webnovel

Sweter Hangat Untuk Neza

Hujan kembali menderas, Maria berdiri mematung menatap sosok lelaki yang berdiri sambil menggandeng tangan Neza, anak didiknya yang beberapa jam lalu tertidur dalam pelukannya.

"Jadi guru kelas Neza itu kamu, Maria?" tanya Raffa seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Maria masih tak tahu harus bilang apa. Perasaan senang sekaligus sedih, menyatu dalam hatinya. Sosok lelaki yang selama ini ia rindukan. Telah berdiri tepat di depannya.

Namun ... Pria itu bukanlah Raffa yang dulu. Raffa yang selalu memberikan semua perhatian untuknya, tiba-tiba pergi begitu saja dan hanya meninggalkan undangan pernikahannya. Tanpa alasan atau pun penjelasan.

Maria merasakan lagi bagaimana hidupnya pernah kehilangan arah. Ia berusaha keras melupakan sosok Raffa yang menikah dengan teman satu kuliahnya. Sementara Maria yang saat itu baru lulus SMA, memilih meninggalkan Jakarta dan melanjutkan kuliah di Bandung.

Saat ia kembali, ia tak pernah tahu lagi kabar Raffa. Dan sekarang ... Setelah dua tahun menjadi tenaga pendidik di sekolah dasar, justru ia bertemu dengan Raffa, orang tua anak didiknya.

"Silakan masuk, Pak! Di luar masih hujan. Tadi aku melihat Neza sempat menggigil kedinginan." Bersikap profesional. Hanya itu satu-satunya pilihan Maria. Apalagi sekarang ada Neza di antara mereka.

"Iya Pa! Neza dingiiiiiin sekali. Untung Bu Maria meminjamkan aku sweter ini." Neza menunjukkan sweter yang masih melekat di tubuhnya. Sementara Raffa hanya tersenyum. Ia merasakan sikap Maria yang memberi jarak terhadapnya.

Raffa menyadari betul. Yang ia lakukan di masa lalu pasti telah melukai hati Maria. Mendapati Maria yang seolah memasang tembok tebal di antara mereka, ia menjadi sangat canggung.

"Oh begitu ya, Sayang. Neza mesti bilang apa sama Bu Maria?" Raffa berjongkok menyesuaikan tinggi badan Neza.

"Terima kasih Bu Maria!" ucap Neza polos. Ia lalu kembali memeluk ayahnya. "Oh ya, Pa! Tadi Bu Maria juga memberi Neza minuman dan makanan. Habisnya Neza lapar. Jadi Neza habisin deh makanan Bu Maria."

"Oh ya? Bu Maria lapar dong? Kan makanannya Neza yang habiskan?"

Neza hanya tersenyum tersipu mendengar pertanyaan papanya. Sementara Raffa kembali menatap Maria yang masih berdiri tak bergerak dari tempatnya.

"Maria ... Emm maksudku Bu Maria. Terima kasih banyak ya sudah jagain Neza. Kalau Ibu tidak keberatan. Bagaimana kalau kita pergi cari makan. Kan tadi makanan Ibu, Neza yang habiskan?"

Jantung Maria kembali berdetak sangat cepat. Seandainya ajakan itu enam tahun yang lalu, dia pasti akan dengan senang hati menerimanya. Namun sekarang ... Apakah dia harus menerima ajakan Raffa?

"Terima kasih, Pak! Sebaiknya Bapak ajak pulang Neza dulu saja. Mungkin dia sudah lelah karena terlalu lama nunggu di sini. Dia butuh istirahat kan?"

Tangan Maria bergerak membelai rambut Neza yang berdiri tak jauh darinya. "Dan soal makanan tadi. Itu memang sudah disiapkan Pak Min untuk petugas piket. Saja juga sudah makan. Jadi mohon maaf, mungkin lain waktu saja."

Raffa tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya melirik ke arah Neza.

"Iya, Pah. Kita pulang saja. Neza sudah capek, pingin tidur."

Neza menarik-narik tangan Raffa. Wajahnya menunjukkan kalau dia sudah tak betah berlama-lama di tempat itu. Maria juga sangat memahami, fisik anak sekecil Neza tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Apalagi dia berada di lingkungan yang bukan tempat asalnya. Rasa jenuh dan perasaan kurang nyaman. Pasti dirasakannya.

"Baiklah kalau begitu. Mari kita pulang." Raffa langsung mengangkat tubuh Neza ke dalam gendongannya. Ia lalu kembali menatap ke arah maria sambil berkata.

"Maria, terima kasih banyak, ya! Aku harap suatu saat aku bisa mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih."

Maria hanya tersenyum sambil sedikit mengangguk. Ia menatap kepergian Raffa yang menggendong Neza berjalan di bawah gerimis menuju mobilnya. Ia terus memandangi kedua orang itu hingga mobil yang mereka naiki, telah hilang di balik pagar sekolah.

"Bu Maria masih betah di sini?" ucapan Budi membuyarkan lamunan Neza. Lelaki yang sudah memakai jaket dan menenteng helm itu tiba-tiba sudah berdiri di belakannya.

"Lho kamu mau ke mana, Bud?" ucap Maria balik bertanya.

"Ya mau pulang, lah! Masa mau nginep. Mumpung hujannya sudah beehenti."

Maria melihat jam di dinding di ruangan itu. " Oh iya, udah jam empat. Kalau begitu aku juga mau pulang."

