu?
"Kamu kan tahu. Saya nggak suka dengan orang baru." Bram masih bersikeras dengan egonya.
"Tapi Bram. Dengan sikap kamu dingin mereka, bukan berarti kamu bersikap ke mereka, layaknya kamu ke kita berdua." Tambah Anang.
Memang benar. Selama ini yang bisa mengerti sikap dinginnya Bram, hanyalah mereka berdua. Tidak ada orang lain yang bisa dan mampu menerima sifat dingin Bram.
"Terus saya harus gimana?" Bram memang tidak mengerti, apa yang Samuel dan Anang katakan.
"Ya kamu, harusnya bersikap lebih hangat ke mereka. Gimana kamu bisa berteman sama perempuan. Kalo sikap kamu aja, bikin mereka semua ngerasa nggak nyaman, Bram." Jelas Samuel menatap Bram. Dari awal masuk kuliah, Bram tidak punya teman dekat perempuan. Teman laki-laki yang Bram kenal saja. Hanya ada, Samuel dan Anang. Karena mereka sudah berteman sejak SMP. Cukup lama persahabatan mereka.
"Saya nggak bisa kalau harus kayak gitu ke mereka. Saya juga nggak terlalu kenal dekat." Bram menyerah. Bram tidak suka dengan kehadiran orang baru. Orang baru bagi Bram, terlalu rumit. Rumit karena semuanya harus memulai dari nol lagi. Harus berkenalan lagi, harus mulai memahami pikiran masing-masing dari mereka lagi.
"Bram.. Ayolah.." Bujuk Samuel pada Bram. Bram berdiri, berniat berpamitan pada mereka berdua.
"Kalau harus minta saya bisa hangat ke mereka atau nggak. Saya nggak bisa. Saya duluan." Bram meninggalkan kedua sahabatnya yang menatap kepergiannya.
Bram memang begini dari awal. Ia jarang berbicara. Jarang sekali untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru. Alasan Bram menjadi seperti itu, masih belum bisa dipastikan oleh ketiga wanita yang kini sedang duduk di bangku taman kampus.
"Gimana, jadi keluar nggak nih?" Mereka berniat untuk melaksanakan rencana yang sudah mereka sepakati pagi tadi.
"Kalian ini lupa apa? Kan aku dikasih hukuman sama Pak Abdi. Suruh bersihin kamar mandi lantai tiga. Baru kelar jam lima sore pula."
"Oh iya. Yaampun Kei.. Sial banget nasib kamu. Sekarang masih jam dua siang Kei. Apa kamu mau kita tungguin?" Aku merasa tidak enak. Karena membuat mereka berdua menunggu, aku segera menyuruhnya untuk pulang lebih dulu.
"Nggak deh. Kalian pulang aja. Aku mau beresin kamar mandinya dulu. Baru nanti kita omongin lagi. Oke?" Aku buru-buru naik ke lantai tiga, untuk mengerjakan perintah dari dosen mata kuliah tadi pagi.
Jam menunjukkan pukul lima sore. Aku sudah hampir menyelesaikan hukumanku.
Segera bergegas turun ke lantai bawah. Ada beberapa siswa kuliah sore yang datang. Aku segera pergi meninggalkan wilayah kampus. Karena mungkin, Ayah dan Bunda sudah menungguku di rumah.
Karena tadi pagi aku berangkat bersama dengan kedua sahabatku. Kini, aku harus mencari tukang ojek online.
Karena tergesa-gesa untuk segera pulang ke rumah, aku berjalan sambil berusaha untuk memesan ojek online. Karena saking fokusnya pada handphone yang kubawa. Aku tidak sadar, tiba-tiba..
BRUKK!!
Tubuhku terjatuh kearah kiri jalan. Lengan kananku terasa begitu nyeri dan sedikit pegal. Handphone yang ada di genggamanku terlempar jauh ke tengah jalan.
Aku berusaha berdiri dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba, tubuh besar menghampiriku dengan memberikan sebuah bantuan tangan. Berniat untuk membantuku berdiri.
