Semenjak kejadian malam itu. Aku mulai penasaran dengan laki-laki bernama Bram. Bram bagiku, adalah laki-laki yang paling sulit untuk ku tebak pikirannya. Bahkan, untuk mengerti isi kepala Bram, harus membuatku menatap matanya dalam-dalam.
Yang membuatku penasaran adalah mengapa Bram menatapku sampai seperti itu?
Bram mengingatkanku tentang seseorang yang dulu pernah bersamaku.
Tepatnya lima tahun yang lalu. Ketika duduk di bangku kelas satu SMA. Aku pernah mencintai teman sekolahku. Ia berbeda kelas denganku.
Namanya Rakha. Rakha adalah laki-laki yang kusukai ketika pertama kali aku masuk SMA.
Aku dan Rakha dekat, ketika aku tidak sengaja menabraknya tepat sepulang sekolah. Karena merasa bersalah, aku segera meminta maaf. Aku mengajaknya untuk membeli sesuatu.
"Maaf ya, tadi nggak lihat kalo ada kamu lagi jalan kaki. Jadinya ketabrak deh." Ucapku mencairkan suasana. Aku dan Rakha masih belum terlalu kenal dekat.
"Oh, nggak apa-apa. Lagian, emang salahku juga kok jalannya terlalu ke tengah." Ia justru merendahkan dirinya. Dan memaafkan yang telah kulakukan padanya.
"Sebagai gantinya, kalo aku beliin pentol sebrang jalan. Mau nggak?" Tawarku padanya sambil tersenyum.
Dia tertawa kecil, mengangguk lalu mengikutiku berjalan kecil menuju ujung sebrang jalan. Ada penjual pentol langgananku di sana.
Sesampainya di sana, aku memakirkan sepeda ontelku dan memesan pentol, untuk kami makan berdua.
"Bang, pentolnya dua porsi ya.." Setelah memesan, aku mengambil posisi duduk yang tidak terjangkau panas matahari ; tempat yang dingin dan sejuk.
"Oke dek. Duduk aja dulu." Kata abang penjual pentol yang sedang sibuk menyiapkan pesanan kami.
Tempat duduknya lesehan. Aku dan Rakha pun saling berkenalan.
"Namamu siapa?" Tanyaku padanya.
"Satria Rakha. Panggil aja Rakha." Ucapnya, sambil mengulurkan tangan berniat untuk menjabat tanganku.
Aku membalasnya dengan uluran tangan pula. "Kei Saira. Panggil aja Kei." Aku tersenyum padanya. Begitu pun Rakha. Kami pun saling mengenal.
Sampai pada akhirnya, perkenalan singkat itu membuatku dan Rakha menjadi begitu dekat. Kami sering berkomunikasi. Pikiran kami hampir menyatu dan sinkron.
Yang membuatku senang adalah, kali pertamaku bisa berteman dekat dengan laki-laki. Apalagi seminggu setelah menjadi siswa baru. Secepat itu aku menemukan teman yang sefrekuensi denganku.
Setelah kami berbagi cerita. Rakha mengantarku pulang. Di sepanjang perjalanan, Rakha hampir bercerita banyak. Mulai dari keluarganya, mengapa ia bisa masuk ke sekolah itu, dan bagaimana ia bisa mau berteman denganku.
Kedekatan itulah yang membuatku senang hingga sekarang. Dari perkenalan singkat itu, dapat menumbuhkan beberapa perasaan baru untukku.
~
Hari ini, aku mendapatkan jadwal kuliah sore. Tapi yang membuat malas adalah, aku harus pergi kuliah siang ini. Padahal aku memiliki jam kuliah pukul empat sore. Sedangkan, sekarang masih pukul dua belas. Aku segera bergegas karena mendapat panggilan dari pihak fakultas.
"Bun, Kei berangkat dulu ya?" Pamitku pada Bunda dengan wajah tidak bersemangat.
"Loh katanya kuliah sore. Kenapa sekarang udah mau berangkat." Justru itu yang membuatku tidak suka Bun. Aku sangat malas sekali, jika harus berangkat siang-siang bolong begini. Panas-panas pula.
"Kei dapat panggilan dari kepala fakultas Bun. Kei disuruh ke sana sekarang." Ucapku benar-benar tidak mood.
