webnovel

Pertemuan Kembali

"Halo?" Suara bariton yang sudah lama tak Maria dengar, kini ia dengar lagi dari seberang telepon.

Wanita berambut lurus sebahu itu mengatur napasnya, berusaha tenang meski jantungnya berdegup kencang.

"Selamat siang, Pak! Apakah benar ini Bapak Raffa? Orang tua dari Neza?" tanya Maria hati-hati. Ia tak ingin Raffa langsung mengenalinya. Bukan apa-apa. Berpisah tanpa status hubungan yang menggantung, tentu saja itu membuatnya bingung. Apakah karena dia memang tak menginginkannya, atau ada sesuatu yang lain, yang membuat Raffa menikah dengan wanita lain. Mama dari Neza. Yang sekarang menjadi anak didik dan sedang duduk begitu dekat dengannya.

Raffa terdiam sesaat. 'Waduh! Jangan-jangan dia mengenali suaraku,' batin Maria masih berusaha tetap tenang.

"Iya benar. Maaf ini dengan siapa ya?" Akhirnya suara Raffa kembali terdengar.

"Oh maaf, saya wali kelas Neza. Hari ini dia terlambat di jemput dan menangis sendiri di sekolah. Apakah ada pihak keluarga yang akan menjemputnya, Pak?"

"Astaga! Jadi belum ada yang jemput Neza?" Suara Raffa terdengar kaget. "Mana sekarang hujan lebat lagi."

"Sekarang Bapak di mana? Bisakah menjemput Neza sekarang?"

"Em ... Bisa saja sih, tapi bagaimana ya? Posisiku masih di kantor. Dan jauh dari sekolah Neza. Butuh satu jam sampai di sana. Itu juga kalau tidak macet."

Maria berpikir sejenak. 'Ayah macam apa sih Mas Raffa, masa sampai tak tahu kalau anaknya belum ada yang jemput. Atau jangan-jangan ....'

"Begini saja, Bu ....?"

"Ulfa! Panggil saja saya Ulfa!" Maria sengaja memakai nama tengahnya agar Raffa tak menaruh curiga padanya.

"Maaf, Bu Ulfa. Saya boleh minta tolong untuk jagain Neza enggak? Setidaknya sampai saya datang. Plissss?"

'Duh enak saja nyuruh aku jagain, memangnya aku tidak ada urusan lain? Dua jam lho! Itu bukan waktu yang sebentar.' Hati Maria sebenarnya tak terima jika disuruh menjaga Neza. Tapi jiwanya sebagai seorang pendidik, ibu kedua dari anak didiknya. Dia pasti akan berusaha yang terbaik untuk mereka.

"Atau saya bisa minta tolong sama Ibu, untuk mengantar Neza ke rumah?"

"Maaf, Pak! Bukan saya tidak mau. Tapi di luar sedang hujan. Enggak apa-apa saya temani dia saja di sini. Bapak cepat jemput dia saja, ya!"

"Oke, Bu! Begitu juga enggak apa-apa. Saya akan secepatnya ke sana. Terima kasih banyak atas bantuannya."

Maria mengakhiri panggilannya. Matanya kembali tertuju pada gadis kecil di sampingnya. "Neza?"

Neza tertidur pulas di atas kursi. Kedua tangannya dilipat dijadikan alas kepala di atas meja.

"Kasihan sekali anak ini. Pasti dia sangat capek." Maria mengangkat tubuh Neza dan memindahkan ke sofa yang biasa digunakan untuk menyambut tamu di ruang guru.

"Anak itu tidur, Bu?" tanya Budi yang baru saja melintas dari kamar kecil.

"Sssstt! Jangan keras-keras bicaranya. Nanti dia terbangun." Maria menyelimuti tubuh Neza dengan sweter yang biasa dipakainya. Kepala anak itu diangkat dan diberi alas bantal sofa.

"Bu Maria sudah cocok jadi seorang ibu. Kenapa belum nikah juga sih, Bu!" Pertanyaan Budi seperti pisau tajam yang menghunjam hati Maria. Bukannya tidak ingin. Dia belum menemukan sosok lelaki yang cocok untuknya.

Sejak mengetahui kabar pernikahan Raffa. Maria yang saat itu sedang kuliah, tak pernah lagi berhubungan dengan laki-laki. Ia ingin lebih fokus dengan kuliahnya dan berusaha melupakan lelaki yang sangat dicintainya. Dan hingga sekarang, belum ada lelaki mana pun yang mampu mencuri hatinya.

"Ya belum ada yang cocok aja." Maria berusaha menanggapi santai ucapan Budi.

"Bu Maria kenapa tidak menerima Pak Duta saja! Dia orangnya romantis lho! Selain jago main musik, dia juga kaya lho Bu! Punya grup band dan sering manggung di kafe-kafe."