Aku pun menerima bantuan tangannya. Laki-laki itu memberiku sebuah handphone dari genggamannya. Dan ternyata, memang milikku yang terlempar jauh tadi.
Laki-laki itu melepaskan helm yang ia kenakan di kepalanya.
"Saya minta maaf, ada yang luka?" Tunggu sebentar. Suara dingin itu? Paras wajahnya benar. Dia Bram. Laki-laki yang telah menolak tawaranku untuk kembali bersama ke gedung fakultas.
"Bram?" Aku sedikit terkejut. Aku tidak percaya, bahwa itu adalah dia.
"Saya minta maaf, karena sudah nabrak kamu." Dengan tatapan dinginnya. Ia meminta maaf padaku. Karena merasa bersalah, ia menanyakan keadaanku.
"Gapapa. Cuma lecet sedikit." Lenganku sedikit tergores aspal. Terlihat sedikit darah muncul di bajuku.
Karena Bram menyadari itu. Dia langsung mengantarkanku pulang.
"Saya antar pulang. Jam segini jarang ojek online mau nerima." Ucapnya dingin. Tanpa menoleh dan menatapku.
Memang benar, hampir magrib. Kemungkinan besar, ojek online jarang untuk bisa menerima.
Memang menyusahkan saja dosenku itu.
"Nggak usah. Aku bisa naik taksi kok." Aku menolak halus tawaran Bram. Karena merasa tidak enak, harus pulang bersamanya.
"Paling nggak biarin saya tanggung jawab. Karena sudah buat kamu jatuh." Ia menaiki motornya. Lalu, menepuk jok belakang, mengisyaratkan untuk aku segera naik.
"Yakin gapapa?" Tanyaku sekali lagi padanya.
Ia hanya berdeham. Mengiyakan jawabanku.
Dengan terpaksa, aku menumpangi kendaraan.
Anggap saja, ini sebagai bentuk perkenalan hangatku dengannya.
Di sepanjang jalan..
Udara sejuk menyelimuti kulitku. Angin yang berhembus kencang, membuat jantungku berdegup lebih kencang lagi. Karena laki-laki yang sedang membonceng untuk mengantarkanku pulang.
Bau parfum Lacoste E-Sport benar-benar tercium pekat di hidungku. Sangat harum..
Membuatku ingin memeluknya. Tapi, aku tidak senekat itu untuk memeluknya. Karena aku bukan siapa-siapa.
"Dimana?" Ia membuka pembicaraan di tengah perjalanan.
"Dimana apanya??" Ucapku agak kencang.
"Rumahmu."
"Oh rumah. Di perumahan Bougenvil indah blok D nomor tujuh." Ucapku memberikan alamat lengkap. Karena tidak mau ia merasa kebingungan dengan jalan arah menuju rumahku.
Tak ada jawaban. "Kamu tahu?" Tanyaku padanya. "Nggak."
Yang benar saja. Dia ingin mengantarkanku pulang. Tapi tidak tahu arah jalannya. Padahal jelas aku sudah memberinya alamat lengkap rumahku.
Memang laki-laki aneh.
Mataku sayu-sayu. Kantuk mulai berdatangan. Memang perjalanan dari kampus menuju rumahku lumayan jauh. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai.
Sesampainya di rumah..
"Bangun." Ia menepuk lengan tanganku.
Aku yang tersadar karena sudah tertidur di punggungnya, merasa sungkan.
"Eh, udah sampe ya? Maaf aku ketiduran." Aku langsung turun dari motor. Dan menatapnya sekilas.
"Gapapa." Ucapnya singkat, lalu menyalakan mesin motornya.
"Bram.." Panggilku sebelum ia benar-benar pergi.
Dia menoleh, seperti mengatakan "Apa"
"Gimana kamu bisa tahu rumahku di sini." Aku sedikit penasaran. Dia bilang, tidak tahu jalan ke rumahku. Tapi tiba-tiba saja, aku terbangun dan sudah berada di depan rumah.
