webnovel

I have to Love You

WARNING! ADEGAN KERAS DAN DEWASA Emira Luciana, seorang gadis cantik dan jago bela diri itu, harus melarikan diri bersama sang ibu ke luar kota. Anak dari anggota mafia gelap melibatkan dirinya untuk bisnis mereka. Emira dan sang ibu tinggal di kota Jakarta. Dengan aset ibunya serta bantuan dari sang paman. Emira, mendapatkan pendidikan tinggi. Gadis tersebut bercita-cita menjadi seorang Polisi, namun ditentang keras oleh ibunya. Emira pun dipaksa oleh ibunya untuk bekerja di perusahaan stasiun televisi. Hingga ia merubah impiannya menjadi seorang Reporter. Serta memiliki impian menikah di bawah pohon Sakura. Akan tetapi, sang ayah mulai mengintai. Bermula dari sana, banyak misteri mengerikan datang ke dalam hidup Emira. Pekerjaan itu, mempertemukan Emira dengan sosok pria dingin. Jebran--CEO muda dan berkarya, membuat Emira terpikat kepadanya. Kelucuan, hingga sikap saling bertengkar itu terus berlanjut. Akankah Emira dapat meraih cinta itu? Mampukah Emira keluar dari segala misteri yang terus datang ke dalam hidupnya itu? Cover by : JIEUN DESIGN Follow my ig : @Rossy_stories Fb : Rossy

Rossystories · Urbain
Pas assez d’évaluations
308 Chs

Di antara janji.

Aku sedikit curiga saat langkahku mengikuti jalannya Jebran di lorong perkantoran. Aku dan dia memasuki lift yang sama untuk turun ke bawah. Dia melirikku perlahan, namun aku berpura-pura tidak melihat.

"Kenapa? Kau tidak suka dengan kenaikan pangkatmu?" keluh Jebran dengan nada turun.

"Hemm, bukan!"

"Aku hanya bingung saja. Dan itu membuatku merasa tidak nyaman."

"Aku takut jika terjadi kesalahpahaman tentang diriku di pandangan rekan-rekan lainnya," ujarku sembari merunduk.

"Kau tahu siapa Susi?" Jebran mengalihkan pertanyaan.

"Hem, tahu. Dia sepupumu, bukan?" ungkapku.

"Nah! Aku sengaja menaruh posisi dirinya karena kau akan lebih tinggi darinya. Aku melihat kinerja dan kerja kerasmu, tapi bukan melihat kau adalah kekasihku. Aku pernah mengatakan padamu bahwa aku adalah bos yang sangat kejam, dan kau pun mengakuinya!" celetuk Jebran.

"Oh, kuharap kau tidak memilih kasih!" Aku mendongakkan pandangan ke atas langit-langit. Akan tetapi, Jebran malah berdiri di hadapanku lalu mendorong tubuhku hingga ke dinding. Sebelah tangannya menghalangi jalanku.

"Kenapa kau ini?!" gerutuku.

"Ingat! Di kantor ini aku adalah bosmu, dan aku bukanlah seorang pria murahan! Jadi, kuharap kau bisa mengerti apa yang kuputuskan hari ini."

"Tidak ada pilih kasih, tapi aku adalah pria yang melihat atas dasar kenyataan!"

Jebran menatapku dengan raut seriusnya, aku sempat jatuh pada perasaan canggung dan getirku perlahan. Namun, untungnya pintu segera terbuka.

"Itu, pintu sudah terbuka," tunjukku.

Jebran mengembalikan posisi tubuhnya, lalu menghindari diriku dengan gayanya yang masih angkuh. Aku sungguh tak bisa berkutik ketika ucapannya benar-benar serius. Tapi, ini bahkan membunuhku lebih cepat. Kenapa aku menjadi sosok yang lemah saat dirinya berhasil meringkus hatiku? Aku hanya menghela napas panjang sembari memperhatikan punggungnya yang sudah semakin jauh.

Seluruh mataku menatap lurus ruang kerja yang masih terlihat ramai. Beberapa dari mereka telah meninggalkan kantor karena urusan penting di luar sana.

"Emira," panggil Arga.

"Yah," sahutku mengambil posisi dudukku di tempat kerjaku.

"Eh, sebentar lagi kau akan jarang duduk di sini. Tapi, selamat atas kenaikan pangkatmu! Kau naik lebih cepat dari kami," ucap Rendi dengan senyuman yang paling Best. Wajahnya yang manis dan Imut memang tipikal pria yang diidamkan banyak wanita.

"Terima kasih," sahutku.

"Aku akan merindukan dirimu!" sebut Arga merengek.

"Eh, bagaimana kalau malam ini kita merayakannya bersama," usul Gilang.

"Aku setuju!" sambung Susi sembari mengetik keyboard.

Aku memandang ke masing-masing wajah yang terlihat rupa bahagia itu. Aku pun membalasnya dengan anggukan terdamai di hati. "Siap!"

"Kalau begitu, aku akan memilih tempat," usul Arga.

"Hei! Pria mana tahu tempat yang paling menyenangkan? Biar aku saja yang mencarinya," kelit Susi melepaskan tangan dari keyboard.

"Aku tahu tempat yang bisa mengenyangkan dan sekaligus untuk melupakan lelah kita. Ada satu restoran daging asap di ujung jalanan ini. Kurasa kalian juga tahu!" usul Susi melirik ke masing-masing wajah.

"Sepertinya kita akan menghabiskan malam di sana, bagaimana? Setuju?!" timpal Arga.

"Oke!" sahutku.

"Kalau begitu, kita jangan pulang dulu. Kita harus segera ke sana sampai tengah malam," pekik Rendi.

