Pemuda itu seperti kebingungan tapi terus berusaha memberanikan diri mendekati bangunan megah dan aneh di tengah hutan itu.
Tapi belum lagi ia mencapai tangga istana, sesuatu yang panjang licin berkilat menjulur dari celah pintu istana seperti benda hidup dan langsung menjerat kakinya membuat ia tersungkur tanah.
Berusaha melepaskan diri dari jerat benda mirip pacet raksasa itu, si pemuda berguling-guling di tanah, tapi benda itu semakin keras melilitnya. Bahkan kini telah melilit tubuhnya.
Ssshhhhh.....!
Terdengar desisan panjang dari dalam istana tengah hutan.
Lusia bersembunyi di balik pohon, mengintip dengan perasaan ngeri ingin tahu apa yang terjadi.
Pemuda berbaju hitam itu berusaha berontak melepaskan diri tapi tidak bisa. Belitan sulur-sulur berlendir itu makin kuat membelit tubuhnya.
"Kau pikir aku takut dengan kesaktianmu yang secuil itu??!" terdengar seruan menggelegar dari dalam istana. Suara seorang perempuan berkesan mistis dan bengis.
"Hentikan sepak terjangmu! Orang-orang ingin hidup normal...!" si pemuda berteriak di tengah cengkeraman belitan aneh itu.
"Aku perlu makan dan ingin kembali ke tempat asalku! Jangan campuri urusanku atau kau kukutuk menjadi hewan tak berguna!" suara bengis dan mengandung aura mistis itu terdengar lagi.
Mimpi itu terputus, lalu tersambung lagi dengan menampaknya sebuah kuburan tua yang berada di tengah-tengah hutan pula. Kuburan yang menyendiri di tengah lebatnya hutan, tak terawat lagi selama ratusan tahun. Bahkan batu nisannya tampak berlumut.
Lusia bergegas menghampiri kuburan itu. Batu nisannya tanpa nama namun Lusia merasakan seakan ia sudah mengenal lama siapa jasad yang terpendam di dalam pusara itu.
Ia memegang batu nisannya, lalu bertanya lirih, "Siapa kau yang dikuburkan di sini...?" tangannya mengusap-usap nisan itu lalu memeluknya.
Seketika Lusia terbangun. Ia terperangah karena masih memeluk tubuh rusa. Ia cepat-cepat melepaskan pelukannya. "Ih! Kamu bau rumput...!" gerutunya sambil tersenyum kecut. Rupanya hewan itu masih sempat-sempatnya memakan semak-semak saat Lusia tertidur sambil memeluknya.
Hewan itu melenguh pelan, seperti meledek Lusia yang sempat ketiduran. Gadis itu memandang langit. Matahari makin bersinar cerah. Ia tersenyum.
"Paling tidak aku masih panjang umur bisa melihat matahari bersinar," ungkapnya. "Baiklah rusa, tugasmu sekarang adalah menemaniku mencari jalan keluar. Aku tidak ingin berlama-lama di hutan, setidaknya aku menemukan sebuah perkampungan untuk tempat berteduh. Kalau tidak ketemu juga ya terpaksa aku jadi orangutan di sini!" Lusia membenahi ransel yang perlu ia bawa dengan hati kesal.
Berjalan menyusuri hutan tanpa ada kepastian akan sampai di tempat tujuan bukanlah hal yang mudah bagi Lusia. Tapi keinginannya untuk bertahan hidup membuatnya terus memompa semangat untuk menemukan perkampungan.
Ia berjalan di depan, sementara rusa jinak menguntitnya dari belakang.
Terkadang gadis itu tersenyum geli sembari menoleh ke belakang ke arah si rusa. Ia bertekad akan membawa ikut serta hewan itu jika ia berhasil pulang.
Tapi apakah ia berhasil pulang?
Keragu-raguan itu masih menghantui pikirannya.
Dan ia kembali dihantui oleh ketegangan saat telinganya mendengar suara mencurigakan di balik pepohonan tak jauh darinya. Saat itu ia telah menempuh perjalanan sekitar satu jam dan semakin banyak menemui patung-patung sapundu dan juga beberapa pondok reot. Tapi semuanya tak menunjukkan tanda-tanda kalau kawasan itu ada penghuninya.
Krosak-krosak...!
Terdengar suara gemerisik di balik semak di dekatnya. Lusia kembali tegang, tapi ia sudah terbiasa menghadapi situasi genting sehingga tidak terlalu cepat panik lagi. Dilihatnya juga rusa yang mengikutinya tidak begitu peduli dengan keadaan sekelilingnya.
