Aku mendengar cerita masa lalunya. Aku mendengar jelas dari mulut ibuku. Tanganku mulai terasa dingin, ketika hendak melawan arus emosionalku.
Ibuku memendam cerita ini hingga aku beranjak dewasa.
Bagaimana dengan perasaan ibuku saat ia melihat dengan jelas? Sungguh hati ini bagaikan terbakar-bakar.
"Lalu, apa yang ibu lakukan di waktu itu?"
"Apa waktu itu aku sudah beranjak remaja?"
Mataku bergeming menatap ibu, sedangkan ia memegangi tanganku dengan erat. "Jadi, ibu sangat mengkhawatirkan dirimu! Untung saja, ibu berhasil menyelamatkan masa remajamu dari tingkah bejat ayahmu itu."
"Kau tidak akan pernah tahu, jika ibu tidak menceritakan ini padamu, Nak!" cecahnya menggoyang-goyangkan tanganku.
Aku mendekati tubuh ibu lalu memeluknya dengan erat. Betapa sakit hati ini setelah mengetahui masa lalu kejam itu.
Ibu bahkan bisa masih bernapas dan bertahan pada situasi semacam itu. Walau tanganku sedikit gemetar, air mataku jatuh berlinang. Tapi, di sisi gelapku masih tersimpan sifat jahat ayahku.
Aku seolah-olah berpikir untuk membalas perbuatan ayahku sendiri.
Bola mataku menyipit, dengan bibir menipis. Seakan aku mulai tidak akan pernah melihat sosok ayah lagi.
"Ibu, tenanglah! Aku akan menangkap ayahku sendiri," putusku dalam memeluk ibu.
Tanganku masih menepuk-tepuk punggung ibuku. Aku pun merasakan apapun yang dirasakan oleh ibu. Membayangkannya sangat menyakitkan, apalagi melihatnya. Aku benar-benar frustasi saat cerita kelam itu terdengar olehku.
Aku memandang bunga merah muda di depan. Warna itu menghipnotisku dalam sekejap.
"Saat bunga itu masih mekar, bunga itu pasti akan menebar wangi untuk ibu," tuturku.
"Ibu tidak ingin melibatkan dirimu! Tapi, kehadiran ayahmu membuat ibu tersiksa."
Mereka yang senang melakukan perbuatan keji itu tak akan lepas dari hukum. 'Aku berjanji, aku berjanji akan menangkap ayahku sendiri. Walau harus aku yang menayangkan berita itu!' Gumamanku begitu berani, aku tak lagi meninggalkan rasa takutku pada situasi semacam ini.
"Ibu, apa aku boleh tahu, siapa gadis itu?" tanyaku pada ibu.
Ibu melepaskan pelukanku, "Jika kau ingin tahu, temuilah Dilan."
Aku terperanjak saat ibu mengatakan Dilan. Aku segera bangkit dan bergegas.
"Kau mau ke mana?" jerit ibuku.
Aku menoleh ke arah ibu, "Aku akan menemuinya."
Aku memutuskan untuk menemui Dilan secara langsung. Pasti ada yang bisa kutemukan dari pernyataan ibu. Ibuku menjerit di balik mobilku, "Pulanglah tepat waktu! Ibu mengkhawatirkanmu."
***
Dilan, aku berdiri di depan rumahnya. Mataku menerawang pagar rumah itu dengan jelas. Tiba-tiba orang yang ingin kutemui sudah di depan mataku.
Gerbang itu terbuka dan dia muncul di hadapanku.
"Emira," panggilnya.
"Apa aku boleh masuk?" pintaku.
"Yah, masuklah! Ada Riffat di rumahku," ucap Dilan.
Aku mengikuti langkah kaki Dilan sampai ke dalam rumah. Dia kali ini memperlakukan diriku dengan baik, "Duduklah!"
Riffat keluar lalu menatapku, "Hai!"
"Hai," sahutku.
Aku memperhatikan wajah polosnya. Dari keterbatasan mental itu membuatku sangat terguncang. Dilan menyuguhkan minuman kepadaku. Ia pun ikut duduk bersamaku.
"Apa yang membuatmu kemari?" tanya Dilan penasaran.
"Apa aku tidak boleh ke sini?" Aku berbalik bertanya.
"Ka-kakak, apa kau berpacaran de dengan kakakku?" sambung Riffat.
"Hah!" sergahku menoleh ke arah Riffat yang spontan mengatakannya.
"Riffat, masuklah!" pinta Dilan.
"Eh, maafkan aku, Mira," ucap Dilan.
"Tidak apa-apa. Itu biasa terjadi pada orang seperti dia. Siapa yang menjaganya saat kau bekerja?" tanyaku.
"Aku membayar seorang pembantu ibu rumah tangga. Adikku sering ketakutan, tapi dia tidak akan menyerang. Jadi, adikku termasuk anak yang aman."
"Dia sering marah-marah tidak jelas, bahkan menceramahi diriku," lontar Dilan.
"Ah, yang benar saja?" decitku.