"Sesuai alamat." Katanya.
"Tapi kamu bilang, kamu nggak tahu." Dia itu memang aneh. Bilang tidak tahu, ternyata tahu.
"Yang penting udah sampai rumah. Saya duluan." Menancapkan gas, lalu pergi meninggalkan pekarangan rumahku.
Saking ngebutnya dia mengendarai motor. Aku sampai lupa mengucapkan terima kasih padanya.
"Bramm.. Makasih ya.." Teriakku , menatap punggung Bram yang mulai menjauh.
Tak ada jawaban dari Bram. Tapi, hari ini jauh lebih menyenangkan. Senyum di bibirku tiba-tiba terbentuk sempurna. Senang rasanya, bisa diantar Bram sampai rumah.
Karena hari sudah petang, dan aku baru saja pulang dari kampus. Aku segera masuk ke rumah. Untuk menjelaskan apa yang terjadi di kampus, yang membuatku harus pulang terlambat.
Baru saja aku masuk, Ayah, Bunda dan juga Ken sudah menungguku. Terlihat mereka duduk di ruang keluarga.
Aku takut kali ini aku akan dimarahi habis-habisan oleh Ayah. Karena aku lupa memberinya kabar, kalau aku harus pulang terlambat.
"Ayah, Bun..." Belum sempat menyelesaikan ucapanku. Sudah dipotong terlebih dahulu oleh Ayah.
"Darimana saja, Kei? Kok baru pulang?" Ayah menatapku dengan tatapan serius kali ini. Karena Ayah sendiri tahu. Kalau aku ada kuliah pagi, seharusnya siang aku sudah di rumah. Tidak sampai berlarut malam seperti ini.
Aku sudah menyampaikan pada kedua sahabatku, kalau aku akan pulang terlambat. Bukankah seharusnya mereka menyampaikan pada Ayah dan Bundaku.
"Eh, anu Yah.. Kei tadi pulangnya terlambat, karena Kei harus nyelesein hukuman dari dosen." Aku berusaha menjelaskan sejujur-jujurnya pada Ayah.
Bunda dan Ken hanya mendengarkan saja. Karena mereka tahu, kalau sudah berurusan dengan Ayah. Pasti berbeda lagi ceritanya.
"Harusnya kan pulang siang. Kenapa sampai harus pulang selarut ini?" Ayah benar. Harusnya aku memberinya kabar. Bukan malah sibuk dengan dunia hukumanku.
"Kei dapat hukuman Yah. Kei ketahuan nggak dengerin dosen waktu diterangin di depan kelas. Kei ngelamun." Ucapku pasrah. Karena memang begitu faktanya.
"Ngelamunin apa kamu?" Tanya Ayah padaku. Tidak, masa iya aku harus menjelaskan sampai ke akar-akarnya. Tentunya aku malu karena ketahuan, memperhatikan Bram.
"Iya ngelamunin materi kuliah Yah. Memang Kei, ngelamunin apalagi selain itu?" Aku tidak tahan kalau harus beradu mulut dengan Ayah.
"Pulang sama siapa?" Aku diam. Sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Apakah aku harus mengatakan padanya, kalau aku pulang dengan laki-laki yang baru kukenal di kampus.
Aku hanya menatap wajah Ayah. Belum berani memberikan jawaban.
Ayah memandangku dengan tatapan penasaran. "Pulang sama siapa Kei Saira?" Ucapnya sedikit tegas kali ini.
"Teman kuliah Yah."
"Teman yang mana? Jani sama Rahma. Dia udah pulang duluan tadi, kata ibunya." Ah, benar. Mereka sungguh tidak memberitahu Ayah dan Bunda, kalau aku tidak pulang bersama mereka.
"Bram.. Yah. Namanya Bram. Tadi waktu Kei habis keluar dari kampus. Kei nyari ojek online. Terus saking buru-burunya. Kei nggak lihat jalan raya. Bram nggak sengaja nabrak Kei. Karena Bram ngerasa bersalah, dia nawarin buat nganterin pulang." Jelasku pada Ayah.
