"Kau pikir kita pasti aman di hutan ini???!" Lusia berteriak. Matanya melotot. Nafasnya ngos-ngosan.
Seruni terenyak kebingungan. Sikap Lusia sangat terlihat emosional.
"Ya, iya, deh. Tapi kenapa?"
"Aku baru saja kehilangan dua temanku seperjalanan. Mereka mati mengenaskan!" Lusia tengah-engah sejenak. "Hutan ini sepertinya menginginkan aku sendiri! Siapapun yang menemani aku akan mati mengenaskan!"
Seruni tercengang.
"Cepatlah kita pergi ke kampungmu sebelum kau menjadi korban!" Lusia cepat-cepat menyeret gadis kampung itu menyuruhnya untuk menunjukkan jalan.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi aku turuti saja, tapi resiko tanggung sendiri..." Seruni menuruti paksaan Lusia dengan hati kesal sekaligus ketakutan.
Ia dengan hati terpaksa menunjukan jalan kepada Lusia untuk menuju kembali ke kampung. Berkat pengantin malang itu Lusia menemukan secercah harapan untuk keluar dari hutan yang aneh ini, kendati ia secara aneh pula beberapa kali terselamatkan.
Ia lalu membantu menggulung dan mengikat gaun bagian bawah Seruni agar perempuan itu lebih mudah berjalan.
"Untung saja aku ketemu kau! Kalau tidak, aku sampai jadi nenek-nenek terjebak di hutan ini!" rutuk Lusia sambil terus berjalan. Sementara lengan kanannya menyeret lengan Seruni yang tertatih-tatih mengikuti langkahnya di jalan setapak.
Rusa jinak tidak terlihat mengikutinya lagi. Lusia menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang mencari-cari hewan yang selalu setia mengikutinya itu.
Ia menarik nafas. Menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu meneruskan perjalanan lagi. "Kurasa terlalu bahaya baginya kalau mengikuti aku ke kampung. Tak tega rasanya kalau tiba-tiba melihatnya jadi masakan gulai!" Lusia berceloteh sendiri. Perutnya mulai terasa sakit karena terus-menerus menahan rasa lapar. Semua perbekalan telah ia berikan kepada Seruni, tak tega melihat perempuan itu kelaparan dan ketakutan.
Mereka terus menyusuri jalan setapak. Semakin lama semakin melebar. Lusia terlihat semakin bersemangat sementara Seruni semakin ketakutan.
"Kak, sebaiknya pertimbangkan kembali kalau mau memasuki kampung..." Seruni berdesis lirih di tengah jalan.
Lusia menghentikan langkahnya. "Oh ya? Kau pilih yang mana? Mati di dalam hutan atau mati di kampung sendiri?" Lusia menatap tajam perempuan berpakaian pengantin itu. "Oh, berapa usiamu? Kau panggil kakak aku sejak tadi."
"Delapan belas."
"Oh..." Lusia tersenyum. "Masih terlalu muda untuk menikah sebenarnya, umurku sudah dua puluh tiga," Lusia kembali meneruskan langkahnya.
"Kakak sudah menikah?"
Lusia kaget. Ia menghentikan lagi langkahnya. Pertanyaan Seruni cukup peka baginya.
"Menurutmu aku kelihatan sudah pernah menikah apa belum?" Lusia mendelik.
"Sudah..."
"Dari mana kamu tahu kalau aku sudah menikah?" Lusia mengerutkan alis.
"Tidak mungkin orang punya wajah secantik kakak masih belum menikah di usia setua itu," Seruni menjawab polos. "Maaf kalau tebakanku salah..." lanjutnya lagi sambil nyengir saat ia melihat Lusia menatapnya sambil melongo.
Lusia tiba-tiba tertawa. Antara geli bercampur sedih menggelayuti hatinya.
"Tebakanmu salah. Aku sebenarnya hampir saja dalam waktu dekat akan menikah. Tapi calon suamiku keburu mati di dalam hutan ini. Nasib kita hampir sama. Sama-sama ditinggal oleh orang yang kita cintai!" Lusia meneruskan langkahnya. Hatinya menjadi perih lagi jika ingat Hendra.
Seruni terpaku. Ia mengikuti langkah Lusia dengan lesu. "Maafkan aku, Kak..." ia berkata dengan perasaan tak enak hati. "Percuma juga sudah menikah seperti aku tapi tak sempat disentuh..." ujarnya.