"Ya iyalah dia jago musik, dia guru musik. Kalau soal kaya, apa jaminan menikah dengan orang kaya itu akan bahagia?" elak Maria. Dia memang tahu kalau Duta, guru musik di sekolah itu menaruh hati padanya. Namun hatinya masih belum bisa membalas cinta Duta.

"Terus apa yang bikin bahagia? CINTA? Saya sudah tak percaya yang namanya cinta, Bu! Banyak orang menikah atas dasar cinta, tapi tetap saja banyak yang cerai, selingkuh bahkan poligami. Makan tuh cinta."

"Nah itu kamu tahu, yang sama-sama cinta saja bisa bercerai, apalagi yang tanpa dasar cinta. Ya bisa dibayangkan bagaimana malam pertama mereka."

"Ya enggak semuanya juga." Budi tak bisa berkata lagi. Ia selalu kalah jika harus adu argumentasi dengan Maria. Lelaki itu pun kembali ke meja kerjanya dan meneruskan pekerjaannya.

Maria kini hanya berdua dengan Neza yang masih tertidur pulas. Ia memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

'Udah jam 13.00. Kira-kira Mas Raffa sampai sini jam berapa ya?' Maria melongok keluar sebentar. Hujan mulai mereda, namun gerimis masih cukup bisa membasahi sekujur tubuhnya jika dia nekat melewatinya.

Sempat ia berpikir untuk mengantar Neza ke rumahnya. Namun cuaca yang tak bersahabat, membuatnya menepis pikiran itu. Ia pun memilih bertahan menunggu ayah Neza datang. Lagi pula, di kantornya ada beberapa orang yang menemaninya. Jadi ia tak perlu khawatir atau pun merasa takut.

"Papa belum datang, Bu?" Tiba-tiba suara Neza terdengar. Anak kecil itu terbangun dari tidurnya dan duduk menatap Maria yang setia menungguinya.

"Belum, Sayang! Mungkin sebentar lagi! Ibu sudah telepon, kok! Mungkin papamu masih di jalan.

Neza memeluk kain sweter yang semula menyelimutinya. Tubuhnya terlihat menggigil dengan wajah yang terlihat pucat.

"Kamu kedinginan, Sayang?" tanya Maria sambil bergeser dan duduk di sebelah Neza.

Gadis kecil itu mengangguk. Maria meraih sweter di tangan Neza, dan mengenakannya pada tubuh mungil itu. "Sini Ibu peluk!" ucap Maria. Tanpa menunggu jawaban Neza, Maria melingkarkan kedua tangan memeluk anak itu.

Seperti anak-anak lain yang selalu nyaman dalam dekapan sang mama. Tanpa sungkan Neza menyenderkan tubuhnya berlindung di dekapan Maria.

Maria tersenyum. Dia sudah lama mengajar di sekolah itu, begitu pun Neza, meski baru kelas satu dan baru beberapa bulan menjadi anak didiknya., tapi Maria tak pernah menyangka, bahwa gadis kecil itu adalah putri dari mantan kekasihnya, yang lama menghilang dan ia tak tahu keberadaannya.

"Bagaimana aku bisa sampai tak tahu, kalau Raffa sekarang tinggal di Jakarta? Bagaimana juga aku bisa baru tahu kalau Neza anak Raffa. Apakah karena aku bukan anggota penerimaan murid baru, sehingga tak bertemu Raffa saat mendaftarkan Neza?"

Semua pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di benak Maria tiba-tiba buyar. Sebuah mobil SUV masuk ke pelataran sekolah dan berhenti tepat di depan ruang guru.

Maria memperhatikan laki-laki yang masih berada di bangku kemudi.

'Wajah itu? ... Dia sama sekali tak berubah.'

Lelaki dengan wajah putih dan rambut lurus disisir tengah. Berbadan tinggi tegap dengan lesung pipi membuka pintu mobil. Lalu setengah berlari menghindari hujan, lelaki itu berjalan menuju di mana Maria dan Neza berada.

"Itu Papa!" tunjuk Neza dengan girang. Ia lalu berlari menjemput lelaki itu dan langsung memeluknya. "Kenapa Papa lama jemputnya. Neza kan takut." Neza kembali menangis dalam pelukan papanya.

Maria bergeming. Ia menatap lelaki yang pernah mengisi hatinya sedang menciumi buah hatinya.

"Maafkan Papa, Sayang! Papa banyak pekerjaan," ucap Raffa masih sibuk menenangkan putrinya. Setelah Neza mulai tenang, Raffa menurunkan Neza dan menuntunnya masuk ke dalam ruang guru.

"Ayo kita pamitan dulu sama ibu guru yang sudah menemani Neza."

Maria berdiri untuk menyambut mereka. Raffa yang sudah berada di ambang pintu, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya nyaris tak berkedip begitu menangkap sosok Maria yang berada di depannya.

"Maria?"