webnovel

Resign

Usai makan malam, kau dan Marsya kembali ke Vila. Namun, pikiranku tidak tenang. Aku teringat akan ancaman-acaman Samuel. Sepertinya manusia biadab itu tidak main-main dengan ancamannya dan aku tidak akan tinggal diam.

Marsya kini resmi menjadi kekasihku. Tak akan kubiarkan siapapun menyakiti Marsya termasuk Samuel. Aku akan melindungi Marsya meski itu harus mengorbankan nyawaku. Ya, mungkin ini terdengar berlebihan. Namun, cinta akan membuat seseorang melakukan apa saja demi orang yang dia cintai.

Sekitar pukul sebelas malam, aku mengajak Marsya untuk balik ke Surabaya. Aku harus menyelesaikan urusanku dengan Samuel. Apapun yang terjadi nantinya, aku siap menghadapi.

Perjalanan dari Malang ke Surabaya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam. Sepanjang perjalanan, Marsya tertidur pulas. Sepertinya dia kelelahan. Sesekali aku memerhatikan saat wajah ayunya. Bahkan dalam keadaan tidur pun, Marsya terlihat cantik.

Sesampainya di parkiran apartemen, aku membangunkan Marsya.

"Sya, ayo bangun… kita sudah sampai," aku membangunkan Marsya dengan menyentuh dagunya.

Tak lama setelah itu, Marsya terjaga dari tidurnya, "Sudah sampai ya?" tanyanya. Kemudian ia menguap.

"Masih ngantuk ya? Apa perlu aku gendong?" godaku.

"Ih, apaan sih. Aku bisa jalan sendiri," tolak Marsya sambil manyun. Aku terkekeh melihat ekpresinya.

Kami pun keluar dari mobil. Dan, tanpa disadari, kita berjalan sembari bergandengan tangan.

***

Besoknya, seperti biasa aku berangkat ke kantor. Belum apa-apa perasaanku sudah tidak enak. Tadi pas bangun tidur Samuel meleponku. Kami sempat berdebat hebat. Dia pikir dia siapa mengatur-atur hidupku?

Aku mulai berpikir untuk melawannya. Mau baku hantam dengan dia, siapa takut. Meski tubuhku lebih kecil dari tubuhnya, tapi soal bertarung, jangan ditanya.

Memasuki gedung perkantoran, masih terlihat biasa saja. Para staf menjalankan aktivitasnya masing-masing. Ruanganku berada di lantai empat. Keadaan tak berubah. Beberapa staf menyapaku saat memasuki lift.

"Selamat pagi, Pak Ari," sapa salah satu staf yang kutemui di lift.

"Selamat pagi," jawabku.

"Saya duluan ya, Pak," laki-laki berkemeja abu-abu bergaris itu keluar setelah lift terbuka di lantai dua.

"Baik."

Setelah pintu lift tertutup kembali, lif naik keatas menuju lantai berikutnya. Tiga, dan kemudian empat.

Saat pintu lift terbuka, dengan mententeng tas koper, aku keluar dengan sedikit membusungkan dada agar terlihat berwibawa. Mataku mengedar pandang. Tidak ada yang aneh. Masih seperti biasa.

"Selamat pagi, Pak Ari…"

"Selamat pagi, semua," balasku pada staf yang menyapa.

Memasuki ruangku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seeorang yang duduk di kursi kerjaku dengan cara membelakangiku.

"Masih punya malu kamu datang ke kantor ini?" kata orang itu dengan nada tinggi dan aku langsung mengenali suaranya.

Ia memutar kursinya. Kali ini saling berhadapan. Aku dan dia. Samuel.

"Apa maksudmu? Ini kantorku," akuku meski aku tahu kantor ini bukan milikku.

Samuel terkekeh, "Ari… Ari…" katanya sembari memainkan kursi ke kanan dan ke kiri. "Kamu lupa ini perusahaan milik siapa?"

"Iya aku tahu ini semua milik kamu. Tapi apa kamu lupa kalau bukan karena aku, perusahaan ini valid!" kataku tak kalah keras.