***

Jam di pojok kiri bawah layar monitor laptop Maria baru menunjukkan 21.15. Tapi mari memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya memasukkan data-data anak didiknya.

Badannya sedikit agak meriang. Hujan tadi siang, masih menyisakan gerimis hingga saat ini. Hawa dingin seakan menusuk ke dalam tulang belulangnya.

Maria naik ke tempat tidur dan menarik selimutnya, namun ia merasakan ada sesuatu yang kurang. Ia kembali duduk di tepi ranjang. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Gantungan baju, kursi di meja kerjanya, bahkan tiap sudut tempat tidur tak lepas dari sorotan iris hitamnya yang jernih.

"Di mana aku menyimpan sweterku ya?" gumam Maria terus mencari.

Tiba-tiba, ponselnya yang berada di atas meja dengan kabel yang tersambung ke sakelar karena sedang dicas, Bergetar diiringi suara nada dering.

Kepala Maria melongok mencari tahu siapa nama dari penelepon itu. Namun yang tertera dari layar gawainya hanya sederet angka-angka yang begitu asing di ingatannya.

"Siapa yang malam-malam menelepon?" tanya Maria pada dirinya sendiri. Namun tetap saja dia mencabut teleponnya yang sedang dicas dan menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.

"Apakah aku mengganggumu, Maria?" Pelan, terdengar suara lelaki dari seberang telepon.

"Maaf, ini dengan siapa, ya?" tanya Maria yang tak begitu jelas mengenali suara itu.

"Oh ... Kamu tak menyimpan nomorku, ya? Kan tadi siang kamu yang meneleponku."

Maria menjauhkan gawai dari telinganya dan memperhatikan deretan angka-angka yang tertera di layar ponselnya. Ia baru teringat, satu-satunya nomor yang ia hubungi siang tadi.

"Oh ... Mas Rafa ya? Eh ... Maksudku Papa Neza? Ada apa, Pak ...."

"Maria ... kenapa kamu sekaku ini sih? Kamu tidak berada di lingkungan sekolah, dan tak ada anak-anak. Kenapa masih berkata formal seperti itu?"

"Mm-maksud, Bapak?"

Jantung Maria kembali berdetak tak menentu. Lonjakan energi seolah-olah memacu jantungnya agar memompa lebih kencang dari biasanya.

Raffa terdengar menghela napas berat. "Aku cuma ingin bilang, terima kasih karena sudah menjaga Neza, anakku."

"Kan tadi siang Bapak sudah mengatakannya. Kenapa harus bilang lagi. Lagi pula, itu sudah tanggung jawabku sebagai ibu kedua bagi anak-anak didikku." Maria berkata dengan sedikit ketus. Ia tak mau dikalahkan oleh perasaan masa lalunya yang hanya akan menyakiti hatinya.

"Iya ... Aku juga mau bilang, swetermu tadi lupa terbawa sama Neza."

"Ya ampuuuun." Maria menepuk jidatnya sendiri. Barang yang dari tadi ia cari, ternyata terbawa oleh Neza. Dan dia sama sekali tak mengingatnya.

"Kenapa Maria? Apa ada yang salah?" tanya Raffa yang kebingungan mendengar reaksi Maria.

Maria tersenyum sendiri karena tak sadar menunjukkan 'kebodohannya' di depan Raffa.

"En-enggak! Aku tadi sempat mencari-mencari sweter itu. Aku kira tertinggal di sekolah. Ternyata aku lupa, kalau tadi aku memang memakaikannya pada Neza."

"Waduh, aku jadi enggak enak hati nih. Pasti kamu kelimpungan mencari sweter itu. Aku yakin di rumahmu pasti kau merasa kedinginan."

"Ya enggak juga sih! Aku kan masih punya yang lain. Hanya sayang aja kalau sweter itu sampai hilang."

Tanpa sadar, perasaan Maria mulai mencair. Ia mulai berbicara seperti biasa dan melupakan semua kejadian pahit yang pernah dialaminya bersama Raffa.

"Terima kasih, ya!" ucap Raffa untuk ke sekian kali.

"Terima kasih untuk apa lagi?"

"Terima kasih karena kau sudah menyimpan dan memakai barang pemberianku hingga sekarang ini."

Seperti pukulan telak yang menghunjam ulu hatinya. Maria hanya bisa memejamkan mata menepis kenangan yang tiba-tiba melintas dalam benaknya.

Iya, sweter yang sekarang dipakai Neza adalah sweter kesayangannya. Barang itu adalah pemberian Raffa saat ulang tahunnya.

'Duh kenapa aku bisa setolol ini?' umpat Maria pada dirinya sendiri.

"Maaf, Mas ... Eh Pak! Sudah malam, dan saya harus segera beristirahat. Kalau sudah tidak ada hal penting, saya akan menutup teleponnya."

Tanpa menunggu jawaban dari Raffa. Maria langsung memutuskan panggilan teleponnya. Dia tak ingin terlalu lama terhanyut dengan kisah masa lalunya.

Baru beberapa saat ia hendak membaringkan tubuhnya. Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar dari gawainya.

Maria kembali membuka ponsel dan membuka pesan yang masuk dari aplikasi Whatsappnya. Sebuah gambar anak kecil yang tertidur pulas dengan memakai sweter miliknya.

Air mata Maria tiba-tiba meleleh.

'Kasihan sekali kau Neza. Dalam usia sekecil ini, harus hidup tanpa dekapan seorang mama.'