"Tidakkah kau merasakan ada sesuatu yang mencurigakan, rusa?" gadis itu mendelik waspada ke arah semak di dekatnya. Nafasnya terengah-engah. Dengan naluri yang sudah terlatih menghadapi bahaya ia cepat-cepat mengambil pistol yang ada di dalam tas Hendra. Benda itu ia todongkan ke arah semak-semak di dekatnya yang terdengar suara mencurigakan.
"Kalau kau coba-coba menyerang, jangan salahkan aku kalau pistol ini menyalak!" Lusia mengancam. Tapi suaranya gemetar, tangannya juga ikut gemetar. Ia terus menodongkan pistol itu dan siap-siap ia menarik pelatuknya.
Terdengar suara krosak-krosak pelan dari arah semak. Lusia menajamkan pendengarannya dan mundur selangkah. Matanya nanar menatap. "Lipan raksasa lagi kah? Temanmu baru saja modar gara-gara pistol ini!" Teriak Lusia jengkel, tapi sekaligus ketakutan.
Sambil pistolnya terus ditodongkan ia melirik ke arah si rusa yang tampak tenang-tenang saja. Ia mengerutkan alis.
Terdengar suara srak-sruk lagi di semak. Kali ini sesuatu menyeruak dari balik rerimbunan.
Lusia nyaris saja menarik pelatuk pistol di genggamannya karena tegang, ketika terdengar suara lirih dan gemetar: "Jangan... aku juga ketakutan...!" Seorang perempuan berwajah cantik, mengenakan gaun pengantin tapi kumal dan kotor keluar dari balik persembunyiannya. Perempuan itu tampak ketakutan dan ia bersimpuh di hadapan Lusia.
Lusia terperangah, ia membelalakkan matanya. "Siapa kau? Jangan-jangan kamu juga jelmaan..."
"Aku melarikan diri... orang-orang di kampungku pada mati semua... saat pesta perkawinanku..." perempuan muda itu masih menatap Lusia dengan ketakutan. "Aku... berani keluar setelah aku yakin kamu bukan makhluk jahat itu..."
"Aku sama ketakutannya denganmu," Lusia menurunkan senjatanya. Kali ini ia merasa yakin kalau perempuan itu bukanlah sesuatu yang harus ia takuti. Ia menjulurkan tangannya ingin meraih lengan wanita yang sedang ketakutan itu. Tampaknya wanita itu ketakutan dan kelaparan. Tubuhnya tampak lemah, seperti.berjam-jam bersembunyi di tengah hutan. Ia meraih lengan Lusia yang mengajaknya berdiri. Wajahnya tampak lega.
"Apa yang terjadi dengan kampungmu?" Lusia meneliti wajah perempuan itu. Juga seluruh tubuhnya. Banyak terdapat luka-luka goresan terutama pada lengan dan kakinya. Rupanya perempuan itu benar-benar lari dan sembunyi dengan panik. Perempuan itu lalu terduduk di kawah pohon dan bersandar kelelahan.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Tiba-tiba saja mayat-mayat busuk keluar dari kuburan, mereka langsung menyerang kampung kami, semuanya terbunuh, aku melarikan diri ke hutan, mayat-mayat itu tidak lagi mengejarku...."
"Oh ya. Siapa namamu?" Lusia menjadi lebih lega sekarang. Mungkin hutan ini aman-aman saja karena perempuan itu memilih lari ke hutan.
"Namaku Seruni," jawabnya. Ia menghela nafas panjang.
"Kau baru melangsungkan perkawinan ya? Mana suamimu?" tanya Lusia. Dalam hatinya terbersit rasa iri karena perempuan itu telah menikah. Ia duduk di samping perempuan itu. Rasanya senang sekali tiba-tiba mendapatkan teman senasib di perjalanan mengerikan itu. Ia tak menyangka pula bisa semujur itu. Untunglah ia tak jadi menarik pelatuk pistolnya tadi!
"Suamiku...?" Perempuan yang tampaknya lebih muda darinya itu meringis. "Saat aku lari, suamiku tak berhasil menyusulku, dia malah menghalang-halangi mayat hidup itu yang sedang mengejarku. Aku tak tahu lagi nasibnya sekarang..." perempuan itu lalu tersedu-sedu menangis.
Lusia terenyak. Ia merasa prihatin. Ia memegang pundak perempuan itu untuk menenangkannya. "Kau beruntung punya suami yang rela berkorban untukmu. Mungkin ia masih selamat dan sedang menunggu kamu untuk pulang..." katanya.