webnovel

Dinner

Dinner

Malam ini aku mau mengajak Marsya dinner. Ini kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ya, apa pun yang akan terjadi, tidak peduli Marsya menerimaku atau tidak. Aku harus mengungkapan isi hatiku.

Aku membuka kantong belanjaan, lalu mengambil long dress yang kubeli untuk Marsya ketika berbelanja di Galaxy Mall.

"Pakai ini," pintaku sambil menyerahkan bajunya.

"Kamu mau mengajakku ke mana?"

"Dinner."

"Harus pakai baju ini? Ini terlalu mahal. Yang lain saja."

"Sudah, jangan protes. Pakai saja."

"Tapi …."

"Tidak ada tapi-tapian. Sudah, ganti bajumu sekarang," paksaku sembari mendorongnya masuk kamar. "Dandan yang cantik, ya. Aku tunggu di luar."

Aku lalu keluar dari kamar. Tak berapa lama Marsya memanggilku.

Aku masuk kamar dan ... astaga! Marsya cantik sekali dengan long dress warna merah marun dipadupadankan dengan aksesori kalung emas, anting-anting bertatahkan berlian, terkesan tidak berlebihan. Ditambah lagi rambutnya yang lurus dan panjang dia biarkan terurai dengan make up tipis natural menambah nilai plus buat dia. Cantik sekali. Aku sampai melongo dibuatnya.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Jelek, ya?" Suara Marsya menggugah kesadaranku, tetapi mata ini tak bisa lepas dari wajahnya.

"Sandi?" Marsya melambaikan tangannya di depan mukaku.

"Eh! Tidak … maksudku ...."

"Ya sudah, aku ganti baju." Marsya memotong.

Marsya hendak kembali ke kamar, tetapi aku segera menarik lengannya. Tenaga Marsya yang tak sekuat laki-laki membuatnya tak bisa mengendalikan diri. Lantas, dia pun terpelanting sehingga tubuhnya merapat ke tubuhku.

Marsya kembali membuat jantungku berdetak sangat cepat. Aroma tubuhnya yang wangi semakin memikat hati. Mataku terpanah ketika wajahku dan wajahnya berdekatan. Kami sempat beradu pandang.

Tiba-tiba di luar kesadaran, aku menciumnya. Kurasakan getaran halus di seluruh tubuh begitu Marsya menyambut hangat bibirku. Sambil terpejam, Marsya semakin erat memelukku.

Marsya membangkitkan naluri kelelakianku. Entah setan apa yang merasuki jiwa, aku semakin berani dengan melakukan hal lebih. Hingga ketika jemariku bergerilya di punggungnya, Marsya mendorongku.

"Astagfirullahal'azim. Apa yang sudah aku perbuat!" Dengan muka memerah Marsya membalikkan badan membelakangiku. Mungkin dia sedang merapikan long dress-nya.

Aku tercenung mendengar Marsya menyebut asma Allah. Aku sangat malu sekaligus salah tingkah. Tiba-tiba waktu terasa senyap. Hening. Suasananya pun menjadi beku.

Aku tersadar. Hampir saja. Oh Tuhan, aku hendak menodai kesucian Marsya. Ini sungguh di luar batas.

"Sya, maafkan aku. Aku khilaf. Aku sudah berbuat tak senonoh kepadamu. Aku tidak tahu setan apa yang telah merasuki jiwaku sampai-sampai ak …." Kata-kataku terputus ketika jari Marsya membungkam mulutku.

"Aku juga salah karena tidak bisa mengendalikan diri. Seharusnya kita tidak boleh melakukan hal itu. Kita belum menikah." Marsya memberi pengertian. Dia juga sempat merapikan kemejaku yang juga amburadul.

Ya Tuhan, gadis ini benar-benar membuat hatiku tersentuh. Seumur-umur aku belum menemukan gadis yang berusaha menjaga kehormatannya sendiri. Aku hampir saja menodai kesuciannya, tetapi dia memaafkanku? Sungguh, aku tidak enak hati.

"Katanya mau mengajakku makan malam, kenapa bengong?" Marsya mencairkan suasana.

"Oh ya, maaf. Shall we go?" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

Marsya mengangguk dan tersenyum.

Tak berapa lama kemudian kami sudah berada di dalam mobil.

"Sya, maafkan aku soal tadi, ya. Aku …."

"Sudahlah, lupakan saja. Aku juga lepas kendali. Bisa kita berangkat?" Marsya memotong kata-kataku sambil tersenyum. Aku menyeringai. Syukurlah, kalau begitu masalah sudah selesai. Kupikir, kejadian itu malah membuat hubungan kami menjauh, ternyata justru sebaliknya.

Aku senang bisa mengenal Marsya. Dia membuatku berubah menjadi lebih baik. Kini hatiku kian mantap untuk menjatuhkan pilihan.

Aku teringat saat pertama kali kami bertemu. Mengingat hal itu, aku tersenyum sendiri. Tanpa sadar Marsya memperhatikanku.

"Kenapa senyam-senyum sendiri?"

"Tidak apa-apa. Aku teringat saat pertama kali bertemu denganmu. Waktu itu kamu nyaris tertabrak mobilku. Kamu tahu, aku sempat merinding." Aku menceritakan kejadian pada Marsya malam-malam ketika hendak ke pantai Kenjeran.

"Oh, ya."

"Habisnya kamu ditanya diam saja. Aku pikir kamu kuntilanak."

"Ngawur. Sudah, tidak usah dibahas. Aku kan malu," Marsya tersipu. Mukanya langsung memerah.

"Sya ...." kataku lembut, lalu menepikan mobil. "Sya, lihat aku." Aku mengangkat dagu Marsya dan menghadapkan ke arahku.

"Kamu tahu, semenjak ada kamu, banyak sekali perubahan dalam hidupku. Dulu aku orangnya egois, tidak pernah peduli dengan orang lain. Namun, saat mengenalmu, aku justru bisa lebih menghargai orang. Kamu adalah orang yang bisa membuatku berubah. Oleh karena itu, aku ingin mengatakan sesuatu. Aku... aku sayang kamu." Akhirnya lolos juga kata-kata itu dari mulutku. "Maukah kamu menjadi kekasihku?"

"Aku ...." kata-kata Marsya terputus ketika terdengar suara ponsel berdering. Aku menghela napas. Sial. Siapa yang mengganggu momen spesialku?

Aku mencari sumber suara. Itu dering ponselku. Aku merogoh saku jas, kemeja, dan celana, tetapi aku tidak menemukannya. Marsya turut mencari dan akhirnya dia menemukan ponselku tepat di bawah kaki. Kemudian dia menyerahkannya kepadaku.

Aku melihat di layar ponsel tertera nama yang tidak asing. Samuel. Sesaat aku memandang Marsya. Semoga saja dia tidak tahu kalau Samuel yang menelepon. Oh, tidak. Kenapa Samuel meneleponku di saat yang tidak tepat? Menyebalkan. Buru-buru aku mematikan ponselku.

Terus dan terus dia menerorku. Dia tidak tinggal diam selama aku berhubungan dengan Marsya. Ya, Samuel memang tidak waras. Semenjak dia tahu aku menjalin hubungan dengan seorang wanita, dia sepertinya tidak terima.

Apa dia pikir aku sama seperti dia? Sudah berkali-kali aku tegaskan aku pria normal. Aku bukan penyuka sesama jenis. Ah, sekarang aku benar-benar menyesal telah bertemu dengan Samuel. Berteman dengan dia adalah sebuah kesalahan terbesar yang aku lakukan. Coba kalau aku tahu dari awal, mungkin aku bisa menjaga jarak.

Ya, aku tidak masalah kalau dia menyimpang, tetapi bukan berarti aku bisa menerima tindakannya yang dilakukan padaku. Hampir lima tahun aku mengenal Samuel baru kali ini aku mengetahui bobroknya seperti apa..

"Siapa? Mengapa dimatikan?" tanya Marsya.

"Private number. Aku malas mengangkatnya. Mungkin hanya orang iseng. Ya sudah, kita langsung ke resto saja. Aku sudah lapar." Terpaksa aku harus berbohong kepada Marsya. Syukurlah dia tidak bertanya lagi.

****

Sambil menunggu pesanan datang, aku membuka ponsel. Banyak pesan masuk. SMS, BBM, WhatsApp, Line. Parah! Lebih dari seratus pesan dari Samuel. Ternyata benar dugaanku. Dia marah-marah dan mengancam. Orang ini keras kepala. Dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. Ah, sudahlah. Masalah Samuel, urusan belakangan. Yang penting sekarang, aku sudah menemukan tambatan hati.

Kuraih jemari Marsya dan menggenggamnya. "Sya, kamu belum menjawab pertanyaanku. Maukah kamu menjadi kekasihku?" Mendadak, sekujur tubuhku terasa panas dingin menunggu jawaban dari Marsya.

"Maaf, Sandi, aku tidak bisa," tolak Marsya sembari memalingkan mukanya.

Seperti ada suara petir yang menyambar jantung hati. Raut mukaku langsung berubah nanar. Bukankah itu artinya Marsya menolak cintaku?

"Maksud kamu? Kamu tidak mau menjadi kekasihku? Apa alasannya, Sya?"

Marsya menatapku lekat.

"Sekali lagi maaf, aku tidak bisa. Aku tidak bisa menolak cintamu karena sebenarnya aku juga mencintaimu," jawab Marsya sembari menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang indah.

"Jadi, itu artinya kamu mau menjadi kekasihku?" tanyaku memastikan.

Marsya mengangguk. Ah, syukurlah. Aku bahagia mendengarnya. "Aku ada sesuatu buat kamu," kataku kemudian.

"Apa itu?"

Aku merogoh saku celana, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah jambu. Kuambil cincin bermata berlian itu dari dalam kotak, lalu memasangkannya di jari manis Marsya.

"Wah, bagus sekali. Pasti mahal, ya?"

"Buat kamu, harga tidak penting. Kamu suka?"

"Suka. Terima kasih," ucap Marsya sembari mendaratkan kecupan manis di pipiku.

Seketika, wajahku memerah seperti kepiting rebus.

Next chapter