*
"Aku beruntung memiliki sahabat seperti mereka."
*
"SENJA KaMI DATANG!" teriak Cian dengan gembiranya.
"Cian, jangan berteriak. Ini rumah sakit bukan pasar!" peringat Bumi.
"Baik maaf."
Aku tersenyum melihat mereka berdua datang menghampiri dengan senyum yang membuatku kembali sehat.
"Cian!" panggilku.
"Bi, bagaimana keadaan Senja? Dan apa kata dokter?" tanya Bumi.
"Kenapa kalian kembali dengan cepat, apa tidak istirahat dulu?" tanya Bi Imas.
Bumi tersenyum,"Bagaimana kami bisa istirahat sementara ada sahabat kami yang tengah berada di sini. Lihatlah Senja, dia senang bisa melihat kami. Kami tidak tega meninggalkannya seorang diri di sini." ujar Bumi.
"Iya Bi, lagian Cian pasti akan kepikiran terus sama Senja. Kita kan sahabat.." celetuk Cian.
Aku tersenyum, beruntung sekali bisa memliki sahabat seperti mereka di dunia ini. Semoga saja hubungan persahabatan kami bisa berjalan terus sampai kami tumbuh dewasa nanti.
"Senja sudah makan?" tanya Cian.
Aku menggeleng,"Belum, untuk kedua kalinya tentu..."
"Kamu ini, sedang sakit tapi suka sekali makan. Tapi bagus!" ujar Cian.
Kami berdua tersenyum, hingga Bumi membuka kotak makanan yang di bawa olehnya.
"Ini, makanlah. Bubur buatan Cian." ujar Bumi yang membuat Cian mengerutkan keningnya.
"Kenapa aku?" tanya Cian heran karena bukan dia yang membuatnya.
Bumi memberikan kode pada Cian sampai dia mengerti."Iya, aku yang buat, makanlah pasti enak."
"Terimakasih Cian, kamu memang yang terbaik. Tapi aku baru tahu kalau kamu suka masak, bukannya kamu hanya suka makan saja?"
Cian menelan salivanya,"Aku belajar, dan kamu adalah orang pertama yang mencoba masakanku."
"Baiklah, tapi jangan sampai aku mati karena masakanmu ini. Kamu tidak campurkan bahan yang anehkan?" tanyaku curiga.
"Astaga Senja, tidak!"
"Baiklah."
Pada suapan pertama aku merasakan bubur itu enak sekali, betul-betul seperti tengah terbang di langit.
"Aku rasa ini bukan buatanmu." ujarku.
"Memangnya kenapa?"
"Enak sekali!"
Cian menepisnya, mengatakan bahwa itu memang buatan dia dengan resep khusus di dalamnya.
"Itu buatanku!"
"Tapi ini terlalu enak untuk orang yang baru saja belajar masak Cian!"
"Yasudah aku marah!"
"Baik, baik jangan marah. Aku percaya kamu yang membuatnya, kamu kan memang hebat."
"Nah begitu dong!"
Sementara itu Bumi terdiam, takut Senja tahu bahwa dialah yang membuat bubur itu. Namun Bumi tidak ingin Senja mengetahuinya.
"Cian, sepertinya kakak tidak bisa terus di sini. Nanti kalau kamu hendak pulang telepon saja, oke?"
"Mau kemana?"
"Bertemu Devi, selamat tinggal."
"Bi aku titip Cian." ujar Bumi menyalani punggung tangan Bi Imas.
"Iya jangan khawatir."
Bumi pergi, sementara itu Cian dan aku mulai curiga karena jarang sekali Bumi meminta izin untuk pergi bersama dengan Devi.
"Apa mungkin mereka pacaran?"
"Jangan membual yang tidak-tidak Cian, biarkan saja kakak mu itu. Lagi pula dia sudah besar, kita masih kecil jangan ikut campur."
"Senja, kamu memang tidak seru. Kalau kamu sehat aku akan mengajakmu untuk mengikuti kak Bumi. Aku rasa mereka pergi kencan."
"Kamu tahukan kalau mereka itu rekan, ketua dan wakil." tegasku.
"Bagaimana kalau sepasang kekasih, kamu rela melihatnya?"
"Kenapa harus tidak? Kak Bumi hanyalah kakak dari sahabatku bukan?"
"Aku kira kamu menyukainya, dia baik kepadamu."
"Baik bukan berarti suka Cian, siapa pun bisa baik kepada orang mana saja. Kak Bumi kan memang baik kepada orang lain." ujarku.
"Senja, kamu kenapa tidak melihatnya. Kak Bumi itu dingin, egois, dan berwajah datar. Bahkan tersenyum saja dia tidak mau, selain kepadaku kamu dalam artian orang asing ya." ujar Cian.