"Harus banget ya?" Bunda juga tidak ingin aku berangkat dengan keadaan panas seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi. Kalau tidak datang, pasti aku yang akan dimarahi.
Dengan berat hati, aku berangkat menumpangi sepeda motor, sendirian.
Sesampainya di kampus...
Aku segera menuju ruangan kepala Fakultas yang memintaku untuk datang siang bolong begini. Tentunya membuatku moodku malas untuk bertegur sapa dengan siapapun.
Di ruangan tersebut, aku berbincang-bincang mengenai beberapa hal pribadi, yang tentunya berkaitan dengan kuliah ini.
Menghabiskan waktu dua jam lebih, karena harus mengurus berkas-berkas yang belum selesai. Aku harus mondar-mandir mengelilingi gedung fakultas.
Setelah hampir dua jam lebih mengurus berkas-berkas, aku memutuskan untuk istirahat di kantin. Karena merasa lelah, dan cukup membuat keringatku bercucuran. Aku memesan segelas es teh manis.
"Mbak, es teh manisnya satu ya. Es batunya jangan banyak-banyak." Sambil menunggu pesanan ku datang. Aku mengisi waktu kosong dengan bermain ponsel.
Karena tak sadar, dan terlalu fokus pada ponsel. Aku tidak tahu kalau di depanku saat ini adalah Bram.
"Mbak, saya es susu stroberinya satu." Ucap laki-laki dengan suara dingin itu, Bram.
Seketika aku menoleh kearahnya. Benar, dia sedang berdiri di depanku dan menunggu pesanannya.
"Bram?" Panggilku. Ia menoleh, wajahnya sama. Masih datar. Tidak ada ekspresi.
Jam masih menunjukkan pukul tiga sore. Kurang satu jam lagi jam kuliahku akan dimulai. Sayang, kalau harus pulang kerumah. Daripada terlambat, lebih baik menunggu di kampus saja.
"Duduk sini aja." Kataku pada Bram. Karena hanya ada kami berdua dan beberapa mahasiswa yang sedang makan.
Aku baru sadar bahwa kelas kuliah pagi sudah selesai. Dan mahasiswa sudah banyak yang pulang. Tapi, mengapa Bram ada disini?
Tanpa ada jawaban, Bram duduk di hadapanku. Ia langsung memulai acara menyantap minumannya.
"Suka banget susu stroberi?" Tanyaku padanya.
Ia mengangguk. Tak ada balasan darinya. Benar-benar membuatku kesal. Hanya saja, karena Bram sudah bersedia duduk berdua denganku, walau hanya sekedar memesan minuman. Tapi paling tidak, Bram masih mau meresponku daripada sebelumnya.
"Sejak kapan suka susu stoberi?" Tanyaku lagi. Karena Bram tidak bertanya padaku, membuatku ingin sekali memberi banyak pertanyaan padanya.
Aku bukan tipikal orang yang suka mendiamkan atau didiamkan orang. Aku menyukai, ketika aku berkomunikasi dengan seseorang. Itu yang membuatku bisa berbagi pengalaman dengan banyak orang. Tapi untuk manusia es jenis ini saja, yang tidak suka kalau aku bertanya-tanya.
"Dari dulu." Jawabnya singkat.
"Oh. Baru selesai ngampus atau baru dateng?" Tanyaku sekali lagi padanya.
"Saya baru selesai ngampus." Lalu ia terdiam lagi.
"Gimana kuliahnya?" Tanyaku basa-basi. Karena ia merasa aku terlalu banyak bertanya.
"Harus ya?" Aku bingung dengan maksud pernyataannya.
"Harus apanya?" Ia menatapku lekat.
"Harus ya kalau saya jawab pertanyaan kamu." Ia berdiri, membawa gelas yang berisi es stroberi, lalu pergi meninggalkanku yang duduk terdiam layaknya orang bodoh.
Salahku apa? Apa yang membuatnya bersikap dingin padaku? Kemarin-kemarin saja bersikap hangat. Besoknya, berubah lagi. Dasar, labil.
Pukul empat sore. Kelas pun dimulai dengan sangat tenang. Aku mendengarkan dosen yang menerangkan kali ini. Karena tidak ada Bram. Tapi, yang membuatku tidak nyaman adalah mengapa Bram harus berbeda jadwal denganku. Kalau tidak ada Bram, aku menjadi tidak semangat. Bahkan, meskipun aku sudah mendengarkan apa yang dosen jelaskan. Tapi tetap saja, kalau tidak ada Bram. Rasanya sepi.
