webnovel

Scene 1

"Aku yakin bukan begini kesepakatannya, Tuan." Seorang perempuan bertubuh sintal berdiri di depan pintu Apartemen Rose yang terbuka. Kamar 407 di lantai empat. Tangannya mengetuk-ngetuk papan kayu yang ada di tangan, menunjukkannya ke depan pria yang sedang ada di hadapannya. "Silakan baca ketetapan pasal empat ayat tujuh! Lembar terakhir!"

Bukan sebuah kelaziman ada yang bertamu lewat di jam sepuluh malam di apartemen bobrok Rose di distrik industri kota San Dimmo. Berisiko dan seolah mencari keributan yang tidak perlu, apalagi yang bertamu adalah perempuan. Tapi lorong-lorong yang sepi, kelabu, dan suram, sudah jadi terlalu takut untuk mengungkapkan kebenarannya di depan mata siapa pun. Padahal berdasarkan catatan, apartemen Rose penuh oleh para penghuni, tapi kini tidak ada satu pun suara yang terdengar. Seolah apartemen ini dihuni oleh entitas yang bukan manusia yang tidak butuh beraktifitas dan menimbulkan suara.

Tentu, pengecualian untuk pria paruh baya di depan sang perempuan.

Pria bertubuh tambun dengan kumis yang belum dicukur selama setidaknya tiga puluh hari itu, jelas adalah Manusia. Tidak ada makhluk mana pun di dunia bawah yang berpenampilan … buluk seperti ini.

Buruk rupa dan menyeramkan? Ya.

Buluk dan dekil? Dia belum pernah menemuinya.

Maka dari itulah, wajah sang perempuan sedari tadi berkerut-kerut kesal.

"Kesepakatan? Kesepakatan apa?" Ketika pria paruh baya itu bersuara, aroma mulutnya sarat akan aroma bir, junk food, dan sesuatu yang beraroma … agak feminim.

Sang perempuan tidak mau tahu asal aroma yang terakhir. Asal aroma itu tidak pernah menyenangkan untuk diketahui.

Pria itu merenggut papan kayu dari tangan sang perempuan. Matanya tampak menyisir tulisan demi tulisan di kertas itu, tapi ia tidak bisa membohongi sang perempuan. Mata pria itu tidak pernah fokus. Matanya adalah mata seseorang yang tengah dalam pengaruh alkohol parah.

"Kesepakatan ini tidak pernah aku ketahui!" Pria itu membanting papan ke depan dada sang perempuan. "Kesepakatan itu tidak valid!"

"Akan aku peras kau habis-habisan setelah ini, Rodri!" gerutu perempuan itu.

"Apa kau bilang?!" Rupanya pria itu tidak seberapa mabuk.

Sang perempuan menghela napas. Dia sebenarnya malas menjelaskan. Dia malas berkata-kata, apalagi di depan pria … yang buluk banget kelihatannya, mulai dari ujung kepalanya yang separuh botak dan hanya ditumbuhi sedikit rambut, sampai jari kakinya yang keliatannya cuma jempol semua dan bau sekali sampai-sampai hidungnya mati rasa.

Tapi ia tidak punya pilihan lain.

Misi ini sudah ia terima. Perjanjian sudah terukir di tangannya. Sekalipun bukan ia saksi dari perjanjian pria ini dengan pihak di seberang sana, ia harus menyelesaikan perjanjian yang telah dilanggar. Sebagaimana kontrak kerja ini ia terima dua hari lalu.

Dan bicara baik-baik sebelum bertindak, sudah menjadi kode etik bagi semua Algojo yang bertindak sendiri tanpa naungan agensi mana pun.

"Tapi dokumen perjanjian ini ditanda tangani oleh Anda sendiri. Ini Tanda tangan Anda, kan?" Ia mengabaikan tindakan kasar sebelumnya dan menunjukkan sekali lagi kertas perjanjian. Kali ini lebih sabar.

Padahal jelas-jelas lambang tertera di lembar pertama, berikut tanda tangan mereka berdua. Tapi Manusia di depannya ini masih saja mencoba mengelak.

