"Jangan pertahankan sikap penakutmu jika ingin bertahan dalam situasi seperti ini!" Lusia menegaskan saat dilihatnya gadis kampung itu selalu bimbang. "Dan satu lagi sebaiknya lepas saja bajumu itu agar lebih mudah melarikan diri jika dikejar-kejar mayat hidup," lanjutnya. "Percuma juga pakai gaun pengantin kalau tak pernah juga diobok-obok lawan jenismu..."
"Iya, iya. Aku ngerti! Tapi apa aku mesti telanjang, soalnya baju gantinya gak ada!" Seruni menjawab cepat. Ia masih merasa trauma dengan kejadian malam sebelumnya di mana mayat-mayat hidup bermunculan mengejar para penduduk.
Lusia tertawa. "Ya itulah makanya aku memaksa untuk pulang ke kampungmu, siapa tahu di sana kita bisa menambah bekal makanan, dan juga bisa mengganti bajumu mumpung siang hari."
Bau busuk menyengat kembali tercium. Lusia mengendus-endus sekitarnya yang terdiri dari hamparan sawah luas. Apapun yang tercium saat itu tidak bisa membuatnya ketakutan lagi, karena ia sudah kebal dengan kejadian-kejadian mengerikan di dalam hutan.
Hanya Seruni yang tampak mengkeret ketakutan.
Lusia menatap ke ujung ladang berpindah. Tampak di sana terlihat satu dua rumah, selebihnya kembali deretan pepohonan.
"Di mana rumahmu?" Lusia menoleh ke arah Seruni yang masih berdiri tak jauh darinya.
Perempuan kampung itu menunjuk ke arah beberapa rumah yang terlihat. "Di sana ada perkampungan, tapi masuk ke dalam lagi," katanya.
Lusia menyeret kembali Seruni agar mendekati perkampungan. "Kutegaskan ya, lebih baik bertemu musuh tapi di kampung sendiri, daripada di hutan sana kita tak bisa ngapa-ngapain!" katanya dengan nada kesal karena dilihatnya Seruni masih bimbang mengikutinya. "Terserah kau sajalah. Kalau kau ingin ikut denganku, ya ikuti aturanku!" Ia tersaruk-saruk melewati jalan di antara tanaman padi lokal.
Seruni tersaruk-saruk, kadang terjerambab karena mengikuti langkah Lusia yang agak cepat, sementara gaun yang ia kenakan agak merepotkan.
Lusia tersenyum geli saat dilihatnya perempuan berpakaian pengantin itu dengan risihnya menyingsingkan gaunnya yang kini dilepoti oleh lumpur sawah.
"Berterima kasihlah kepada para zombie itu karena mengejarmu saat masih berpakaian pengantin. Coba kau pikir, apa jadinya jika mereka tiba-tiba muncul saat kau dan suamimu sudah sama-sama melepaskan pakaian, ha ha ha..." gadis itu tertawa geli sendiri sambil terus berjalan di depan Seruni.
Seruni terlihat merengut kesal. "Ini semua gara-gara ada orang yang membangkitkan kutukan hutan itu, kak. Kalau saja kutemukan siapa orangnya, akan kujambak rambutnya, kucakar wajahnya," kata Seruni dengan nafas terengah-engah karena kecapeaan berjalan.
Lusia melotot. Ia berpaling ke arah Seruni dengan wajah sangar. "Apa kau bilang...?!"
Seruni mengkeret saat melihat Lusia menatap marah ke arahnya.
"Ih, kakak kok marah...?" Seruni mendesis bingung.
Lusia cepat-cepat tersenyum, menyadari kekesalannya tidak pada tempatnya. "Gak, cuma ngetes mataku aja, masih bisa melotot apa enggak," katanya sambil berjalan kembali terburu-buru.
Lima belas menit mereka berjalan, telah memasuki perkampungan. Terasa sunyi senyap kampung itu. Tapi yang membuat Lusia merasa ngeri ketika dirinya melihat banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Mayat-mayat yang sudah tak utuh lagi tercabik-cabik. Darah segar berhamburan di mana-mana.
