webnovel

Scene 2

Suara desah Ami terhenti saat ia sadar kontrak api di atas nakas menyala. Ada sebuah kontrak baru. Dan seketika seluruh perhatiannya tertuju pada kontrak itu.

"Ami—mm!" Namun Iblis incubus di hadapannya sama sekali tidak memberikan Ami waktu untuk mengambil napas. Dia mencium bibir Ami dengan kasar, penuh nafsu, dan tanpa pengendalian diri sama sekali. Ami merasakan panas dari Lulu mengalir lewat kontak saliva mereka. Bibir, lidah, dan taring, incubus itu menggunakan semuanya untuk menggoda Ami, membujuk gadis itu untuk membuka mulutnya lebih lebar lagi, hanya untuknya. "Kau tau aku sedang ada di sini, kan?"

Iblis tampan itu memegangi wajah Ami yang bersemu, hampir kehabisan napas dan tenggelam dalam nafsu.

"Kenapa kau malah melihat ke arah yang lain?" Ia merajuk. Ekornya berputar dan melilit sebelah kaki Ami. Ujung ekor itu naik sampai ke paha sang gadis. "Aku juga butuh perhatianmu juga di sini, Tuan."

"Ada kontrak baru yang masuk." Namun Ami menjawab godaan Lulu nyaris dengan ketenangan yang tidak hancur. Napasnya boleh terengah, tapi sebagai iblis penggoda, Lulu sadar bahwa akal sehat Ami tidak tersentuh api nafsunya sama sekali. Tembok yang dikenakan gadis itu masih setinggi dan setebal biasanya.

Iblis itu lantas menoleh ke arah papan kontrak Ami yang menyala. Wajahnya tampak malas sejenak, sebelum menoleh kembali kepada Ami dan kembali menyeringai puas.

"Tapi aku jelas lebih menarik daripada kontrak-kontrak itu, ya, kan, Ami Sayang?" Iblis itu menjulang di atas tubuh Ami, dua kaki dan tangannya memerangkap tubuh Ami dari empat sisi, membuatnya tidak bisa kabur.

Tapi memangnya Ami berniat untuk kabur? Tidak sama sekali. Ia hanya teralihkan sekejap.

Sekarang, Ami kembali tertuju pada incubus di hadapannya. Lulu mengambil wujud seorang kaukasian hari ini, dengan kulit putih mulus dan rambut sehitam malam. Mata merahnya berpendar, tidak lepas memandangi Ami sejak ia bersikeras meminta perhatiannya tadi.

"Coba aku lihat dulu," Ami mengangkat satu tangan. "Aku tadi agak teralihkan darimu, jadi aku perlu menyegarkan ingatanku, sampai di mana kita tadi. Apa kau keberatan, Lulu?"

"Kata-kata yang kejam. Aku rasa aku juga jadi tidak begitu tertarik lagi." Namun dilihat dari tubuhnya yang malah semakin merapat dengan Ami, Lulu jelas tidak akan pergi dalam waktu dekat. "Tapi kalau kau bisa membuatku sedikit lebih bersemangat lagi, aku mungkin akan pertimbangkan, Ami."

"Baiklah." Ami mengangkat tangan, langsung menyentuh ke paha atas Lulu.

"Oh!" Itu hanya sentuhan ringan, tapi seluruh tubuh Incubus adalah penerima rangsangan yang sangat sentitif. Satu sentuhan yang tepat dan tubuh mereka akan langsung terbakar dalam bara nafsu. "Kau curang, Ami."

"Tidak." Ami mengelak dengan tenang, matanya terpejam. "Aku ingat kita tadi sudah ke bagian yang ini."

"Tidak, bukan … kita sudah lebih ja—ahh!" Ketika tangan Ami naik sampai ke pinggang, Lulu tidak sengaja mengeluarkan desahan yang keras. Ekornya melilit kaki Ami lebih erat, tapi gadis di bawah tubuhnya sama sekali tidak mengeluh atau bereaksi. Malahan, tangan gadis itu bergerilya semakin jauh di tubuhnya yang telanjang dan basah oleh keringat. "Ah, ah, Ami. Ya, di sana! Sentuh aku lagi! Di sana—ahh!"

"Tapi aku tidak yakin kita sudah sampai sini." Ami menyentuh bagian pusar dan Lulu langsung menggelinjang gelisah. Incubus itu melengkungkan punggungnya ke bawah, berharap jari Ami bisa lebih rendah lagi. "Atau kita sudah sampai sini, ya?"