Memang kalau kebohongan dihitung dalam perjanjian, semua persamaan bisa kacau.

"Di sini tertulis jika perjanjian sudah selesai, Anda harus membayar biaya sesuai dengan kesepakatan. Dan dua hari lalu adalah jatuh temponya. Saya di sini untuk menagih biaya itu."

"Dan aku bilang, aku tidak peduli, Bitch!" Tanpa diduga, pria itu menyambar papan kayu di tangan sang perempuan dan melemparnya, menyingkirkan papan itu sampai jatuh menghantam tanah.

Sang perempuan terdiam, menyaksikan papan berikut kertas yang telah dicampakkan di tanah itu.

"Aku paling benci kalau kontrak yang aku berikan dengan begitu murah hatinya dicampakkan oleh Manusia." Pesan itu bergema dalam kepala sang perempuan. "Jadi kalau sampai kontrak dariku ini sampai jatuh ke tanah….."

Kemudian ia mendengar suara kekehan tawa dari depan. Dengan malas, perempuan itu melirik ke arah sang pria. Menyaksikan untuk kesekian kali, tatapan satu lagi pria, terarah ke dadanya.

"Jadi namamu Ami…."

Sang perempuan diam saja. Dalam hati, ia mulai menghitung jumlah peluru atau tebasan yang bisa ia arahkan ke pria ini sebelum jiwanya tercabik dan jadi tidak bisa dituai oleh Dia.

"Aku lihat kau lelah sekali malam ini, Ami. Wajahmu begitu muram dan kusam." Ketika perempuan itu mendongak lagi, lelaki menjijikkan itu sudah menyeringai dengan wajah mesum. "Daripada memusingkan kontrak yang tidak jelas asalnya dari mana itu, bagaimana kalau kau beristirahat sejenak di sini? Aku punya minuman dan makanan sementara kau singgah melepas penat."

Sementara Ami diam menanti, pria di depannya sudah menurunkan tangannya dan meraba-raba bagian di antara kedua kakinya. Perempuan itu bisa melihat ada yang sudah mulai menonjol di balik selembar celana boxer yang ia kenakan.

"Bagaimana? Usulanku tidak buruk juga, kan?" Pria itu bertanya lagi. "Seksi?"

"Ya … itu tawaran yang menarik." Ami menyeringai. Dikatai jalang itu sesuatu, tapi mendengarnya dari mulut pria yang benar-benar menjijikkan membuatnya kesal setengah mati. "Untuk sampah yang tidak bisa berpikir, tentu saja."

Seketika ekspresi menggoda di wajah pria itu berganti dengan ekspresi marah. "Kau! Kurang ajar—

Ami bergerak cepat dan meraih ke balik jaketnya. Dalam sekejap, ia menodongkan pistol jenis Rapier ke wajah sang pria.

Ketika ada di dekat kepala sang pria, garis-garis merah di badan pistol Ami menyala merah. Seiring dengan itu, mata hitam sang pria mesum berubah, warna hitam irisnya berubah merah. Kemudian simbol yang sama seperti di kertas kontrak terlihat di dahinya, memerah dan segar terukir di sana. Seolah baru kemarin perjanjian itu dilaksanakan.

"Kau—Pistol itu—khh!" Pria itu tampak benar-benar gusar sekarang. Jika ada sisa-sisa alkohol yang membuyarkan pikirannya, semua sudah lenyap seketika. "Siapa kau?! Dari mana kau dapat pistol itu?!"

"Kontraktor Amdusias, Benjamin Verr." Ami mengumandangkan. Suaranya terdengar ganda, bergema dengan suara lain yang berat. Suara yang terdengar jauh lebih memiliki kuasa. "Kau melanggar akhir perjanjian kontrakmu dengan tidak membayar sesuai ketetapan yang telah ditentukan Duke Amdusias."

Seketika lorong tempat mereka berada, bergetar hebat. Segalanya tampak berubah hitam dan putih. Warna lenyap dari hadapan mereka, menyisakan hanya warna merah yang terlihat dari simbol di dahi dan pistol yang diacungkan ke kepala sang pria.