Pandamgan Lusia tercekat. Ia menatap mayat-mayat itu dengan mata nanar sambil perlahan-lahan terus berjalan.
Seruni terlihat terisak-isak menangis. Ia bersimpuh di salah satu mayat yang isi perutnya terburai. Lusia perlahan menghampirinya.
"Siapa dia...?" Lusia bertanya.
Lama Seruni tak menyahut. Ia mengusap-usap air matanya. Lalu menoleh ke arah Lusia dengan bersimbah air mata.
"Dia suamiku..."
Lusia ternganga. Ia menalan ludah. Sejenak ia terdiam dalam pikiran yang berkecamuk. Antara sedih, rasa bersalah dan juga perasaan marah. Dadanya dihimpit perasaan sesak. Mengambil nafas berkali-kali. Tangannya memegang pundak perempuan kampung yang masih terisak-isak itu.
"Suamimu telah mengorbankan nyawanya untuk melindungimu, aku benar-benar salut padanya. Kau tak salah memilih suami kurasa. Tapi sayangnya takdir tak berpihak pada kalian..." Lusia mencoba memeluk perempuan yang tengah menangis itu, mencoba menenangkannya. "Kau ikut saja denganku. Aku akan melindungimu. Nanti kalau sudah di kota kau tinggal saja denganku. Siapa tahu kau nanti menemukan jodoh di sana," Lusia memaksakan diri tersenyum.
Ia tinggalkan Seruni yang masih duduk bersimpuh di samping jasad suaminya dan berjalan meneliti satu demi satu rumah yang ada di kampung itu.
Aroma busuk kembali tercium. Ia mengerutkan alis. Hidungnya mengendus-endus. Ia bergegas mengambil sebilah tombak yang tersandar di salah satu dinding rumah warga. Bergegas setengah berlari menghampiri Seruni yang kini justru memeluk jasad suaminya.
"Tak ada lagikah penduduk kampung ini yang masih hidup?" Ia bertanya gelisah. "Sebaiknya kita cari kalau ada sepeda motor yang bisa kita pakai. Oh, yang jelas kita juga harus menemukan kuncinya, supaya kita bisa mencari bantuan ke kota," katanya. "Atau kita cari dulu siapa tahu masih ada yang hidup di kampung ini, biar kita bersama-sama mengatasi kesulitan ini..."
Seruni mengangguk dan tertatih-tatih berdiri.
"Aku lapar sekali. Siapa tahu masih ada sisa makanan di rumahku bekas acara perkawinan tadi malam," kata Seruni.
Lusia tersenyum kecut.
Ia mengikuti langkah Seruni menuju salah satu rumah yang ada di tengah-tengah kampung. Sebuah rumah berukuran cukup besar untuk ukuran kampung. Tampaknya Seruni berasal dari keluarga berada. Di situ tak terlihat satu mayatpun membuat Lusia bisa bernafas lega.
Aroma harum masakan tercium. Seruni mengajak Lusia masuk menuju dapur. Ternyata memang terdapat makanan yang melimpah, namun belum sempat dimakan karena untuk disiapkan acara besok harinya.
Di dapur terlihat beberapa panci besar berisi masakan gulai dan juga rendang. Hanya saja satu penci rendang tampak terbalik dibuang di belakang rumah.
"Ayo makan kak. Kayaknya belum sempat ada yang mencicipi. Cuma kita berdua yang bisa memakannya," kata Seruni. Ia menyorongkan satu piring plastik ke arah Lusia. "Di sana nasinya. Masih utuh juga..."
"Ma kasih Seruni. Semestinya hari ini hari kebahagiaanmu. Tapi gak nyangka cuma aku satu-satunya tamu yang hadir di pesta perkawinanmu," kata Lusia sambil tersenyum kecut.
"Makan aja sepuasnya kak. Gak ada yang makan juga," Seruni memaksa untuk tersenyum. "Sisanya bisa kita bawa sebagai bekal untuk pelarian."