Ami meraup dada incubus di atasnya. Mulut dan lidahnya bermain di sana. Ekspresinya masih tenang, berlawanan dengan Lulu. Mata incubus itu tampak sudah berkabut oleh nafsu.

"Ami—sayang—ya! Ya, terus seperti itu, Tuan!" Tangan Lulu ada di kepala ranjang sekarang. Ia mendekatkan dadanya ke wajah Ami. "Terus hisap, gigit—ngg ahh!"

Lilitan ekor Lulu semakin kencang di kaki Ami. Sang incubus itu pun menyadarinya, tapi Ami yang tidak kunjung memberinya waktu untuk bernapas dan terus memanjakannya membuat waktu dan kekuatan buram di sekeliling mereka.

"A-ami … kakimu … kuharap kau tidak keberatan ekorku mungkin akan mematahkannya."

"Kau yakin?"

"Hh—ahh!"

Dengan dingin, Ami menggigit puting Lulu. Lidahnya bermain di sana. Kombinasi antara rasa sakit kecil dan kehangatan sapuan lidah Ami membuat Lulu hampir gila.

"Mungkin sebelum kakiku yang patah, aku sudah lebih dulu menghancurkan punggungmu, Incubus."

Lulu menggeram. Suara geraman manja itu bergema dalam dadanya. Incubus itu melepaskan kepala ranjang. Kedua tangannya kembali fokus kepada Ami yang memanjakannya. Tangannya memeluk tubuh mungil Ami.

"Dan kau tahu aku tidak akan pernah protes kalau dihancurkan di atas ranjang, Ami Sayang." Ia mencium pundak Ami keras-keras, melakukan sedikit pembalasan untuk apa yang dilakukan Ami tadi. Ia bahkan menggunakan gigi untuk meninggalkan bekas di pundak putih mulus Ami. Mengundang gerungan tajam dari gadis itu.

Oh, betapa Lulu sangat menyukai suara Ami yang tenggelam dalam kesakitan yang nikmat seperti itu. Betapa suara merdu Ami adalam simfoni di telinganya. Ketika Lulu menjauh dan melihat ekspresi Ami yang tidak begitu berubah, hanya memiliki rona yang lebih merah menyala, saat itulah Lulu menggapai level berikutnya dalam permainan nafsu.

Wajah seseorang yang terkhianati oleh tubuhnya sendiri. Sebuah kontras yang mematahkan hati bagi orang biasa, tapi begitu menggoda di mata Lulu. Tidak pernah ada yang bisa mengalahkan cantiknya rona merah menyala di wajah dingin Ami. Tidak ada yang bisa menyaingi betapa seksinya gadis di bawah tubuh Lulu ini ketika ia terengah-engah dalam keringat, terbuka dan siap untuknya, tapi tidak menunjukkan banyak ketertarikan fisik kepadanya dari malam menjelang sampai berakhir.

"Kau tampak sudah sangat siap untuk menghancurkanku, Ami."

"Ya, kau baru sadar itu?'

Detik berikutnya, sebuah rantai yang menyala merah muda muncul, terpasang pada belenggu di leher Lulu. Ujung dari rantai itu ada dalam genggaman Ami. Dan ketika gadis itu menariknya sampai leher Lulu ikut tertarik, desah antusaisme keluar dari ulut Lulu yang kesenangan setengah mati.

"Ya, aku baru menyadarinya. Bukankah aku bodoh, Tuan?" Sekali lagi Lulu menciumi Ami dengan liar.

"Benar, kau memang sangat bodoh." Gadis itu membalas dengan nafsu liar yang sama dan tidak berhenti bahkan ketika mereka harus mengambil jeda untuk bernapas.

Ekor Lulu terlepas dari tubuh Ami seketika. Tangannya memeluk Ami lebih erat, lalu mulai turun ke paha Ami. Semua mereka lakukan sambil masih berciuman. Tangan Lulu lantas mendorong tubuh Ami kepadanya. Menyatukan tubuh mereka dengan paksa, keras, dan brutal. Jeritan Ami tertahan oleh bibir mereka yang saling bertaut. Sebuah protes yang tertelan nafsu. Tapi Ami yang tidak tampak keberatan atau melepaskan diri, malah membuat Lulu semakin bersemangat. Apalagi saat kedua kaki Ami bertemu di punggungnya.

Sang gadis telah menguncinya dan tidak akan melepaskannya sampai pagi menjelang.

"Jangan berhenti." Ami melepaskan wajah Lulu dari wajahnya. Mereka bertatapan dalam jarak yang sangat dekat. Mata Ami melotot menatap mata Lulu. "Sekalipun kamu hancur, sekalipun sudah pagi, jangan berhenti sebelum aku memberikan izin. Kau paham itu, Iblis?"