Dalam gema suara itu, simbol di kepala sang pria menyala. Berpendar. Cahaya merah terang keluar dari simbol itu. Darah menetes dari dalamnya dan seketika, sang pria menjerit kesakitan. Tangannya memegang kedua sisi kepala. Mulutnya menjerit. Ia mencoba berontak, menggeliat, dan berkelojotan, mencoba untuk mundur.

Tapi terlambat. Di bawah kakinya, muncul sebuah lingkaran magis dengan simbol pemanggil Amdusias mengelilinginya.

"Kau—kau Algojo!" Pria itu menyumpah serapah.

Ami tersenyum. "Seperti itulah kalian memanggil kami."

"Algojo sialan! Aku masih belum selesai!" Pria itu menyumpah serapah. "Aku baru saja akan memanen bayarannya ketika kau muncul dan menggangguku—jalang!"

Gelombang kekuatan terasa. Meledak dari tubuh sang pria.

Namun kemudian belasan rantai muncul dari bawah lantai. Dari dalam lingkaran magis yang mengurung sang pria. Mengurungnya seketika. Mengekang kedua tangan dan kaki Benjamin.

Suara jeritan yang menyakitkan keluar dari mulut pria itu.

Meski demikian, tidak ada yang menyahut, tidak ada yang mendengar, dan tidak ada yang datang menghampiri. Di dalam dunia monokromatis itu, tidak ada yang bisa menyelamatkan Benjamin Verr.

Semuanya sudah terlambat.

"T-tunggu, tolong—aku mohon—aku benar-benar memohon, berikan aku kesempatan—aaaargh!"

Rantai-rantai merah itu melilit, mengetat, dan di setiap bagian yang disentuh oleh rantai itu tampak memerah. Kulit Benjamin Verr meleleh, terbakar, dan melepuh di bawah kekejian rantai merah itu. Tapi baik rantai itu maupun Ami, sama sekali tidak ada niatan untuk memberi kelonggaran pada Benjamin.

Apalagi memberi ampun.

"Aku—aku hampir berhasil! Tinggal sedikit lagi dan jiwa—jiwa penggantinya—khh!"

Satu rantai datang menghunjam, melilit mulut Benjamin. Seketika membisukannya dengan cara yang mengerikan. Rantai-rantai itu menariknya lebih kencang lagi hingga kedua kakinya berlutut di tanah. Ami membuka tangan dan papan kayu yang tadi dibuang Benjamin, terbang langsung mendarat di genggamannya.

Ami tersenyum. Masih dengan pistol teracung ke kepala Benjamin, Ami membungkukkan badan.

"Kau sudah diberi waktu tenggat dua hari untuk membayar perjanjian dengan Amdusias dan kau melanggarnya. Amdusias meminta perjanjian itu diakhiri sekarang juga."

Kemudian, di depan Benjamin yang tidak lagi bisa apa-apa, di bawah simbol yang berpendar merah di hadapan mereka, Ami bersabda:

"Atas nama Duke Amdusias yang memegang kontrak ini…." Kertas berisikan simbol Amdusias di tangan Ami mulai terbakar. Benjamin membelalak. Matanya terpaku pada kertas itu, terkhusus pada simbol Amdusias di sana. Simbol yang mungkin ia lupakan. Lalu kertas itu pun terbakas habis. "Algojo-1883 menyatakan kontrak telah berakhir."

Simbol di bawah lantai menyala semakin terang, seiring dengan menyalanya simbol yang terukir di pistolku. Jariku yang berada di depan pelatuk langsung bergerak. Tidak ragu, tidak pula merasa kasihan.

"Selamat tinggal."

Kemudian bunyi letupan pistol terdengar.

***

Lorong telah kembali menjadi normal. Warna-warna kembali di sana. Kesunyian telah kembali. Lingkaran merah di lantai telah menghilang. Simbol di pistolku telah berhenti menyala. Rantai-rantai merah telah menghilang dari lantai. Simbol di lantai perlahan mereda, seiring dengan lenyapnya cahaya putih yang terserap ke dalam lantai.

Kemudian simbol itu pun menghilang sepenuhnya. Pertanda gerbang yang tertutup.

