Belum kapok, Cherry melanjutkan petualangan dengan memori masa lalunya dengan Goldi kala itu.
"Uh ... dasar, masa gue dibilang gila, mereka tuh ga tau apa-apa tentang gue!"
Cherry terus mengumpat sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah parkiran di lantai basement, sebuah restoran merah dengan logo kakek-kakek. Dengan langkah kakinya yang panjang, dia melangkah mantap dengan rasa percaya diri yang tinggi.
"Gue harus tampil cantik di depan dia."
Cherry menuju kamar mandi yang berada di dekat parkiran. Dia bercermin cukup lama, memoles bibirnya dengan lipstik merah bata favoritnya. Tidak lupa, menepukan bedak padat di wajahnya. Penampilan yang mengesankan dan mempesona untuk seorang wanita. Disemprotnya sebotol parfum untuk melengkapi kesempurnaannya. Cherry menghirup sendiri wangi tubuhnya.
"Perfect!"
Dengan sepatu berhak tinggi, rok mini dan tangtop belahan rendah yang dibalut dengan sebuah jas casual, membuat penampilannya terlihat sangat mengagumkan sebagai seorang wanita karir. Beberapa pasang mata memandang Cherry dengan decakan kagum. Sesampainya di meja kasir, Cherry meminta burger spesial dan kentang goreng serta minuman soda, masih-masing 2 porsi. Sejauh ini masih terlihat normal. Dibayarnya pesanan itu dengan uang cash.
"Meja 24 ya, Kak." Pramusaji memberikan sebuah nomer meja booking.
Cherry duduk manis di sana, seolah sedang menunggu seseorang. Beberapa kali dia melihat jam tangannya, kemudia membuka ponselnya. Terlihat lumrah memang, tapi sebenarnya, seseorang yang ditunggunya tidak akan pernah datang sampai kapan pun. Cherry mulai gelisah.
"Kok nomer Goldi ga aktif!"
Cherry mulai emosi, dia berteriak pada pramusaji yang sedang mengantarkan pesanannya.
"Eh mba, gara-gara lo kelamaan nganter pesanan gue, tunangan gue jadi marah kan."
"Ma-maaf, Kak."
"Maaf, maaf! Enak aja, tuh kan dia pergi!"
Si pramusaji merasa bingung, sejak tadi Cherry sendirian di kursinya.
"Ta-tapi, ga ada siapa-siapa Kak, dari tadi saya lihat, Kakak sendirian aja!"
"Apa maksud kamu ngomong begitu? Lo ngatain gue gila?!"
Pramusaji mulai ketakutan, akhirnya dia memutuskan meninggalkan Cherry lebih cepat, daripada kena omel lebih lagi. Dia melapor pada atasannya. Kepala restoran mendatangi Cherry.
"Maaf Kak, apa pegawai kami melakukan kesalahan?"
"Ya, dia ngatain gue gila! Yang bener aja, masa punya pegawai songong, ga tau tata krama. Gimana restoran kalian mau maju, kalo pegawainya sembrono begitu! Kamu harus memberinya surat teguran."
"Begini Kak, dari tadi memang Kakaknya sendirian aja loh. Jadi bukan maksud pegawai kami untuk mengatai Kakak dengan sebutan tadi. Bahkan pegawai kami tidak menyinggung tentang kepribadian Kakak sama sekali. Sebagai kepala restoran, saya mohon maaf atas kekeliruan ini. Silakan dinikmati hidangan yang kami sediakan."
"Ah ... daritadi semua nganggap gue orang gila! Pada kenapa sih? Iri kali ya lihat gue punya tunangan seganteng Goldi!"
Cherry memakan lahap sebuah burger yang sudah ia pesan. Setelah itu, dia berteriak histeris sambil meminta maaf dan menyebut nama Goldi berulang-ulang.
"Sayang, maafin aku, aku ga ada niat buat ngelukain kamu."
"Goldi, jangan tinggalin aku!"
Pengunjung merasa terganggu dengan sikap Cherry, terpaksa Cherry diusir oleh security. Berhubung emosinya sudah di ubun-ubun, Cherry menggerakan tangannya dan hancurlah ruangan itu dalam hitungan detik. Semua pengunjung berhamburan seperti semut, disusul para pegawai. Cherry tertawa puas, lantas pergi.