Duh Bram, kenapa harus beda jadwal gini sih..
Sudah hampir jam sembilan malam. Kelas kuliahku baru saja selesai. Tubuhku sangat lelah. Andai saja aku tidak menemui kepala fakultas siang tadi. Mungkin, badanku tidak selelah ini.
"Bawa motor sendiri Kei?" Tanya Jani padaku.
Aku mengangguk lemas. Inginku segera pulang lalu berbaring di ranjang kesayanganku. Benar-benar melelahkan hari ini.
"Oh pantes. Tadi kita jemput, kata Bunda, kamu udah berangkat duluan siang-siang." Sahut Rahma.
Pada akhirnya mereka pun berpamitan padaku. Aku yang harus segera menuju parkiran sepeda motor, butuh berjalan terlebih dahulu untuk sampai ke sana.
Beberapa lampu sudah padam. Aku yang berusaha untuk tidak takut dan tetap berjalan menuju parkiran. Karena hanya beberapa mahasiswa saja yang menuju parkiran. Semuanya terasa hening.
Dengan secepat mungkin, aku segera mengenakan helm dan sebisa mungkin untuk keluar dari area parkiran kendaraan.
Panik karena ketakutan, aku pun merasa tidak enak. Tidak sengaja sesuatu terjadi padaku...
Saking gelapnya, aku tidak melihat kalau ada orang yang lewat di depanku. Hampir saja tertabrak.
Terlihat laki-laki dengan jaket yang sama persis dengan yang kutemui sewaktu di kantin. Tidak asing bagiku. Dia Bram.
"Bram?" Panggilku. Dia berdiri tepat di hadapanku. Menghalangi sepeda motorku yang ingin lewat.
Tak ada sautan darinya. Dengan segenap hati, aku turun dari sepeda motor yang kutumpangi. Aku berjalan menyusul Bram.
Bram masih diam.
Seketika tangan Bram menarik lengan tanganku. Genggamannya saat ini, sangat kuat.
Ia menarikku untuk kembali ke atas jok motor. Dan Bram mengambil alih, untuk memboncengku.
Aku yang terkejut dan tidak tahu apa-apa, merasa sangat kebingungan. Bram yang tiba-tiba muncul di depanku. Membuatku sedikit takut untuk dekat dengannya. Namun, apa dayaku yang sudah ditarik lebih dulu olehnya. Mau tidak mau, aku menurut saja.
Bram, memboncengku hingga keluar dari wilayah kampus. Apa sebenarnya maunya?
Di pertengahan jalan, aku membuka pembicaraan. Karena daritadi, Bram tidak berbicara padaku. Karena aku ingin tahu alasannya harus memboncengku, aku bertanya padanya.
"Bram..?" Panggilku , ia tetap fokus mengemudi.
"Bram..?" Panggilku sekali lagi. Kali ini ia menjawab.
"Apa?"
"Kenapa harus naik motorku?" Langsung pada intinya, Bram benar-benar membuatku bingung.
"Memang nggak boleh?" Dia salah paham. Bram tidak mengerti maksudku. Maksudku adalah, mengapa ia sampai harus naik motorku, kalau ia sendiri membawa motor.
"Bukan gitu Bram. Maksudku, motor kamu di mana?" Bram terlalu sulit untuk kuajak bicara. Susah sekali.
"Motor saya rusak." Balasnya singkat.
Motornya rusak bukan berarti ia harus seenaknya naik motor orang. Benar-benar membuatku kesal.
"Kalo motor kamu rusak kan harusnya kamu bilang. Nggak seenaknya aja naik motor aku kayak gini." Aku yang lama-lama kesal dengan Bram. Membuatku mengatakan hal tersebut.
Tiba-tiba Bram menghentikanku disebuah minimarket. Bram memintaku untuk turun dari motor. Setelah turun dari motor, Bram memintaku untuk mencari tempat duduk yang disediakan di depan minimarket tersebut.
Dengan bodohnya aku, aku mau mengikuti semua perkataan yang dia katakan padaku. Padahal aku masih belum mengerti jelas tujuan Bram sebenarnya apa?