Ami melihat papan kayu di tangannya. Satu kontrak telah lenyap. Kontrak Amdusias telah terpenuhi.

Dan tenyata tadi adalah kontrak terakhir untuk hari ini.

Akhirnya ia bisa istirahat.

"Aargh!"

Ami melirik dengan tidak minat ke dalam kamar Benjamin. Menyaksikan seorang gadis membeku di dalam sana. Gadis itu terduduk dengan posisi tangan dan kaki mengangkang, seperti orang yang jatuh terduduk mendadak setelah berdiri cukup lama.

Sepertinya tadi ia luput mengamati wanita ini.

Apakah wanita itu berdiri di belakang Benjamin?

Sementara berpikir, Ami mengamati penampilan perempuan itu yang hanya ditutupi oleh hot pants dan tanktop. Tanpa alas kaki, tanpa selimut, tanpa baju hangat yang pantas. Di beberpa anggota tubuhnya, di tangan dan kakinya, Ami melihat ada bercak kebiruan. Di leher dan pundaknya, Ami melihat berkas kebiruan yang sama, tapi kali ini diikuti bintik merah besar dan bekas gigitan.

Perempuan itu tampak ketakutan luar biasa melihat Ami. Matanya membelalak antara lantai yang kosong dan Ami yang berdiri kokoh di ambang pintu. Aroma ketakutan memancar kuat darinya. Aroma manusia yang ketakutan.

Air mata mengalir menutupi wajah wanita itu.

Ami menutupi wajahnya dengan kesal. Ia memasukkan pistol ke pinggangnya sekali lagi.

Ini masalah. Bagaimana ia bisa luput menyadari ada orang lain di ruangan ini? Dari reaksinya yang ketakutan, dari aroma yang terpancar darinya, jelas sekali ia adalah manusia murni. Bukan pengikat kontrak. Bukan pula makhluk seperti dirinya.

Astaga, ia sudah menempatkan manusia biasa dalam masalah ini. Akan repot membersihkannya tanpa melukainya.

Terpaksa, ia harus meminta bantuan seseorang untuk ini.

"Dia … mati?" Samar-samar terdengar suara perempuan dari depan. Ami mengintip dari balik kepusingan dirinya sendiri. Wanita di depannya, masih dalam keadaan menangis, tapi anehnya … aroma yang terpancar darinya berubah.

Ada aroma kelegaan yang terpancar di tubuhnya.

"Bajingan itu …. Akhirnya … mati….?" Dalam linangan air mata, perempuan itu memegangi wajahnya sendiri. Kedua tangannya menutupi separuh wajahnya … tapi tidak cukup untuk menutupi senyum yang perlahan muncul di wajahnya. "iblis itu akhirnya mati…."

Perlahan-lahan suara tangisannya berubah menjadi tawa. Aroma kelegaan menguar dari tubuhnya. Ami menutup mata.

Ini bukan kali pertama ia melihat reaksi seperti ini.

Apa pun yang sudah dialami oleh perempuan ini di dalam sana, pastilah sangat buruk sampai ia bisa tertawa di atas kematian orang lain seperti ini.

"Terima kasih." Ketika Ami sadar, wanita itu sudah menatapnya dari balik celah jarinya yang setengah terbuka. Senyumnya berubah menjadi seringai yang tidak pas dengan air mata yang terus mengalir dari matanya. Tapi Ami membiarkan itu. Kata-kata terima kasih terus keluar dari mulut wanita itu tanpa henti. "Terima kasih. Penyelamat. Penyelamatku. Terima kasih banyak. Karena telah membunuh bajingan itu."

Di antara tawa dan tangisan yang selang-seling, Ami menghela napas.

"Lulu?"

Sepasang lengan langsung melingkari leher Ami dari belakang.

"Aku kira kau tidak akan memanggilku malam ini, Ami Sayang." PIpi Ami langsung ditempeli oleh pipi lain yang lembut dan empuk. Aroma wangi khas menguar. Dalam intensitas yang ia yakini cukup kuat untuk membuat Succubus terbuai.

"Baumu menyengat sekali malam ini."