"Apa aku berbohong?" Dilan melebarkan senyumnya. Aku memang sedikit membuatnya kembali seperti dulu.
"Hei, apa kau pikir aku tidak mengenal adikmu?!" keluhku.
"Oh iya benar juga."
Dilan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pikiranku mulai mengacaukan suasana ini. Tiba-tiba saja aku mengingat pernyataan ibuku.
"Dilan, apa kau tidak pernah berhubungan dengan kakak perempuanmu?" tanyaku spontanitas.
Dilan tiba-tiba saja mengendurkan senyumnya lalu menatapku dengan serius.
"Apa kau mendengar kabar kakakku?" sebut Dilan.
"Ah, tidak. Aku hanya memikirkan dia," aduku.
Dilan mendekati diriku dengan tatapan tak main-main, "Katakan padaku! Apa kau melihatnya?"
Dilan memegangi bahuku sembari menggoyangkan tubuhku.
"Dilan, bisakah kau melepaskanku?" pintaku perlahan.
"Oh, maafkan aku."
Aku memandang Dilan yang terlihat sedikit gusar. Entah apa yang disembunyikan olehnya selama ini? Aku bahkan tidak pernah mendengar kabar kakak perempuannya. 'Apa benar korban itu adalah kakak perempuannya?' pikirku dalam-dalam.
"Dia sudah menghilang, hingga kini aku tidak bisa menemukannya. Bahkan setelahku menjadi seorang Polisi," ungkap Dilan tertunduk.
"Dilan, apa kakakmu adalah korban?" sergahku.
Dilan sontak menaikkan dagunya, "Korban?"
"Iya, apa kakakmu adalah korban ayahku?" tanyaku lagi.
"Jika aku beritahu kau, apa kau akan merahasiakan ini?" harap Dilan.
Aku meneguk air liurku ke dalam tenggorokan, "Yah. Akan kurahasiakan!"
Ting tong!
Tiba-tiba suara bel berdentang sekali, menghamburkan lamunanku dan pernyataan Dilan. Kami pun bergegas melihat sang tamu di malam itu. Setelah pintu terbuka. Sosok pria tak asing berdiri membelakangi kami.
"Hei!" sebutnya sembari menoleh.
Jebran, ternyata pria itu dia.
"Kenapa malam-malam kau kemari?" tanya Dilan.
Jebran melihat diriku yang sudah di dalam rumah lalu menatap Dilan kembali. "Ada yang harus aku katakan padamu!"
Dilan tiba-tiba saja mendorongku ke arah Jebran hingga kami berdekatan secara tidak wajar. "Kalian harus pergi dari sini!" jerit Dilan.
"Hah! Kenapa?!" sergah Jebran.
"Ada apa?!"
Aku menerawang di segala arah.
"Ayahmu!" sebut Dilan.
Jebran berbalik menatap si pria yang sudah lebih dulu masuk ke dalam pagar rumah Dilan. Mehmed, berdiri dengan rautnya yang tersenyum tipis. Jebran memegangi tanganku dan menyembunyikan diriku di balik punggungnya.
"Jangan mengganggu putrimu!" ucap Jebran.
"Hahaha, apa urusanmu dengannya?!" sebut Mehmed—ayahku.
Aku mengintip raut ayahku yang mungkin sedikit berubah. Wajah tampannya sudah memudar seiringnya waktu berjalan. Akan tetapi, aku masih melihat sosok kejamnya di balik senyuman itu.
Aku kembali bersembunyi dan membalas genggaman Jebran.
Dilan memperhatikan diriku dan Jebran yang saling berdekatan tanpa jarak.
"Paman, jangan ganggu temanku! Kau hanya berurusan denganku," seloroh Dilan memajukan langkah.
Tapi, langkah Dilan tidak bisa berlanjut. Jebran kini melindungi dua orang sekaligus.
"Aku juga akan berurusan denganmu. Kali ini, kita akan saling berurusan!" putus Jebran.
Dilan menatap Jebran dengan kecut, "Apa maksudmu?!"
Jebran beralih menatap Dilan dengan senyuman, "Anggap saja ini permintaan maafku padamu."
"Kenapa?"
"Kenapa kau melakukannya?"
Dilan mengernyitkan dahi.
Sedangkan aku masih merasa takut menatap para pria ini. Ku bungkus rasa takut dengan memberanikan diri di depan ayahku.
Kulepaskan genggaman Jebran, "Ayah."
"Apa yang kau inginkan dariku?!" sebutku.
Kedua pria ini terlihat mengkhawatirkan diriku saat berdiri di hadapan mereka berdua, Dilan dan Jebran.
"Emira," panggil Jebran lirih.
"Hahaha, akhirnya kau tumbuh dewasa. Ada seseorang menunggumu," lontar ayahku.
"Aku sudah mengetahui kebusukan ayah!" ungkapku.
Ikuti terus kisah selanjutnya.
Misteri, cinta, tanda tanya, teka-teki, semua akan menjadi bumbu kehidupan.