Ayah mengangguk mengerti penjelasanku.
"Yasudah kalo gitu. Jangan pulang malam-malam lagi ya, Kei." Ia mengelus pucuk kepalaku. Memberikan nasihat, agar aku tidak pulang terlambat lagi nantinya.
"Tadi suara motor laki-laki, itu siapa Kei?" Ken membuka suara.
"Eh.." Aku gugup. Padahal Ayah dan Bunda tidak membahas soal, siapa yang mengantarku pulang.
"Iya. Bunda tadi denger suara motor laki-laki. Terus kamu dateng. Siapa, Kei?" Duh Bunda. Aku kira, Bunda tidak akan mempertanyakan hal itu.
"Oh anu itu.. Ojek online." Ucapku cepat. Tidak mau terlihat gugup di hadapan keluargaku.
"Ojek online, apa pacar baru kamu?" Ayah yang tiba-tiba melontarkan kata-kata itu. Membuatku sedikit terkejut. Jantungku berdegup kencang, karena takut kalau Ayah marah.
"Bukan Ayah. Itu ojek online.." Aku tetap dengan jawabanku.
"Ojek online kok sepeda motornya keren." Jawab Ken dan Bunda secara bersamaan.
Aku menganga. Mengapa bisa bersamaan pengucapan kalimatnya. Mereka memang sudah tahu, atau sengaja untuk berpura-pura tidak tahu.
"Kenapa Bunda sama Kakak bisa tahu. Kalo yang nganterin pulang Kei cowok?" Karena terlalu bersemangat. Aku jadi lupa, kalau tidak seharusnya aku bertanys seperti itu.
Ayah, Bunda, dan Kak Ken tertawa puas. Aku justru tidak paham dengan candaan mereka.
"Ciee yang dianterin pulang sama cowok." Ayah menyolek hidungku dengan tangannya. Dari awal aku sudah curiga, kalau mereka semua sudah tahu. Karena suara motor Bram yang berisik, membuat keluargaku penasaran. Apalagi, baru kali ini ada suara motor laki-laki selain suara motor kakakku yang mendatangi rumah.
"Apaan sih. Orang cuma temen." Ketusku pada mereka. Mereka yang justru tertawa karena berhasil menggodaku, membuatku merasa malu.
"Temen apa temen, Kei" Ken lagi-lagi menggodaku. Dia itu memang benar-benar kurang kerjaaan. Selalu saja, usil padaku.
Karena sudah tidak tahan dengan mereka semua. Aku memutuskan untuk naik ke lantai atas menuju kamar. Sebelum menaiki anak tangga, tanganku ku sempatkan untuk menarik rambut Ken terlebih dahulu.
"Rasain nihh!" Dengan sekuat tenaga, aku berhasil membuat Ken meringis kesakitan, karena sudah membuat rambutnya tertarik sampai kepalanya menoleh ke atas.
"Aduh aduh!! Sakit Keii?!!!" Aku tertawa, lalu pergi meninggalkan mereka yang sedang ada di ruang tamu.
Bunda dan Ayah hanya diam dan geleng-geleng. Ia merasa heran pada kedua anaknya yang tiap harinya kerjanya hanya bertengkar saja.
Mereka tidak marah, karena itu wajar-wajar saja. Di usia kami, sedang ingin-inginnya untuk kembali ke masa muda. Sering bertengkar, dan beradu mulut sudah menjadi hal lumrah bagi Ayah dan Bunda.
Aku dan Ken memang sering berkelahi. Bahkan, kepalaku pernah bocor karena ia benturkan di pot marmer yang ada di depan rumah. Ayah tidak pernah marah, tapi Bunda yang selalu mengomel. Ken dimarahi habis-habisan oleh Bunda. Dan berharap, ia segera meminta maaf padaku, setelah kepalaku usai dijahit.
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius