Segera ku berlari sejauh mungkin untuk menyelesaikan naskah yang akan menjadi berita hebat di kota ini. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celanaku.
Langkahku mulai mendekati mobil yang siap membawaku ke kantor.
"Emira, tunggu!" pekik seseorang mendekatiku.
Aku menoleh ke arah pria itu sembari merangkul kamera besarnya.
"Tunggu aku! Aku ingin pulang bersamamu," rintihnya.
"Ayo, masuk!" sebutku akhirnya memasuki mobil.
Kunci sudah melekat, mataku mulai fokus ke jalanan. Akan tetapi, aku melihat seorang teman yang tampak kehausan. "Ini."
Aku menyodorkan botol minuman ke arah Arga.
"Terima kasih," ucapnya.
"Sama-sama."
Kami pergi dari sana. Tampaknya masih berkerumun orang-orang yang mungkin akan segera mengakhiri kasus itu secara cepat.
Tak jauh dari sana, kami pun tiba di perkantoran.
Aku segera memasuki area parkir yang berada di balik gedung.
Aku dan Arga menyusuri ruangan parkir dengan tergesa-gesa.
Langkahku tiba-tiba berhenti saat kutemukan sosok pria yang sangat tidak asing.
"Jebran," sapaku.
"Oopps, maaf!"
"Pak."
Aku mengulangi sapaanku terhadapnya.
Dia tersenyum ke arahku.
Melihat itu tampak begitu asing bagi Arga, akhirnya ia pun meninggalkan kami lebih dulu.
Aku menatap Jebran tanpa khawatir lalu bertanya, "Ada apa, Pak?"
"Kerja yang bagus! Tidak sia-sia kau memiliki teman dekat seperti Fredi. Jangan lupa makan siang," pujinya padaku.
Anehnya si pria ini terlihat lebih hangat dari sebelumnya.
"Terima kasih," sahutku ragu-ragu.
"Kalau begitu, aku permisi dahulu," pamitku menundukkan pandangan.
"Yah, silakan."
Jebran berkata dengan sangat lembut.
Aku bisa membaca mata dan raut wajahnya. Aku melewati tubuhnya yang sedari tadi sudah memperhatikanku dengan senyumannya.
Di sepanjang jalanan, jantungku terasa berdegup kencang.
Aku mulai meraba dadaku dengan lembut. Aku memelankan jalan, kuhirup panjang-panjang napasku agar kudapatkan udara yang menyejukkan lagi menenangkan otak dan pikiranku.
'Ada apa ini? Apa aku benar-benar jatuh hati padanya?' bergumam dalam hati.
Aku tersipu malu dan melawan rasa tidak percaya diri.
Aku membuang semua ketidaknyaman itu jauh-jauh dari pandangan.
Aku memasuki ruangan kerja yang sudah hampir kulupakan tiba-tiba. Aku harus segera menyelesaikan laporan hari ini.
Sebuah berita dan tayangan langsung bisa aku ringkus dalam sekali waktu.
Jari-jemariku mulai nakal saat berpijak pada keyboard komputer.
Mata dan tangan saling menyatu untuk bekerja sama. Otakku mengendalikan semua gerakan dan segala pemikiranku.
Tidak ada yang bisa mengacaukan semua ini.
Drrrtt!
Suara ponsel sering kali mengacaukan konsentrasiku. Beberapa kali ia menelepon di waktu yang tidak tepat.
Aku memutuskan untuk menutup ponselku agar tak terlihat olehku saat mengetik naskah.
Rupanya, sahabatku menelepon diriku di waktu yang tidak tepat.
Dilan terus meneleponku sampai aku hampir menyelesaikan satu naskah.
Kubalikkan ponselku dan kulihat secara langsung.
Dilan, memanggilku sebanyak sepuluh panggilan tidak terjawab.
Dua puluh menit yang lalu, dia mengharapkan diriku untuk menerima panggilannya.
"Dilan," gumamku.
Aku masih merasa kecewa terhadap dirinya bahkan diriku terasa sesak saat mengenang ciuman itu. "Jika dia menyukaiku, tidak seharusnya dia menyosor diriku!" gerutuku.
"Siapa?" tanya seorang pria mendekatiku.
Sontak aku terperanjak akibat suara itu sangat dekat denganku.
Kepalaku spontan menoleh ke arahnya, ternyata Arga tertawa geli mendengar desisku yang paling pelan.
"Apanya yang siapa?" lontarku.
"Kau bilang ada yang menyukaimu. Siapa dia? Apa tuan bos menyukaimu?" bisik Arga.
"Hei, kau ini sedang bermimpi apa?!" gerutuku membalikkan pandangan.
"Jangan membodohiku! Aku lihat tadi tuan bos tersenyum hangat kepadamu. Tidak biasanya dia seperti itu dengan kita, bukan? Selama ini dia biasa-biasa saja. Lagi pula, dia memang agak berubah kan? Hanya saja, dia tetap terlihat dingin di depan kami. Tapi, tidak padamu," celoteh Arga.
"Siapa yang kalian bicarakan?!" sambung salah seorang pria.
Kulihat ternyata Gilang menyerobot masuk ke dalam percakapan kami. Di sampingnya pun diikuti oleh Rendi.
