webnovel

KAMBUH

Keberhasilan Ara di sambut sorak riuh teman-teman sekelasnya, banyak yang mengucapkan selamat kepadanya termasuk Anis dan Mega dua gadis penyandang predikat tercerdas di sekolah tersebut tingkat kelas satu yg terbagi dlm 8 kelas. Anis sang ranking 1 sekaligus juara 1 umum yg merupakan anak Keluarga Guru krna mulai dari Ayah, ibu, sampai kakaknya berprofesi sebagai Guru. Kemudian Mega... juara 2 juga termasuk juara 2 umum terlahir dari keluarga TNI AL, yg kebetulan orang tuanya sedang berdinas di wilayah tersebut. Anis, Mega dan Ara adalah 3 murid terbaik dari seluruh kelas 1 yg berjumlah 8 kelas tersebut, dan kebetulan juga ketiganya berada di kelas yg sama yakni kelas 1A. Anis dan Mega sangat baik terhadap Ara, keduanya mengucapkan selamat dan tak ada satu pun di antara keduanya yg merasa tersaingi dengan keberadaan Ara meski teman-teman yg lain merasa tak percaya dengan prestasi yg di raih Ara. Banyak yang meremehkan bahkan mencemoohkannya, karna di anggap tak pantas menyandang predikat tersebut. Mungkin karna penampilan Ara yg kurang style dan cupu serta berasal dari keluarga yang tak mampu hingga mereka mengira bahwa Ara tak bisa berprestasi. Namun kenaikan kelas tersebut cukup membuktikan bahwa Ara memang layak mendapatkannya, bahkan seorang laki-laki yang pernah menghina Ara di depan kelas ketika awal masuk sekolah dulu, laki-laki yg telah mempermalukan Ara karna di anggap tak layak masuk sekolah bergengsi tersebut karna status kemiskinannya namun di saat kenaikan kelas itu ia menjabat tangan Ara sambil mengucapkan selamat sekaligus meminta maaf atas perbuatannya dulu, ia tak henti hentinya berdecak kagum dan merasa salut kepada Ara. Namun gadis kecil itu hanya tersenyum dan mengangguk.

Di sekolah prestasi Ara disambut teman-temannya dengan penuh suka cita, namun sesampainya di rumah ketika pulang sekolah hal tersebut dianggap biasa saja. Sudah lumrah bagi keluarga Ara ketika kenaikan kelas, karna sudah yakin Ara pasti naik kelas. Tidak ada pernyataan "apakah Ara mendapat juara ?? atau apakah nilai Ara bagus.. ?? atau mungkin Ara tidak naik kelas ?? tidak ada satu pun kalimat tersebut keluar dari mulut sang Ayah ataupun bundanya. Ini pula yang menjadi alasan Ara tak segera memberikan nilai raportnya itu kepada Ayahnya. Namun ia berencana akan memberitahu Ayahnya jika bunda nya sudah pulang bekerja dengan maksud mempererat jalinan keduanya dengan hasil prestasi yg ia raih. Ara berharap kedua orang tuanya bangga dengan apa yang sudah Ara dapatkan. Namun... "malang tak dapat di tolak dan untung tak dapat di raih" mungkin itulah peribahasa yg tepat tuk Ara, karna di malam yg ia impikan tuk jadi moment terindah itu harus berubah menjadi mendung yg kelam dan kelabu karna berhujankan airmata. Lagi-lagi Ia harus mendengar Ayah dan Bundanya bertengkar, sebuah pertengkaran yang mengutuk hati dan perasaannya. Tangan Ara sudah menggenggam gagang pintu kamarnya sambil membawa raport yg hendak ia tunjukkan kepada kedua orang tuanya, namun belum sempat ia keluar sebuah kursi plastik terlempar di muka pintu utama, bahkan bukan hanya itu panci yg berisi nasi pun harus melayang di kaki sang Ayah, Ara terkejut ia tak kuasa menopang kedua kakinya ia pun jatuh tersungkur di lantai. Ia berusaha bangkit tuk bisa mengejar bundanya yg menangis histeris sambil memaki maki Ayahnya dan memungut nasi yg berserakan di tanah, namun sang Ayah malah keluar sambil membanting pintu depan dgn begitu sangat kerasnya hingga adik kecil Ara terbangun dari tidurnya dan menangis sekeras kerasnya, Ara semakin panik sementara bundanya berlari menghampiri sang Adik. Ara masih mencoba berdiri sambil menggapai apapun yg ada di hadapannya, namun ia merasakan keram yg sangat luar biasa sakit disekitar perutnya, Ara merintih menahan sakit namun ia tak ingin sang Bunda mendengar apalagi melihat kondisinya yg demikian. Cukup lama Ara terkapar di bawah tempat tidurnya sambil memegang perutnya yg masih terasa keram, keadaannya sangat memprihatinkan. Tubuh mungilnya membengkuk seperti orang kedinginan sedang airmata terus mengalir di pipinya, malam itu Ara pasrah dgn nasibnya yang mungkin akan membawanya pada kematian.