Aku berpikir sebentar, benar juga apa yang di katakan Cian. Bumi memang tersenyum kepada Senja saja, tidak tersenyum kepada orang asing.
"Tapi pada temannya."
"Karena pri, bukan wanita." ujar Cian.
"Sudahlah Cian, jangan membuat teori seperti itu. Aku hanya ingin segera pulang dari sini."
"Tidak bisa, kamu harus bertanya pada hatimu. Bukankah dulu juga kak Bumi pendiam kepadamu?"
"Iya Cian, aku membenci dia yang dulu. Puas? Sudahlah biarkan saja. Itu adalah hak nya dalam memilih orang yang mau dia anggap nyaman saja."
"Baik, aku kalah denganmu." ujar Cian yang memilih duduk dan diam saja.
"Kenapa kamu duduk dan diam saja?" tanyaku.
"Karena kamu menyuruh aku diam, aku tahu bahwa apa yang aku katakan ini berisik bukan?"
"Iya maafkan aku."
"Tidak masalah, aku memang sahabat yang cerewet untukmu."
"Cian!"
"Kenapa?"
"Maaf." ujarku memeluk Cian hingga kerutan di wajahnya berubah menjadi senyuman.
"Bagaimana mungkin aku bisa marah pada kucing kecil ini." ujar Cian menyubit kedua pipiku.
"Hehehe..."
Bumi sudah pergi selama tiga jam, bahkan sekarang sudah jam lima sore.
"Dimana kakakmu?"
"Nahkan kamu bertanya?"
"Memangnya salah bertanya? Dia sudah pergi sangat lama."
"Iya juga, ap-" belum juga Cian menyelesaikan ucapan nya. Ternyata Bumi datang bersama dengan Devi.
"Ini Senja?"
"Iya, yang keracunan permen di sekolah. Bukankah aku tadi sudah cerita?"
"Iya, dia cantik sekali." ujar Devi.
Aku dan Cian terpaku, melihat penampilan Devi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Dia cantik Cian."
"Tapi kamu lebih cantik, apalagi disaat rambutmu acak-acak seperti orang gila." ujar Cian.
Aku menatap Cian dengan mata nanar."Kamu bisa menatapku dengan mata nanar, tapi kalau Zeana tidak bisa. Dasar!"
"Hallo, Cian adiknya Bumi?" tanya Devi.
Cian mengangguk, "Iya, ini siapa?" tanya Cian berpura-pura tidak tahu.
"Nama kakak Deviana, wakil OSIS di SMA yang sama dengan kakamu Bumi." ujar Devi.
"Oh, salah kenal aku Cian."
Penampilan wanita itu memang cantik. Rambutnya terurai rapih, panjang dan berwarna pirang. Sedangkan bajunya sangat peminim, indah di lihat.
"Ini Senja ya?" tanya Devi.
"Iya kak, namaku Senja." ujarku.
Wanita cantik bernama Devi itu tersenyum."Aku Devi, salam kenal."
"Iya kak."
"Kamu cantik."
"Kakak yang cantik." ujarku karena memang benar, ideal sekali.
Bumi membenarkan selimutku, tapi mata Devi terlihat tidak menyukai bahwa Bumi melakukan itu.
Dia terlalu cantik!
"Cian, aku mau minum. Bisa tolong ambilkan?" tanya Senja.
Tapi yang mengambil air minum itu bukanlah Cian, tapi Bumi.
"Minumlah Senja." ujar Bumi.
Aku menelan saliva, mengambil air minum yang di ambilkan oleh Bumi, "Terimakasih kak."
"Sama-sama, minum dengan hati-hati."
"Baik kak."
"Senja, apa yang kamu inginkan?" tanya Devi yang membuatku membolakan mata.
"Tidak ada, kenapa memangnya kak?"
"Tidak, aku hanya ingin membelikan sesuatu untukmu."
Aku diam, tapi Cian mengerti bahwa aku tidak nyaman dengan Devi.
"Kak, Senja tidak menginginkan apa-apa. Kenapa tidak bertanya kepadaku? Aku menginginkan banyak hal. Seperti makanan enak, minuman, dan barang yang selama ini tidak bisa aku beli. Bagaimana?" tanya Cian menggoda.
Devi menelan salivanya, kewalahan dengan apa yang di katakan oleh Cian. Siapa suruh ingin melawan Cian, dia punya banyak cara agar membuat orang lain mundur.
"Bumi, apa aku bisa pulang. Aku sudah di minta pulang oleh ayahku." ujar Devi.
Cian bangkit dari duduknya."Memangnya kaka tidak punya kaki? Kalau pulang ya tinggal pulang saja. Harus kak Bumi yang gendong gitu?"
"Cian!"