"Oh, betapa kejamnya hukuman ini, Ami Tuanku." Namun berlawanan dengan kata-kata dan ekspresi sedihnya, tangan Lulu justru menggapai punggung Ami, memperdalam penyatuan mereka. "Hukuman yang dengan senang hati akan aku laksanakan, Tuan."

Mereka pun kembali berciuman. Tidak kenal waktu, tidak lagi kenal batasan. Di atas ranjang yang telah kacau balau itu, dua gairah masih terus bergumul, menyatu dalam satu aliran nafsu besar yang menyelimuti ruangan dalam nuasa pink itu. Tidak ada yang mau berhenti. Tidak ada yang mau mengalah. Semua terus melebur, meleleh, hancur, lalu terlahir kembali dalam sebuah siklus abadi, sampai datangnya matahari pagi.

***

Ami membaca kontrak yang baru saja muncul di papan kontrak. Sebuah kontrak baru yang akan habis durasinya, tapi sang korban di dunia fana malah tidak ingin kontraknya ditagih, juga tidak ingin memperpanjang kontrak. Di kondisi yang membingungkan seperti itulah, peran Algojo seperti Ami dibutuhkan. Untuk memutus kontrak agar para Iblis tidak merugi juga agar para Manusia bisa menepati janji mereka sebelum mati dibawa ke neraka abadi.

"Kejam sekali!" Kepulan asap muncul di sekeliling Ami dan dalam sekejap, kepulan asap itu berubah menjadi bayangan hitam pekat.

Bayangan itu mewujud kemudian menjadi wujud seorang lelaki dua puluh tahunan. Lelaki yang langsung mengalungkan lengannya ke leher Ami.

"Masa aku dibiarkan bangun sendiri dan kau di sini?" Lulu menggerutu protes. Ami menyadari, meski pakaiannya tipis dan hanya berupa sebuah kaus ketat dan celana kulit ketat yang membungkus tubuhnya, Lulu setidaknya sudah berpakaian lengkap lagi.

"Aku sudah memenuhi bagian kontrakku, Lulu. Kau tahu kesepakatannya." Ami menunangkan jus ke dalam mug miliknya dan mulai meneguk. "Aku akan selesaikan pekerjaan yang tertunda seperti seharusnya.

Lulu mendecih. "Manusia yang kaku seperti biasanya."

Dalam sepuluh menit, Ami sudah mengingat semua isi kontrak yang akan dijemputnya. Tenggat waktunya hari ini. Targetnya satu orang. Lokasinya ada di distrik industri kota San Dimmo. Di selatan. Ami mencoba mengingat kapan terakhri kali ia ada di Selatan untuk menagih kontrak?

Sepertinya sekitar enam bulan yang lalu.

Ami lantas mengambil jaket kulit yang terpajang di depan pintu. Ia sudah lama mandi dan rambut panjangnya sudah kembali kering. Meraih papan kontrak itu, Ami pun segera bertolak.

"Kau sudah sarapan?" Suara Lulu terdengar dari dalam flat apartemen mereka.

"Sudah kenyang," Ami menjawab seadanya, meski itu adalah benar. Ia tidak begitu merasa lapar pagi ini.

Entah karena aktivitas ranjang yang baru ia lakukan tidak begitu menguras tenaga—Lulu jatuh tertidur lebih dulu dibanding dirinya yang terjaga, tapi ia mencoba menghargai itu dan tidak mengungkitnya tadi—ataukah ini berkaitan dengan isi kontrak yang akan ia tagih hari ini.

Di lorong apartemen, Lulu menyembunyikan kontak itu di balik jaketnya. Dan seperti barang-barang non Manusia lain, benda itu menemukan celah yang pas di saku jaket Ami dan menyesuaikan ukurannya di sana. Membuat Ami tidak terganggu membawa-bawanya sepanjang jalan sampai ke kediaman target. Sekaligus menyembunyikan keberadaan kontrak itu dari mata-mata target yang kadang bisa sangat awas.

Selain daripada itu, Ami sendiri kepikiran pada kontrak itu sendiri. Tepatnya pada simbol yang ada di kepala surat kontrak itu.

"Lingkar Nafsu…." Ini tidak akan menjadi hal yang bagus, Ami tahu itu.

Karena kontrak hari ini yang akan ia ambil adalah kontrak milik Asmodeus, sang pangeran Neraka pemimmpin lingkar Nafsu. Sekaligus ketua bagi klan Lulu sampai sekarang.

***

Thought about the steamy scene?

--L.L--

Looneyloocreators' thoughts