Ketika tinggal di kota, Vira dan Panji memang sangat jarang mengunjungi Sinta. Sekalinya mereka datang pun mereka jarang berinteraksi dengan para pekerja.
"Emm...maaf, Bu. Susi sudah tidak bekerja disini lagi, beberapa minggu yang lalu dia pamit pulang dengan, Nyonya," jawab Anisa.
"Pulang? Tapi Susi pulang kemana, Anisa? Dia gak ada pulang ke rumah?" Bu Marni tampak panik.
"Saya tidak tahu Bu. Saya masih ada kerjaan didalam, saya masuk dulu ya Bu, permisi."
"Ya Allah, Susi pulang kemana, Anisa? Ibu harus cari Susi dimana? Tolong bantu ibu cari ya, kamu bisa kan?" Bu Marni menangis sembari menatap Anisa sambil menggenggam tangannya.
"Baik, Bu. Anisa akan bantu cari. Tapi sekarang saya masih banyak kerjaan didalam. Biarkan saya masuk dulu ya, Bu." jawab Anisa sambil melepas cekalan Bu Marni.
"Permisi, Bu."
Lalu kami masuk kedalam, saat Vira menengok kebelakang ia melihat Bu Marni masih berdiri diluar memandangi kami dengan berlinang air mata.
"Mbak, apakah Susi itu asisten rumah tangga di rumah ini yang kata ibu-ibu tadi sedang hamil?"
"Iya itu, Non."
"Apa lagi ini? Kenapa aku merasa jika pembantu bernama Susi itu tidak baik-baik saja? Apa jangan-jangan wanita yang dibawa semalam itu adalah Susi? tapi anak ituu....?" batin Vira.
Jika memang benar wanita itu Susi, lantas mengapa Sinta dan Panji membunuhnya?
Vira merasa yakin jika yang membunuh wanita itu adalah Sinta, Panji dan Jodi. Apalagi setelah dia menemukan baju Panji yang berlumuran darah itu ditempat cucian.
Tetapi apa motif mereka membunuh pembantunya sendiri?
Hoek...!
Hoek...!
Huekkk...!!
"Mbak, kamu kenapa mual-mual gitu? Masuk angin?" tanya Vira memegang lengan Anisa.
Wajahnya terlihat pucat, beberapa kali ia menutup mulutnya, agar tak muntah di hadapan Vira.
"Tidak apa-apa, Non. Saya masuk dulu,"
Anisa berlari kencang menuju dapur dan memuntahkan isi perutnya di wastafel. Karena sudah menemaninya berjalan-jalan pagi ini, Vira pun menghampirinya.
Dengan segera Vira mengambil air hangat dan memberikannya pada Anisa.
"Aku kerokin ya, Mbak?"
Ia hanya menggelengkan kepala sambil menerima uluran gelas dari tangan Vira.
"Terimakasih, Non." ucapnya dengan wajah pucat.
"Ayo, Mbak saya antar ke kamar. Mbak istirahat dulu ya, nanti biar saya saja yang bilang ke ibu kalau Mbak Anisa sedang tidak enak badan."
Kali ini Anisa tak menolak bantuan Vira. Dengan segera dia membaringkan tubuh Anisa di atas ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut. Saat hendak berbalik badan untuk keluar tanpa sengaja Vira melihat alat tes kehamilan diatas meja dan alat tes kehamilan itu menunjukkan garis dua yang artinya positif.
Vira terhenyak, apakah mungkin Anisa mual-mual karena hamil?
Vira tak ingin banyak bertanya, dengan segera ia keluar dan masuk kedalam kamarnya. Kebetulan sekali suaminya itu ada didalam sedang bermain ponsel.
"Kamu sudah pulang, Sayang?" tanya Panji.
"Sudah Mas. Mas, Anisa itu udah punya suami atau belum sih?"
"Setahu Mas sih, dia masih lajang, belum punya suami. Nggak tahu juga dia masih gadis atau sudah janda." jawabnya sambil terkekeh.
Jika Anisa belum memiliki suami, lalu kenapa dia bisa hamil? Dan ternyata bukan cuma Susi yang hamil tanpa suami tetapi Anisa pun juga mengalaminya.
Bagaimana bisa dua pembantu di rumah ini hamil tanpa suami? Apa mungkin Anisa juga akan mengalami nasib yang sama dengan Susi?
"Ahh... Aku tak boleh berburuk sangka seperti ini!"
Saat sedang bersantai di teras rumah, Vira melihat Sinta sedang berjalan hendak keluar.
"Bu, Mbak Anisa sedang tidak enak badan setelah kuajak jalan-jalan tadi pagi. Jadi biarkan dia istirahat dulu hari ini di kamarnya ya, Bu."
Sinta tersenyum manis saat melihat Vira, tetapi entah mengapa Vira jadi merinding melihat senyuman itu.
"Sakit apa dia, Ra?" tanya Sinta dengan santai.
"Tadi, Mbak Anisa mual-mual gitu, Bu. Kaya orang hamil tetapi Mbak Anisa kan masih lajang, tidak punya suami ya. Mungkin cuma masuk angin saja, Bu." jawa Vira sambil tersenyum.
"Ya sudah, biar ibu tengok dulu ke kamarnya ya. Kamu istirahat saja di kamar sana! Kamu pasti capek kan habis jalan diluar!" Sinta menyentuh bahu Vira lalu beranjak menuju kamar Anisa.
"Tunggu dulu, Bu!"
"Ada apa lagi, Ra?" tanya Sinta sembari menghentikan langkah dan berbalik badan.
"Barusan diluar ada ibu tua datang Bu, namanya Bu Marni. Tadi dia mencari anaknya, kata ibu tadi anaknya kerja disini, namanya Susi."
Senyum Sinta perlahan memudar, lalu ia memalingkan wajahnya ke arah luar.
"Apa dia masih diluar, Ra?" tanya Sinta lagi.
"Vira, tidak tahu, Bu. Memangnya pekerja ibu yang bernama Susi itu kemana, Bu?" tanya Vira dengan sangat hati-hati.
Sinta langsung menatap Vira dengan tatapan tajam.
"Oh tuhan, apakah aku sudah salah dalam bertanya?" batin Vira sambil menelan ludah.
"Gadis itu sudah mengundurkan diri setelah ketahuan mencuri di rumah ini, Ra."
Bukankah Anisa bilang jika Susi pulang kampung karena melahirkan. Tetapi kenapa Sinta berkata demikian? Kenapa Sinta dan keluarganya selalu bertingkah aneh seperti ini?
--