"Ya Allah... jika memang ini yg terbaik Ara ikhlas, namun jika Ara masih bisa di beri kesempatan beri Ara waktu tuk bisa membuat bunda tersenyum bangga pada Ara meski hanya sekejap..". Rintihannya lirih dan tertahan, tidak lama setelah Ara mengucapkan kata2 itu keadaannya berangsur pulih. Ara sudah tidak merasakan keram lagi di perutnya ia pun bisa bangkit dan berdiri. Ketika di rasa sanggup berjalan tanpa pikir panjang Ara pun langsung menghampiri kamar bundanya. Di balik gorden kamar itu Ara mendengar sang Bunda mengajak bicara adik kecilnya dengan linangan airmata yang terus membanjiri wajah sayunya.

"Nak... cepat besar ya sayang, tumbuhlah jadi jagoan bunda yg berbakti dan membuat bunda bangga. Bawalah Bunda pergi dari hidup ini, bunda sudah tak sanggup sayang melaluinya. bunda bukan menyerah hanya saja lelah hati dan pikiran ini... Andai dulu Bunda tak kembali pada Ayahmu, mungkin keadaannya takkan sesakit ini...".

Kata-kata itu seakan meremas hati Ara, sakit yang ia rasakan saat ini lebih menusuk dari keram perut yang baru saja ia Alami. Ara meremas rambutnya yg tergerai sebahu, ia benar-benar merasa tak tega dan menyesal harus menyaksikan pemandangan keluarganya seperti itu. Ia pun hanya bisa menahan rasa sesak yang terus menyayat tubuhnya..

Peristiwa malam itu menjadi awal terciptanya kebencian Ara kepada sosok seorang lelaki, bukannya ia benci kepada Ayahnya hanya saja ia merasa kecewa dan kesal, bahkan Ara beranggapan bahwa di mata Ara semua laki-laki itu sama saja seperti Ayahnya. Ia pun berjanji kelak ia dewasa Ara tidak ingin menikah karna ia tak membutuhkan sosok laki-laki dalam hidupnya. Ia terlalu takut jika menikah keluarga kecilnya kelak bernasib sama dengan dirinya dan bundanya yg selalu berada dalam kesengsaraan yg bermandikan Airmata.

Ujian demi ujian yg di lalui Ara menjadikannya pribadi yg sangat rapuh namun mampu berpikir dewasa. Bahkan ia tumbuh lebih dewasa dari usianya, Ara tentunya sudah mengerti akan tugasnya di rumah yg memang bundanya tidak selalu bisa memasakan makanan tuk ia dan Ayahnya, oleh sebab itu Ara di tuntut menjalani peran sebagai anak sekaligus ibu rumah tangga tuk keluarganya. pembagian kelas di ajaran baru yg memasuki kelas dua di papan pengumuman itu terlihat namanya tercantum di kelas 2G. Terpisah dengan Anis dan Mega karna Anis berada di kelas 2A sedang Mega di kelas 2H, dengan demikian Ara dan Mega beserta murid kelas 2E dan 2F mendapat giliran masuk sekolah siang sementara Anis dan murid kelas 2B, 2C dan 2D masuk sekolah pagi.

Ada hikmah dari jadwalnya yg bersekolah siang, karna dengan begitu Ara bisa menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke sekolah karna jadwal masuknya jam satu siang.

"Ra... kenapa mukamu pucat .. ?? apa kamu sakit.. ??" tanya Mega ketika melihat Ara duduk di perpustakaan.

"ga ko Meg... biasa aja" jawabnya singkat.

"Serius Ra... kamu terlihat menahan sesuatu, ga usah bohong sama aku.. apakah perut kamu keram lagi ??" selidiknya khawatir, memang Akhir-akhir ini keram perut Ara sering kambuh, namun ia enggan memberitahukan kepada Ayah ataupun bundanya karna Ara tidak ingin membuat keduanya khawatir.

"cuma sedikit... " jawab Ara sambil meringis, sedang tangannya terus meremas perut.

"Astaga Ra... yuk aku antar ke UKS, kamu harus segera diobati kalo ga yang ada malah makin parah." bujuknya.

"Ga usah Mega... aku udah ngerasa enakan ko, mungkin hanya kecapean aja", ujar Ara menolak.

Mega hanya terdiam, dia bingung harus membujuk Ara seperti apalagi karna ia tau Ara tidak akan mengubah keputusannya jika dia sudah menolak. Sebenarnya ada perasaan miris dan iba dihati Mega, ia merasa kasihan melihat keadaan Ara yang seperti raga tak bernyawa. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan karna Mega yakin Ara mempunyai beban hidup yang sangat berat, namun sekuat apapun Mega berusaha untuk bertanya Ara tak mau menceritakan kisah pilunya kepada orang lain.