"Hm, apa boleh buat, aku terlalu bersemangat." Ami merasakan ekor melilit lengannya. "Karena sudah sebulan majikanku tidak memanggilku dan sekarang tanpa peringatan, ia memanggilku. Pastinya ada sesuatu, kan?"

Pelukan di leher Ami semakin mengerat. Tubuh di belakang Ami menempel begitu dekat dengannya sampai Ami bisa merasakan dada yang kekar dari sosok di belakangnya ini mengimpitnya.

"Aku benar-benar benci ketika aku harus memanggilmu."

"Oh, ya?" Suara itu berbisik lembut di telinga Ami. Jari jemari dengan kuku yang hitam legam menyentuh dagunya. "Tapi aku yakin tubuhmu akan berkata sebaliknya, Ami."

Ami tersenyum. "Sayang sekali, kalau begitu."

"Hm?" Terdengar suara heran dari belakangnya dan Ami merasakan kepuasan yang tidak sedikit.

"Kau punya antrian tubuh untuk dipuaskan malam ini, Setan Licik." Ami melirik, bersitatap dengan sepasang mata merah yang balik menatapnya tajam. Tapi Ami tidak takut. Ia malah menudingkan jarinya ke depan. "Urus dia. Sekarang."

Mata merah itu melirik dengan malas ke arah yang ditunjuk Ami. Binar minat, jika tadi memang tadi ada di mata itu, segera redup. Ia tidak lagi tampak begitu antusias atau terdengar begitu bernafsu.

Sayang, kepuasan Ami tidak berlangsung lama setelah Lulu kembali tersenyum di sampingnya. "Bolehlah." Mata merah Lulu kembali melirik ke arahnya lagi. "Apa yang kau mau aku lakukan untuknya, Ami?"

"Seperti biasa saja," Ami melirik ke arah depan. Wanita di depan sana bahkan tidak repot memerhatikan mereka. Dia masih sibuk menutup matanya dan menutup wajahnya. Masih sibuk menangis sambil tertawa. "Buat ia tenang dan melupakan semua kenangan buruknya selama ada di kamar ini."

"Oh, itu kedengaran berat sekali." Sosok di samping Ami terkekeh. "Aku akan menagih bayarannya tanpa terlewat sedikit pun nanti, lho, Ami."

Ami mendengkus. Dengan santai, ia menyingkirkan tangan Lulu dari pundaknya dan berbalik.

"Selesaikan saja tugasmu dulu." Dari sudut mata, Ami bisa melihat Lulu hendak berjalan masuk, tapi kemudian Ami menghentikannya. Ami merenggut dagu inkubus itu dan bicara dalam jarak yang teramat dekat dengan wajahnya: "Kerjakan dengan benar, kau paham itu, kan?"

Ami menyapukan jarinya ke dagu pria itu. Suaranya sarat akan ancaman. Tapi alih-alih terintimidasi, Lulu malah tampak menikmatinya.

"Dan kalau kinerjaku tidak cukup memuaskanmu, Majikanku?"

Ami merenggut kepala Lulu dan mendekat, mencondongkan wajahnya sampai bibirnya tepat ada di samping telinga Lulu. "Aku akan menghukummu … dengan sangat berat."

Mendengar kata-kata itu, Ami bisa merasakan seluruh tubuh Lulu bergetar oleh antusiasme. Tapi dengan kejam, Ami mengabaikan semua itu. Ia melemparkan Lulu. Mencampakkannya, bahkan, seolah inkubus itu sampah yang tidak berharga.

"Oh, Ami-ku yang Kejam…." Iblis itu berkata. "Aku akan berusha sebaik mungkin, Tuanku."

Ami tidak membalas ucapan itu. Ia hanya berbalik. Tanpa lambaian tangan, tanpa ucapan perpisahan. Simpel saja, ia tidak merasa Lulu layak menerima itu, pun dia tidak merasa punya kewajiban untuk pamit pada apa yang menjadi propertinya. Barang miliknya seutuhnya. Ia hanya perlu melihat kinerja inkubus itu nanti. Cukup hanya itu.

Ami menghela napas. Ia benar-benar butuh minum Ale yang segar.

***

See you next Chapter

--L.L--

Looneyloocreators' thoughts