webnovel

Anisa Hamil

Tanpa berkata-kata lagi Sinta melangkah ke luar gerbang. Vira masuk ke kamar dan mendapati suaminya sedang tertidur pulas. Mungkin ia kelelahan karena semalam pasti ia tidak tidur sama sekali.

Vira mengintip keluar dari jendela kamar. Setelah satu jam Sinta baru masuk kembali kedalam rumah. Terdengar suara langkah kakinya yang lewat di depan kamarnya.

Vira membuka pintu perlahan, mengikuti Sinta yang menuju kamar Anisa. Dengan segera ia bersembunyi dibalik dinding, Sinta pun masuk ke kamar pembantunya itu.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Terdengar suara Sinta dengan nada ketus.

Namun, Vira tak bisa mendengar suara Anisa, mungkin karena perempuan itu selalu berbicara pelan.

"Ini bukan pertama kalinya buatmu, Anisa. Jadi kamu tak usah manja apalagi sampai memanfaatkan menantu saya untuk bermalas-malasan!"

Mulut Vira menganga mendengar ucapan Sinta. Itu artinya, Anisa sudah pernah hamil sebelumnya. Lalu dimana anaknya sekarang?

Kenapa semakin kesini makin banyak sekali teka teki yang membuatnya semakin pusing?

"Bagus. Jagalah bayi yang ada dalam kandunganmu itu dengan baik hingga dia lahir ke dunia. Saya tidak mau dia terlahir cacat!"

Vira semakin tak mengerti dengan ucapan ibu mertuanya itu. Dengan segera Vira menuju meja dapur, sembari mencerna ucapan Sinta barusan.

Untuk apa Sinta mengharapkan anak yang dikandung Anisa? Bukankah ia akan memiliki seorang cucu dari Vira?

Seketika Vira teringat kembali teriakan wanita dan anak kecil yang dibawa seorang wanita waktu itu. Jika wanita itu sudah meninggal, lalu kemana anak itu sekarang?

Pasti ada rahasia besar yang disembunyikan suami dan keluarga Vira, dibalik tingkah laku mereka yang begitu aneh. Bagaimanapun caranya Vira harus mengetahui rahasia mereka?

Vira duduk di meja makan menikmati jajanan yang dibeli di warung tadi, setelah itu ia melihat Sinta keluar dari kamar Anisa diikuti dengan pembantunya itu, yang keluar dari kamarnya menuju dapur.

"Kamu sudah dari tadi, Ra?" tanya Sinta pada Vira sedikit terkejut, mungkin karena Sinta takut Vira mendengar pembicaraannya dengan Anisa tadi.

"Baru saja kok, Bu." jawab Vira berbohong.

"Oh, ya sudah kalau gitu. Ibu keatas dulu ya Ra, ibu masih banyak kerjaan," ucap Sinta lalu beranjak naik ke atas menuju kamarnya.

"Kok gak istirahat, Mbak?" tanya Vira pada Anisa.

"Saya sudah baikan kok, Non." jawabnya lalu masuk menuju ke ruangan khusus menyetrika.

Vira meneguk air putih dingin dihadapannya hingga tandas dan menyusul Anisa ke ruang setrika.

"Ehh, ada apa, Non? Butuh sesuatu?" tanya Anisa.

"Mbak Anisa, sebenarnya lagi hamil kan?"

Anisa terkejut dengan pertanyaan Vira, Kemudian ia terlihat menghindari tatapan Vira.

"Aku sudah lihat loh, testpack yang diatas meja Mbak itu."

Anisa menoleh ke kanan dan ke kiri, ia terlihat sangat gugup setelah mendengar penuturan Vira.

"Siapa ayah dari bayi itu, Mbak? Kata Mas Panji, mbak masih lajang? Berarti mbak belum punya suami kan?"

Hening. Anisa hanya diam sambil tertunduk lesu. Dan Vira hanya memperhatikan Anisa yang tertunduk, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Mbak, ayolah tatap wajahku dan ceritakan apa yang terjadi? Jangan samakan aku dengan ibu ketika kita sedang berbicara!"

Anisa menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Lalu ia menatap Vira dengan tatapan datar.

"Sebenarnya saya dengan nona itu sama, hanya saja nasib yang membedakan kita," jawabnya dengan tatapan sendu.

Setelah itu ia berbalik badan dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, Vira hanya diam memikirkan apa maksud dari ucapannya barusan.

"Maksudmu apa, Mbak? Nasib apa yang membedakan kita? Kalau bicara yang jelas dong!" ucap Vira sedikit membentak.

Anisa tak menjawab, ia tetap berkutat dengan pekerjaannya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Vira.

Vira pun merasa kesal lalu pergi meninggalkannya tanpa bicara lagi. Dia keluar melalui pintu belakang, lalu duduk bersandar disebuah kursi kayu sambil menikmati angin yang berhembus menerpa wajah.

Entah apa maksud dari ucapan Anisa, mengapa bisa dia mengatakan kalau kita ini sama, dan hanya nasib saja yang membedakan kita? Apa mungkin kita dihamili oleh laki-laki yang sama?

Entahlah terlalu banyak berfikir membuat pikiran Vira menjadi kacau.

Cukup lama Vira merenung, akhirnya ia kembali masuk kedalam. Di ruang tamu Vira melihat Panji yang sedang bersiap hendak pergi lagi.

"Aku mau ke perkebunan dulu ya, sayang."

Vira hanya mengangguk, padahal biasanya ia tak ingin ditinggal sendiri olehnya, tetapi sekarang rasanya mendadak biasa saja.

"Kamu tenang saja ya sayang, sebelum maghrib Mas sudah sampai rumah kok," ucapnya lagi sambil mengelus perut Vira.

"Iya, Mas."

Panji mengecup kening Vira sebelum ia beranjak pergi. Seharusnya Vira bahagia dengan perlakuan manisnya, tetapi mengapa sekarang rasanya ada sesuatu yang mengganjal?

Vira melangkahkan kakinya menuju kamar lalu menguncinya dari dalam, lalu ia membuka lemari besar milik suaminya itu.

"Semoga saja aku bisa menemukan bukti-bukti yang bisa aku gunakan untuk memecahkan misteri keluarga ini." gumam Vira.

--