Semua menatap diriku seolah-olah terjadi sesuatu. "Kenapa kalian ini? Ada yang salah denganku?" Aku menaikkan alis dan daguku secara bersamaan.
Dari agak jauh, seorang wanita memperhatikan kami yang sedang berkumpul. Anindira—Sekretaris Jebran bersedekap tangan yang sedang mengawasi kami sedari tadi.
"Ehem," dehamku sekali untuk membubarkan rekan-rekan.
Semua kembali pada posisi awal mereka. Posisi duduk mereka memang tak jauh dariku. Aku selalu mendapatkan rekan laki-laki lebih banyak daripada seorang wanita.
Wanita itu menatapku dengan kasar lagi tajam. Aku berpura-pura tidak menghiraukan dirinya sampai punggungnya tidak terlihat lagi. Aku mencibir kesal, "Dasar!"
"Dia memang seperti itu! Sok seperti bos," cecah Arga yang duduk di sebelahku.
"Lanjut kerja!" selaku.
Kami kembali pada posisi yang sedikit sibuk.
***
Aku yang penasaran dengan Dilan, namun akhirnya aku mengalah padanya. Aku pun keluar untuk mencari makan siang. Ponselku masih kupegang dalam genggamanku.
Kulihat nama Dilan masih terpampang jelas.
"Aku sedikit kesal denganmu. Tapi," gumamku.
"Emira," panggil seseorang memanggilku.
Aku mendongakkan dagu ke arah wajah pria yang tepat di hadapanku.
"Dilan," sahutku.
Aku hendak berjalan maju saat dirinya merasa bersalah. Kulihat rautnya memang terlihat kacau dan lesu.
Aku melihat sosok menderita itu. Aku tahu dirinya, aku mengenalnya. Dia tidak mungkin melakukan suatu hal tanpa adanya sebab.
Pasti ada sebabnya! Aku sedikit membuang muka tapi kucoba melawan benci.
Kini, aku berhenti berjalan. Tapi, dia malah mengarah padaku.
"Emira, maafkan aku," lirihnya di hadapanku.
"Aku tidak bermaksud melakukannya. Kemarin aku sangat mabuk! Aku melakukannya di bawah kesadaranku," keluhnya bertele-tele.
"Aku tidak tahu harus berkata apa? Saat kulihat dirimu tiba-tiba berada di depanku. Aku sudah tidak terkendalikan lagi. Aku takut menemuimu," ujarnya dengan wajah memelas.
Aku hendak luntur dalam sesaat tapi sifatku memang agak keras.
"Terserah kau mau memaafkanku atau tidak. Tapi, aku pergi untuk menemui ayahmu. Aku akan melindungimu," ungkapnya.
Mendengar kata ayah membuatku tertoleh padanya. Dia adalah sahabat yang paling dekat denganku. Tapi, rasa benciku pada ayah bagaikan musuh tertinggi. Ibuku sangat melarang keras untuk menemui ayah.
"Ayah," sebutku.
"Dia akan menjemputmu. Dia sudah ada di sini, kuharap kau bisa menghindar dari ayahmu itu. Aku akan melindungimu," tutur Dilan mengerutkan raut wajahnya.
Begitu sendu sekilas dari wajahnya.
Dilan memegang kedua tanganku secara paksa. Tampaknya dia akan membawaku pergi. Tiba-tiba saja tubuhku tertarik oleh sesuatu.
"Kau bilang, 'Aku meminta bantuanmu untuk menjaganya,' jadi aku bisa melakukannya." Aku melihat punggung dan leher Jebran yang sudah menarik diriku ke belakang dirinya.
Aku seolah-olah tak percaya dengan perbuatan itu.
"Tapi, perjanjian itu sudah berakhir," sebut Dilan.
"Tidak akan berakhir. Aku akan menjaganya untukmu!" tegas Jebran memegang pergelangan tanganku. Aku terkurung di balik tubuhnya. Tubuhku memang semampai, namun aku sempat bersembunyi di balik tubuhnya.
"Dia adalah milikku," ucap Jebran.
"Apa maksudmu?" balas Dilan mengerutkan dahinya.
"Dia bekerja di tempatku artinya aku punya hak untuk mengaturnya. Aku punya wewenang untuk menjaga dirinya. Dan kali ini, aku tidak ingin melihat wanita menangis karena lelaki," lontar Jebran yang membuatku terpana.
Ternyata dia melihatku menangis. Apa benar? Apa benar dia memang menyukaiku?
Dilan merasa terpukul oleh ucapan Jebran. Hati seorang sahabat sudah berani ia rebut.
"Aku adalah sahabat terbaiknya!" timpal Dilan.
"Bagiku, seorang lelaki tidak akan pernah bisa menjadi seorang sahabat."
Kedua tatapan itu saling bersahutan.
Aku meneguk kenangan itu dalam-dalam. Mencoba merekam masing-masing perkataan di antara mereka.
Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya. Kira-kira seperti apa cerita selanjutnya?
Ikuti terus hingga akhir. Tambahkan ke raknya, review cerita dan undi hadiahnya.
Sekarang juga!
Follow juga ig : @rossy_stories.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk sepatah kata dari cerita ini.