"Haha ... makanya jangan pernah main-main sama gue! Tanggung sendiri akibatnya!"
Wuuuish ....
Mobil Cherry melaju dengan kecepatan maksimal. Menuju bilangan Bintaro. Kali ini, entah tempat mana lagi yang ia tuju.
***
Di rumah sakit
"Bi, kenapa perutmu bisa luka begini?" Papi bertanya-tanya dengan wajah nelangsa.
"Oh ini, em ... semalem Cherry di ganggu preman, terus aku berantem sedikit, eh taunya dia bawa pisau, untung aku yang kena Pi, bukan Cherry."
"Kok ga ada yang bilang ke Papi."
"Udah lah, Pi. Sekarang aku kan udah ga apa-apa."
"Nih, Papi pesenin telur rebus, gak banyak. Kata mami, ini bagus untuk penyembuhan luka bekas jahitan."
"Makasih ya, Pi."
Bia memakan telur-telur yang masih hangat, dia juga berharap lukanya segera sembuh. Dia tidak ingin terus merepotkan papi.
"Papi gantiin baju yang dari rumah sakit ya?"
"Ga usah Pi, aku bisa sendiri."
Sebenarnya Bia menolak pertolongan papi karena ada mami di sebelahnya. Sudah pasti dia merasa canggung dengan adanya mami. Meski mami tidak berkomentar apa pun sejak ia ada di ruangan itu, tapi Bia merasa kalau mami kurang sreg dengan perlakukan papi padanya.
"Udah Pi, aku ganti sendiri."
Bia merebut sepasang baju berwarna biru, khusus baju pasien di rumah sakit itu. Susah payah ia berusaha memakainya.
"Aw ...!" seru Bia ketika lengan bajunya menyangkut di botol infus.
"Udah, sini Papi bantu. Jangan ngeyel!"
Sedikit bantuan dari papi akhirnya diterima Bia.
"Begini kan ga sakit. Coba dari tadi nurut, infusmu ga goyang kan!"
Bia diam tanpa kata. Sesaat kemudian, perawat datang membawa makan siang untuk Bia. Tanpa bertanya, papi menyendok makanan di piring ke mulut Bia. Mau tak mau dimakannya juga. Mami merasa gerah hatinya.
"Kemana, Mi?"
"Panas, cari angin!"
"Hmmm ... padahal ACnya cukup dingin."
Mami menitikan air mata, namun ia enggan menunjukan rasa sedihnya pada siapa pun. Mami menyusuri lorong di sepanjang rumah sakit. Langkahnya gontai, tidak ada tujuan. Matanya tertuju ke sebuah taman di rumah sakit tersebut.
"Loh, itu Cherry bukan sih?" gumam mami sambil menyeka air matanya sendiri.
Mami bergegas mengikuti seseorang yang mirip dengan Cherry. Rupanya mami kehilangan jejaknya. Mami berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dilihatnya benar-benar putrinya.
"Cherry bukan sih? Cepet banget jalannya, perasaan tadi ke sini. Kok ga ada ya?"
Kali ini mami menuju sebuah kursi di dekat sebuah ruangan. Sambil memijit perlahan kedua lututnya, barangkali terasa pegal karena seharian masih di rumah sakit. Lagi-lagi, ia melihat gadis yang ia cari sedari tadi.
"Cherry!"
Sayanya hak sepatu mami patah, saat ia melihat sekelebat gadis itu.
"Aduuuuh .... Yah, patah."
Mami mencopot sepatunya dan berusaha mematahkan satu hak lain yang masih menempel. Seseorang memegang pundaknya dari belakang. Saat itu juga, ia kehilangan kesadaran. Tubuhnya di bawa kesebuah ruangan. Mulutnya di bekap dengan plester berwarna hitam. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan tali yang sangat kuat. Tubuh mami meringkuk diantara tumpukan kardus yang besar. Seseorang duduk mengawasinya. Mulutnya terus mengunyah tanpa henti. Sesekali meludah kesamping kursinya.
Glotak!
Sebuah kaleng bekas minuman soda dilemparkan ke arah mami yang masih belum sadar. Kali ini ia bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah mami. Ditendangnya perlahan, mencoba membangunkan mami dengan cara yang kurang layak.
"Heh, bangun!"
Namun, mami masih saja belum sadarkan diri.