Bukannya sombong, kenyataannya seperti itu. Perusahaan ini, hampir saja valid alias bangkrut tapi berkat kerja kerasku perusahaan ini bangkit dan berkembang hingga sekarang. Apa dia lupa perjuanganku selama 4 tahun membangun perusahaan yang hendak diakusisi oleh perusahaan lain?

Samuel menyeringai kecut. "Ya ya ya. Aku akui kemampuanmu dalam membesarkan perusahaan ini. Tapi tetap saja ini perusahaanku."

Gigi gerahamku bergemerutuk. Sabar. Aku mencoba untuk bersabar. Meski tangan ini sudah mulai gatal untuk memukul wajah Samuel keparat ini.

"Jadi maumu apa sekarang?" langsung saja aku pada intinya.

Samuel bangkit dari duduknya. "Tinggalkan wanita itu atau kamu keluar dari kantor ini!"

Aku tersenyum mengejek lalu mendekati mejanya. Dia pikir dengan mengancamku seperti ini, lantas aku takut dan bertekuk lutut di hadapannya. Jangan harap! Persyetan dengan perusahaan ini.

"Baik. Tanpa kamu minta pun aku akan keluar dari kantor ini. Aku resign!" kataku sembari menggeprak meja.

"Beginikah balasanmu setelah semua yang aku berikan padamu? Ingat Ari kamu dulu gembel dan hampir mati di jalanan!"

"Jadi kamu sudah mulai perhitungan kepadaku? Oke. Aku akan kembalikan semua yang kamu berikan. Aku tidak membutuhkan semua ini."

Aku meletakkan kunci mobil di meja dengan kasar. Mobil yang biasa kupakai ke kantor adalah mobil pemberiannya waktu aku berulang tahun, tahun lalu. "Terima kasih karena kamu sudah menyelamatkanku dari overdosis. Aku berhutang budi padaku. Tapi ingat satu hal, kamu tidak berhak mengatur hidupku!"

Aku berlalu. Semakin aku melihat wajah Samuel, semakin muak. Mendingan pergi saja.

"Tak akan kubiarkan wanita itu bahagia bersamamu. Aku akan mengancurkannya!"

Mendengar ocehan Samuel itu, aku tidak tahan lagi. Aku balik badan dan kembali menghampirinya. Sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya sampai dia terduduk di kursi. Kemudian aku tarik dia dengan mencengkram kemejanya.

"Berani kamu sakiti dia, aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Camkan itu!" ancamku lalu melepaskan cengkramanku dengan kasar.

Kutinggalkan Samuel begitu saja. Bodoh amat kalau dia sampai lapor polisi. Aku sudah tidak peduli. Saat ini yang kupikirkan adalah keselamatan Marsya. Tak kan kubiarkan Samuel menyakitinya. Aku harus pulang dan membawanya jauh-jauh dari kota ini.

***

Sesampainya di apartemen, aku langsung menemui Marsya. Kupeluk dia dari belakang ketika sedang menonton televisi. Marsya cukup terkejut melihatku yang tiba-tiba memeluknya.

"Sya, kemasi barang-barang kamu sekarang. Kita akan pergi."

Marsya masih bengong. Dia pasti bingung karena aku tiba-tiba mengajaknya pergi.

"Ayo cepat!"

"Iya, iya. Memangnya kamu mau mengajakku pindah dari sini? Ada apa?" tanya Marsya penasaran.

"Pokoknya kemasi saja barang-barang kamu. Kita pergi. Kamu mau kan ikut denganku?"

Marsya mengangguk.

"Ya, aku mau. Tapi, ada apa tiba-tiba kamu mengajakku pergi? Kamu tidak makan dulu?" tanyanya lagi.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Sudah, ikut saja."

Tanpa banyak bicara lagi aku menuju kamarku untuk berkemas. Namun, tiba-tiba Marsya meraih tanganku.

"Darah!"

Aku menghela napas. Baru menyadari sesuatu. Aku belum membersihkan luka di tanganku.

"Tanganmu kenapa, Sandi?" tanya Marsya cemas.

"Tidak apa-apa. Hanya luka kecil," jawabku sembari membalikkan badan. Aku tak mau membuat Marsya panik.

"Tidak apa-apa bagaimana. Lihat, tanganmu sampai berdarah kayak gini. Sini, biar aku obati."

