webnovel

HUTAN TERKUTUK

"Jangan coba-coba merambah hutan yang kami lindungi!" demikian selalu ucapan warga jika ada pihak perusahaan perkebunan berniat ingin memperluas lahannya ke area hutan itu. Hutan itu memang selalu dijaga warga, bukan hanya puluhan tahun, bahkan ratusan tahun tak ada yang boleh berani menginjakkan kaki di sana. Warga selalu menutup dan menjaganya, bahkan jika ada pihak luar yang berani melanggar mereka tak segan-segan untuk bertindak bahkan mengancam nyawa nya. Ada apa yang disembunyikan warga selama ratusan tahun tak ada yang tahu persis. Dan itu pulalah yang membuat perusahaan yang dipimpin oleh Om Doni menjadi penasaran. Karena ngototnya warga ingin mempertahankan keberadaan hutan itu, ia pihak perusahaan akhirnya nekad mengirimkan dua orang staffnya untuk meneliti kebenaran mitos yang dihembuskan warga, bahwa hutan itu mengandung kutukan yang sangat mematikan. "Aku tugaskan kalian untuk membuktikan ketidakbenaran akan mitos yang dihembuskan warga itu!" kata Om Doni kepada staffnya, Hendra dan Lusia. Dengan setengah terpaksa akhirnya keduanya memasuki area hutan itu, dengan harapan bisa membuktikan ketidakbenaran kutukannya. Tapi sesuatu yang mengerikan justru menunggu mereka di sana. Sesuatu yang selama ratusan tahun menunggu untuk dibangkitkan...! Dan sesuatu itu terus mengejar siapapun di sekitarnya dengan teror dan kutukan yang mengerikan...!

naramentaya20 · Horreur
Pas assez d’évaluations
115 Chs

Sembunyi di Loteng

"Kau...?" Seruni menerobos masuk. Ia menatap si kakek tua dengan keheranan.

"Siapa dia?" Lusia bertanya.

Si kakek tua yang tampaknya sedang tegang itu menurunkan parangnya dan menatap keduanya dengan tatapan lega.

"Maafkan aku menggunakan rumahmu sebagai tempat bersembunyi, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan..." kakek tua itu tergopoh-gopoh meletakkan parangnya di lantai.

"Dia dukun sakti di kampung ini, namanya Abdullah, syukurlah dia masih selamat!" Seruni berseru senang. Ia merangkul orang tua itu dan cepat-cepat mendudukkannya di kursi.

Lusia melangkah masuk lalu menutup pintu loteng tergesa-gesa. Kakek tua itu menarik nafas berkali-kali. Ia menatap Lusia seraya mengerutkan alisnya. Tatapannya jadi aneh saat menatap gadis itu.

"Dia kutemui di hutan sewaktu aku melarikan diri," kata Seruni saat orang tua itu terus terpaku menatap Lusia. "Kalau tidak bertemu dia, mungkin juga aku sudah mati kelaparan dalam pelarian di dalam hutan..."

Kakek tua itu tampak berpikir. "Kenapa dia sampai ada di hutan?" tanya nya dengan nada tajam.

Seruni menoleh ke arah Lusia dengan tatapan bingung.

"Aku tersesat di hutan," jawab Lusia.

Kakek itu manggut-manggut, tapi seperti tak yakin. "Jangan berkeliaran di luar rumah, Nak. Kampung ini sedang dituruni bala..." katanya. Ia menarik nafas berkali-kali.

"Memang niat kami ingin bersembunyi kek, sampai bisa mencari bantuan," kata Lusia. "Oh, kakek masih bisa selamat. Aku benar-benar kagum...!"

"Bantuan ilmuku..." kata kakek itu sembari menarik nafas panjang. "Aku masih bisa menahan langkah beberapa mayat hidup yang mengejarku dengan mantra-mantraku, tapi kalau jumlah mereka lebih banyak lagi... aku tidak yakin. Kutukan ini benar-benar kuat! Aku tak mampu mengatasinya hanya dengan mengandalkan ilmu ku," katanya lagi. Ia memungut tas kain lusuhnya yang ada di lantai. Mengeluarkan beberapa lembar daun kering. Ia menyerahkan selembar kepada Lusia dan selembar lagi kepada Seruni. "Aku punya ini, semoga bisa membantu kalian. Daun ini sulit didapatkan karena keberadaannya hanya di tengah hutan. Tapi jika kalian memegang ini, arwah-arwah gentayangan tak bisa melihat keberadaan kalian," katanya. Lalu ia menambahkan, "tapi jangan terlalu yakin seratus persen. Daun ini telah lama sekali aku rituali, mungkin hampir setahun lalu, aku merasa kekuatannya sudah berkurang, dan aku tak bisa meritualnya sekarang karena proses ritualnya memakan waktu lama."