Lusia hampir tersedak. Ia menatap wajah Seruni dengan hati geli. "Kau... belum diapa-apain oleh suamimu setelah menikah...?!"
"Gimana mau ngapa-ngapain? Baru saja melangsungkan pernikahan siang harinya, malam harinya pukul sembilan kampung kami diserbu mayat-mayat hidup..." Seruni bergidik.
Lusia menghela nafas. "Aku ikut prihatin..." ujarnya. "Semoga saja suamimu masih selamat."
"Aku juga berharap calon suami kakak masih selamat," sahut Seruni.
"Oh, tak mungkinlah! Dia kurasa telah mati dimakan oleh makhluk aneh penunggu hutan ini! Lagipula dia... sepertinya tidak terlalu menyukaiku. Aku saja yang mati-matian mengejarnya!" keluh Lusia dengan hati sedih.
"O..." Seruni kembali melongo. Kemudian nyengir saat Lusia menatapnya dengan tajam. "Lelaki yang bodoh!" Ia menggerutu. "Lelaki macam mana itu yang menyia-nyiakan seorang perempuan cantik dengan cintanya yang tulus?" Ia terbelalak.
Lusia kembali tertawa. "Jangan sok tahu kau, janda perawan! Lelaki itu juga sangat ganteng. Kelewat ganteng malah sehingga ia mudah saja mengabaikan orang bertampang pasaran seperti aku. Oh sudahlah! Berhenti membahas hal tak berguna seperti itu. Mending kita secepatnya menuju kampungmu. Siapa tahu di sana masih ada makanan dan ada signal telepon!"
Lusia bergegas melangkah. "Kita jangan sampai kemalaman di hutan ini. Mending berhadapan dengan mayat hidup ketimbang berurusan dengan makhluk gak jelas bentuknya!"
Semak-semak berbunyi krosak-krosak diterpa kaki mereka yang melangkah tergesa-gesa. Lusia bagai berjalan di atas angin saking bersemangatnya.
Jalan setapak semakin melebar. Diam-diam Lusia justru semakin cemas ketika semakin keluar dari area hutan dan menuju perkampungan. Bukan karena hal yang dikhawatirkan Seruni. Tapi justru karena ia semakin menjauh dari si rusa jinak. Ia berkali-kali menoleh ke belakang karena menyesal meninggalkan rusa itu. Kenapa rusa itu tidak ia ajak saja? Rusa itu telah berkali-kali menyelamatkannya. Dan ia kini merasa tidak percaya diri jika tidak berada di dekat rusa itu.
Tapi di sisi lain ia juga khawatir jika harus membawa rusa itu ke kampung. Ia takut juga jika terjadi apa-apa terhadap rusa baik hati itu.
Kini ia dalam kebimbangan yang menyesakkan.
"Berapa lama lagi kita akan sampai ke kampungmu?" Lusia nafasnya megap-megap saat bertanya. Peluhnya bercucuran. Langkahnya mulai tersaruk-saruk karena kelelahan. Namun ia tetap bersemangat untuk sampai ke kampung.
"Sekitar lima belas menit lagi masuk ke ladang milik orang kampung, tapi kalau pemukiman bisa setengah jam lagi..." Seruni juga tampak ngos-ngosan mengikuti langkah Lusia.
"Tak masalah! Aku sudah bosan di dalam hutan!" ujarnya dengan langkah makin dipercepat.
"Oh...!" Lusia menahan langkahnya. Hidungnya mencium bau busuk yang menyengat terbawa angin. Seruni pun merasakan hal yang sama.
Seruni tampak ketakutan. Ia menutup hidungnya dengan telapak tangan. "Bau ini juga tercium waktu malam itu..." Seruni membelalakkan matanya. Ia tak berani meneruskan kata-katanya.
Mereka berhenti di dekat sebuah pondok kecil di tengah sawah. Bau busuk itu semakin kentara.
"Mayat-mayat hidup itu masih ada di perkampungan, maksudmu?" Lusia bertanya dengan tatapan tajam ke arah Seruni. "Aneh... mereka masih berkeliaran di siang hari?"
Seruni tak menjawab. Ia hanya terpaku di tempatnya berdiri.