"Tidak perlu. Nanti juga sembuh." Aku menolak dengan lembut.

"Jangan membantah. Ikut aku!"

Tanpa menunggu persetujuanku, Marya menyeretku ke sofa.

"Duduk di sini. Biar aku ambil obat!" perintahnya. Kemudian dia menuju ke kotak obat.

***

"Kamu habis berantem sama siapa? Kok sampai terluka begini?" selidik Marsya sambil membalut tanganku dengan kain kasa.

Deg! Bagaimana dia bisa tahu kalau aku berantem.

"Sama Samuel?" tebak Marsya. Sialnya, tebakannya benar. Kok bisa, ya?

Aku mengangguk. "Bagaimana kamu bisa tahu? Aku kan belum cerita. Kamu dukun, ya?" kelakarku.

"Ha ha ha. Bisa saja kamu."

Sepertinya Marsya sudah selesai membalut luka di tanganku. Hatiku berdesir mendapati perlakuannya. Kuperhatikan lekat-lekat. Dia begitu tulus. Ya Tuhan, aku mencintainya.

"Sandi ...."

"Ya."

"Apa kamu berantem sama Samuel gara-gara aku? Tadi pagi aku sempat mendengarmu berbicara di telepon sambil marah-marah. Kamu juga menyebut nama Samuel. Maaf, aku tidak bermaksud menguping pembicaraanmu."

"Iya, kamu benar. Tadi pagi Samuel meneleponku. Dia mengancam akan melukaimu. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu termasuk Samuel. Makanya, aku tadi ke kantor membuat perhitungan dengannya. Sudahlah, tidak perlu membahas Samuel lagi. Sekarang kemasi barang-barang kamu, lalu kita pergi dari sini."

"San, terima kasih, ya."

"Terima kasih buat ...." Belum selesai aku berbicara, tiba-tiba Marsya mendaratkan kecupan manis di pipi, membuat pipiku bersemu merah seperti kepiting rebus.

"Untuk semua yang kamu lakukan buat aku," jawab Marsya sembari bangkit dari duduknya. Sementara aku mematung di sofa. Speechless. "Ayo, katanya mau kemas-kemas kok bengong?"

"Oh, ya ya. Baik." Sial, Marsya membuatku salah tingkah.

Aku mengelus pipiku sambil senyum-senyum sendiri saat menuju kamar.

***

Di dalam kamar, aku mengeluarkan isi lemari. Tiba-tiba beberapa foto jatuh berserakan. Buru-buru aku mengambilnya.

Ya Tuhan, ini fotoku bersama Samuel, batinku. Aku merasa geli sendiri saat melihat foto-fotoku bersama Samuel. Hampir semua pose, Samuel selalu merangkul bahuku. Dan, satu foto malah kami saling berangkulan Baru kusadari, kami seperti pasangan gay. Pantas saja aku di-bully. Ah, gila!

Aku menoleh ke arah pintu, takut Marsya tiba-tiba masuk. Marsya tidak boleh tahu mengenai foto-foto ini.

Foto-foto itu aku simpan kembali di lemari pakaian, Setelah itu kuletakkan di atas Al-Qur'an di meja samping tempat tidur. Ya, sebuah kitab suci Al-Qur'an yang aku beli ketika perjalanan pulang dari Malang kemarin. Marsya yang memintaku mampir ke toko buku untuk membeli Al-Qur'an. Setelah mengemasi pakaian, aku ke kamar Marsya. Sepertinya dia juga sudah selesai mengemasi pakaian.

"Sudah selesai? Ayo cepat kita pergi sekarang juga?" ajakku. Tangan kananku menggandeng tangan Marsya dan yang kiri menyeret koper.

"Kita mau pindah ke mana, Sandi?" Sekali lagi Marsya bertanya .

"Nanti kamu tahu sendiri, Sya."

Marsya diam. Namun sedikit pun aku tak melihat raut kecemasan, justru sebaliknya, aku melihat pancaran sinar bahagia di wajahnya.

Siang itu aku meninggalkan apartemen. Bersama Marsya aku menginginkan ketenangan. Aku tak mau lagi diganggu oleh siapa pun dan urusan apa pun yang membuat hati kami tidak nyaman.