"Siap!" sambung Gilang.

Aku tertawa sembari menutup gigiku rapat-rapat. Melihat tingkah masing-masing pria yang sangat kegirangan itu yang pastinya sudah jarang kami lakukan di hari melelahkan ini.

***

Matahari semakin tenggelam, Dilan memarkirkan mobilnya di depan sebuah gedung kosong yang sempat ia curigai itu.

Brak!

Ia pun mendobrak pintu gerbang secara ganas. Di sisi kirinya terselubung pistol yang sempat ia capai. Dengan segala keberaniannya di bawah matahari yang semakin redup. Ia pun memekik dengan keras, "Mehmed!"

"Paman Mehmed, keluarlah!!" teriaknya semakin lantang.

Tak ada urat takut lagi gundah saat berpapasan dengan beberapa orang yang berhamburan menemui Dilan.

Dengan bermodalkan pistol di tangan, seluruh pasukan gelap Mehmed menghadang jalannya.

"Perintahkan bahwa aku datang ke sini untuk meminta janji!" sebut Dilan dengan menyodorkan pistol.

Tak lama kemudian, Mehmed berjalan dengan santai ke arah Dilan yang tidak ada jiwa lemah lagi takut itu.

Mehmed bertepuk tangan melihat kedatangan Dilan yang seorang diri itu.

"Kembalikan adikku atau kubuat kau menderita," ancam Dilan.

"Hahaha," kekeh Mehmed.

"Kau tumbuh dengan baik setelah keluargamu sempat tersudut. Aku bangga denganmu!" tutur Mehmed.

"Katakan di mana adikku, brengsek?!" geram Dilan.

Dorr!

Dilan meluncurkan pistol ke atas langit.

Mehmed yang sempat tersenyum akhirnya meredup diam. Beberapa dari pasukan Mehmed bergejolak waspada. Kini, mereka melindungi Mehmed dari segala arah.

Mehmed mengangkat tangan, "tinggalkan kami berdua!"

"Tapi, Bos?" kelit salah satu pria.

"Ikuti perintahku!" pekiknya.

"Baik, Bos!" sahut serentak.

Dilan dan Mehmed saling bertatapan. Empat mata saling bertemu janji. Dimana semua yang pernah menyimpan rahasia kini terlepas begitu saja.

"Ingatlah wahai Mehmed! Aku dan kau akan secepatnya membusuk di dalam penjara. Tapi, sebelum kita sama-sama terjerumus ke sana, kembalikan adikku!"

"Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi! Dan aku tidak akan mendekati Emira lagi," putus Dilan merendahkan posisi tembak.

Mehmed hanya terdiam, tanpa raut gelisah sekalipun. Dan masih mendengar celoteh Dilan yang berkeluh kesah itu.

"Tapi, jika kau menolak. Maka, aku tidak akan tinggal diam!" sebut Dilan.

"Katakan di mana adikku!" Dilan mengulang kembali.

"Besok pukul tujuh malam, kutunggu kau di sini! Tapi, datanglah seperti ini. Jika tidak, adikmu akan kehilangan nyawa," pinta Mehmed.

Dilan memandang lurus mata Mehmed yang terlihat baik-baik saja. Akankah janji itu ditepati oleh mafia cabul itu?

Masing-masing janji begitu sempurna, setiap kesalahan tertanam di masing-masing genggaman mereka.

***

Tercium aroma daging asap Barbeqiu, aroma lezat begitu sempurna dengan asap yang mengepul di udara. Sebuah meja makan panjang yang tertata rapi di pinggiran jalanan begitu menggugah selera.

Para sahabat berkumpul di atas keramaian meja makan. Aku dan rekan-rekan kerja menikmati hidangan lezat sepuasnya.

Katanya untuk merayakan diriku karena kenaikan pangkatku. Tapi, kulihat yang lebih cenderung menikmati adalah masing-masing pria.

Gilang dan Rendi hampir merebut jatah daging bakar milikku. Akan tetapi, Arga mencurinya dari mereka untukku.

"Ini untuk kawan terbaik!" sebutnya.

Aku menerima pencurian daging yang dilakukan oleh Arga untukku. Senyuman dan mulut lahapku hampir tak kuasa menahan jumlah porsi yang kuterima.

"Hei, kau mencuri dagingku?!" keluh Rendi pada Arga.

"Ah, dari tadi kalian yang selalu dapat jatah banyak, sedangkan Emira hanya beberapa helai saja," gerutu Arga.

"Sudah, sudah jangan ribut! Kalau kurang kita pesan lagi," tekarku.

"Tapi, benar juga! Yang merayakan siapa? Yang makan siapa?" sambung Susi.

"Sudah, tidak apa-apa," ucapku.

"Maafkan aku, Nona Emira. Aku sungguh bahagia karena kenaikan pangkatmu!" raung Rendi ke arahku.

"Ah, sudahlah! Hahaha," kekehku.

Aku melihat tawa, kegirangan, senyuman, jeritan, dan bahkan keluh kesah di antara mereka. Wajah-wajah itu mana mungkin aku lupakan. Mereka hampir hidup di setiap hariku ketika kerja keras termasuk tolak ukur di hidup kami.

Pekerjaan ini sangat solid dan akrab. Semoga saja hubungan ini tidak pernah hilang!

Aku senang dan bersyukur!

Aku tersenyum.

Bahagia hari ini.

Besok dan seterusnya.

Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya. Kira-kira seperti apa cerita selanjutnya?

Ikuti terus hingga akhir. Tambahkan ke raknya, review cerita dan undi hadiahnya.

Sekarang juga!

Follow juga ig : @rossy_stories.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk sepatah kata dari cerita ini.