Lusia menerima daun itu, lalu menyimpannya di dalam tas kecilnya. Ia tersenyum gembira. "Ma-kasih, kek, apapun ini, pasti akan sangat berguna!" katanya.

Ia sekarang agak lega, kendati tidak ada kepastian apa sebenarnya yang mereka hadapi nantinya. Paling tidak ia tidak sendirian lagi menghadapi situasi itu.

Setelah memastikan pintu di bawah dan di ambang loteng tertutup, Lusia melirik ke arah kasur tidur yang ada di ruangan itu. Kasur itu terlihat empuk dan tebal berbahan kapuk. Terlihat ada empat kasur yang sama.

"Boleh aku tidur di kasurmu, Seruni? Aku ngantuk sekali. Sudah lama aku tidak bersentuhan dengan kasur! Aku rindu sekali! Perutku kan sudah kenyang," ujarnya sambil tersenyum.

"Boleh sekali kak, aku juga pingin tidur, tapi takut kalau ada sesuatu..." jawab Seruni.

"Biar aku yang berjaga-jaga, kalian tidurlah..." si kakek menyahut.

"Kakek tidak lelah?" tanya Seruni.

"Aku sudah berterima kasih ada tempat berlindung, kalian istirahatlah, aku sudah nyenyak tidur di sini tadi malam," jawab si kakek.

Seruni dan Lusia melongo.

"Nyenyak tidur? Tadi malam? Di saat orang-orang pada lari ketakutan?" Seruni bertanya keheranan.

Si kakek nyengir. "Aku ini sudah tua. Tak mampu berlari kesana-kemari seperti orang-orang. Membantu mereka pun aku tak mampu karena manteraku hanya bisa melumpuhkan beberapa makhluk busuk itu saja. Selebihnya aku terus sembunyi di sini sampai sampai suasana tenang..."

Lusia dan Seruni terpana mendengar cerita si kakek.

"Maafkan aku tak bisa menyelamatkan keluargamu... keluargakupun aku tak tahu nasib mereka seperti apa," si kakek berkata dengan nada menyesal.

Lusia menghela nafas. "Setidaknya kakek masih selamat, mungkin akan sangat membantu bagi kami yang tersisa," kata Lusia dengan nada gamang. "Astaga, ini bagi aku benar-benar seperti mimpi. Dulu bagi aku mayat yang hidup kembali hanya ada dalam film..." usai berkata begitu ia langsung meloncat ke kasur. "Aaaaaa... enaknyaaa...!"

Sejenak ia melupakan ketegangan yang menderanya selama berjam-jam. Ia menghentak-hentakkan tubuhnya di kasur hingga melambung-lambung. Seruni dan si kakek hanya memandangnya dengan kening berkerut.

"Hei, jangan melongo! Cepat ganti gaun pengantinmu dengan baju yang ringkas! Jadilah gadis kembali! Nikmatilah kesendirianmu!" Lusia masih tetap menghentak-hentakkan tubuhnya di kasur.

"Bajuku ada di bawah, tapi aku takut ke sana," kata Seruni. Ia mengamati kembali gaun pengantinnya yang kumal dan kotor.

"Ya sudah aku temani, tapi sehabis itu kita langsung tidur ya! Mayat hidup aja pada bobo sekarang. Mereka juga ingin istirahat seperti kita," kata Lusia sambil meloncat lincah dari kasurnya.

Keduanya perlahan-lahan turun ke lantai bawah. Lusia berada di depan.

Sampai di bawah, Seruni bergegas menuju ke kamar miliknya yang tertutup rapat. Kamar itu terletak paling ujung dari rumah yang panjang itu.

Saat ia membuka pintunya, bau tak sedap tiba-tiba menyeruak. Seruni terbelalak dan menutup pintunya kembali dengan wajah ketakutan. Ia menutup hidungnya.

"Kenapa Seruni?" Lusia bertanya curiga saat Seruni mundur ketakutan sambil menutup hidungnya. Seruni menggeleng. "Bau ini kak. Berasal dari kamar. Aku jadi takut..."

"Kau tadi melihat apa isi kamarmu?"

"Tak sempat, kak, buru-buru aku tutup," Seruni mundur kembali beberapa langkah. "Kita lupakan saja mengganti bajuku. Kalau perlu aku telanjang saja..."

"Eee, jangan begitu! Kasian kakek-kakek yang di atas kalau melihatmu tanpa busana. Apa kau mau melihat orang tua itu tidur tiarap terus?"

Seruni tersenyum masam.

"Paling juga bangkai kucing...!" Lusia bergegas membuka pintu kamar itu. Bau busuk kembali menyeruak. Kali ini benar-benar menusuk hidung baunya. Gadis itu saja menciumnya hampir muntah. "Hoek! Bau bangkai hewan apa ini??!" Ia membuka pintu lebar-lebar dan menengok ke dalamnya.

Ia terbelalak!