Bram membawa sekantung plastik. Lalu berjalan menghampiriku. Tatapannya masih sama. Tetap dingin padaku. Senyum pun belum pernah ia tunjukkan padaku.
Ia memberiku sebotol air putih dingin dan roti mini rasa keju. Dengan senang hati aku menerima pemberiannya.
"Makan, pasti laper." Katanya, kemudian membuka sekotak susu sapi rasa stroberi.
Aku yang sudah tidak tahan dengan sikapnya yang lancang ini. Membuatku ingin marah padanya.
"Bram, udah ya. Ini semua maksudnya apa?" Tanyaku dengan nada sedikit emosi.
"Motor saya rusak. Jadi saya butuh tumpangan." Ia berkata dengan jujur. Bahwa sepeda motornya tiba-tiba tidak bisa menyala.
"Terus, kenapa kamu nggak bilang ke aku, kalo kamu mau bonceng aku?"
"Kalau saya yang kamu bonceng. Nggak enak dilihatnya." Bram berkata dengan nada lembut. Baru kali ini, aku melihat Bram bisa selembut ini padaku. Hanya saja, raut wajahnya masih belum memperlihatkan raut wajah yang gembira.
"Tapi harusnya kamu ijin dulu dong sama aku. Masa iya tiba-tiba kamu nyelonong narik tangan aku buat ngikut kamu." Kataku kesal padanya. Karena memang, Bram tidak meminta izin padaku.
"Kalau saya minta izin, memang kamu mau?" Tanyanya padaku. Aku gugup, bingung menjawab apa.
"Yya.. Ya selagi aku bisa. Pasti aku mau lah" Jawabku asal.
Dia tidak mengubris perkataanku barusan. Karena ia sudah membuatku kesal, aku justru mendiamkannya balik. Daripada aku mengajaknya berbicara, tapi tak ada respon apa-apa.
Beberapa saat hening. Aku hanya diam, dan bermain ponsel. Bram yang melihatku bermain ponsel, langsung menatapku dengan lekat. Aku yang sadar sudah ditatap Bram seperti itu. Membuatku sedikit takut.
"Makan dulu. Saya tahu, kamu laper." Bram tahu benar keadaan perutku. Aku hanya makan beberapa suap nasi tadi pagi. Karena dari siang sampai sore aku harus menyelesaikan urusan. Aku belum sempat makan, hanya minum di kantin saja. Kini perutku sudah meronta-ronta ingin segera diisi.
"Kamu tahu darimana, kalo aku lagi laper?" Tanyaku padanya, sambil membuka bungkus roti tersebut.
"Saya ngeramal." Jawabnya singkat. Bram tidak bisakah berbicara lebih panjang?
"Maksud kamu, kamu bisa ngeramal aku?"
"Iya. Saya juga bisa ngeramal hati kamu." Tidak ada angin, tidak ada hujan. Bram mengatakan hal tersebut secara spontan.
Aku terdiam. Jantungku tiba-tiba mulai berdegup kencang. Entah apa yang Bram katakan, kali ini benar-benar di luar dugaan.
"Ah, ada-ada aja kamu. Masa iya, kamu bisa ngeramal hati aku." Kataku tak percaya pada ucapannya.
"Mau tahu buktinya?" Ia berusaha membuktikkannya padaku. Alih-alih membuktikan perkataannya barusan. Ia justru mengajakku pulang.
"Nggak mau pulang?" Dengan wajah datarnya, ia bertanya.
"Sekarang?"
"Kenapa? Masih mau sama saya lama-lama?" Tanyanya menatapku mataku, bahkan tak berkedip sama sekali.
"Enggak lah.." Ucapku cepat. Aku gugup, Bram selalu menatap bola mataku dengan seksama. Anehnya, ketika Bram menatapku seolah ada sesuatu yang ingin kutahu lebih jauh.
Kami memutuskan untuk pulang. Bram lagi-lagi membonceng ku. Dan aku duduk di kursi jok belakang sepeda motor.
Hari ini terasa berbeda. Bram mengemudi dengan santai dan tenang. Aku menikmati keadaan saat itu. Duduk berdua di atas motor dengan laki-laki. Menikmati udara malam Jakarta yang dipenuhi lampu taman kota.
Jakarta, malam itu. Ia benar-benar membuatku senang.